BAB 6. Anggia

2111 Words
Aku tidak tahu bahwa om-om kekasih sepupuku yang sekarang sedang serius melajukan mobil itu ternyata cerdik juga. Entah bagaimana ceritanya dia bisa membujuk ayah hingga berada di pihaknya. Dan jika ayah sudah menginginkan sesuatu maka aku tidak bisa membantahnya. Seperti sebuah keharusan tidak peduli itu baik ataupun buruk, dan kak Davin yang aku harapkan akan membelaku selalu tidak peduli juga. Bisa dibilang sebenarnya aku hanya hidup sendirian di dunia. “Kalau begitu aku tidur yah om nanti bangunkan kalau sudah sampai.” Ucapku lemah. Kepalaku memang sakit sekali dan kurasa tubuhku semakin demam karena kurang istirahat dan belum makan juga. Kadang aku membayangkan kisah hidupku mirip dengan Cinderela, dibenci di rumah dan di perlakukan seenaknya. Mungkin jika aku boleh berharap suatu hari nanti akan ada pangeran tampan yang baik hati dan menyelamatkan aku dari rumah yang terasa seperti neraka itu. Tidak papa jika dia tidak kaya, yang penting bisa memberiku kasih sayang tulus dan membuatku bahagia. Sebuah harapan yang terasa kekanakan bukan? Tapi memang dalam hidupku seperti tidak ada yang bisa diharapkan lagi karena ayah dan kakak yang aku punya nyatanya seperti tidak menginginkan aku ada di dunia. “Tidur di pesawat saja, sebentar lagi sampai.” Jawabnya membuatku mendesah. Aku sungguh tidak kuat lagi. Rasanya mataku sudah berkunang-kunang dan ingin pingsan. Sepertinya om Raka ini adalah jenis manusia yang tidak jauh berbeda dari mbak  Zia dan yang lain karena sepertinya dia juga berniat menyiksaku. Om Raka tidak bohong, tidak ada lima menit kami akhirnya sampai di Bandara. Dan aku terkejut, rupanya pesawat yang akan kita naiki adalah jenis jet pribadi yang mewah. Sebenarnya seberapa kaya laki-laki tua tampan ini? Aku meliriknya dengan sedikit terkejut dan sepertinya dia menyadarinya. “Kenapa? Belum pernah naik pesawat?” Tanyanya denagn nada sombong yang menyebalkan. Tapi aku mengangguk, karena memang aku tidak pernah naik pesawat dan hanya melihat rupa pesawat dari dalam film yang aku tonton saja. Melihat aku mengangguk dengan bodoh, om Raka menganga. “Kamu beneran belum pernah naik pesawat?” Tanyanya lagi dan aku menagngguk lagi dengan meyakinkan. Om Raka semakin menganga. “Ngapain aja kamu selama ini di saat orang-orang sudah keliling dunia?” Tambahnya dengan nada sombong yang semakin terasa. “Di rumah, belajar, main game.” Cicitku. Kemudian ku dengar desahannya. “Bagaimana di dunia ini ada makhluk sepertimu.” Gumamnya lirih tapi masih ku dengar dengan jelas. “Memangnya kenapa kalau belum pernah naik pesawat? Memangnya naik pesawat sebuah keharusan? Jangan mentang-mentang om kaya deh terus ngatain aku makhluk langka begitu.” Protesku dan aku malah melihat om Raka tersenyum geli. “Kamu memang makhluk langka yang harus di lestarikan.” Kekehnya membuatku mendelik. “Dasar om-om sombong.” Ketusku kemudian membuang mukaku ke arah lain dan memejamkan mata. Masih ku dengar suara tawanya yang menyebalkan itu. “Makan dulu Anggia baru tidur!” Perintahnya. Dan tidak lama kemudian seorang pramugari membawakan aku bubur ayam yang terlihat lezat. “Tidak usah disuruh aku memang kelaparan.” Jawabku sambil menyuapkan satu sendok penuh bubur ayam. Tapi kemudian pesawat kami sedikit goyang membuatku sedikit menjerit ketakutan dan mangkuk buburku hampir jatuh. Dan dengan jahatnya om-om tua menyebalkan itu malah tertawa terbahak-bahak. “Selain cerewet, suka memanggilku om dan galak ternyata kamu norak juga.” Ucapnya masih dengan sisa tawa. Aku seedikit malu dan sudah pasti wajahku memerah sekarang. Awalnya ku pikir dari melihatnya sekilas ketika mengantarkan mbak Zia pulang, om Raka ini orang yang pelit berbicara, dingin dan ketus pada orang lain. Tapi rupanya mengenalnya beberapa hari ini, dia cukup cerewet, menyebalkan dan gemar mengatai orang lain serta yang paling utama tentu saja suka memaksa. Jenis laki-laki egois yang selalu menginginkan segala keinginannya tercapai dengan tidak mempedulikan caranya. “Om menyebalkan.” Gumamku malu. “Kamu benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Zia yang berkelas dan banyak pengalaman. Bagaimana orang yang tinggal serumah bisa memiliki perbedaan sejauh itu? Gaya berpakaianmu dan rambutmu yang berantakan juga tidak mirip Zia sedikitpun seolah-olah kalian bukan dua orang yang tinggal di atap yang sama. Apakah tidak bisa belajar cara menjadi wanita anggun darinya?” Tutur om Raka semakin menyebalkan. Aku paling benci jika di bandingnkan dengan mbak Zia. Jelas berbeda lah, cara orang lain di rumah memperlakukan kami saja berbeda sudah pasti hasilnya juga akan berbeda. “Jangan bandingkan kami! tentu saja dia cantik dan berkelas karena dia di dukung dari segala penjuru. Sementara aku? Jika bukan karena beasiswa juga aku tidak akan bisa berada di kampus ternama dengan kehormatan sebagai calon dokter. Kehidupan kami dan cara kami hidup jelas berbeda om, jadi jangan dibandingkan! Itu jauh sekali bedanya.” Ucapku datar. Hatiku bergemuruh penuh kemarahan mengingat setiap detik yang aku saksikan tentang seberapa diistimewakannya Zia di rumah sementara aku hanyalah seorang anak yang kehadirannya tidak pernah diinginkan. Dan mungkin saja jika pernikahan dengan om Raka benar-benar terjadi maka aku juga akan menjadi seorang Istri yang tidak diinginkan. “Belajar itu berasal dari dirimu sendiri bukan dari orang lain. Pada dasarnya memang kamu saja yang tidak ingin belajar menjadi Anggun.” Jawab om Raka menyebalkan. “Untuk apa menjadi anggun dengan pakaian sexy seperti mbak Zia itu? Aku bukan perempuan penggoda.” Ucapku kesal. “Perempuan penggoda? Zia bukan perempuan penggoda.” Om Raka tidak terima. “Memamerkan tubuh sexynya pada semua orang bukankah sama saja dengan perempuan penggoda? Karena semua mata laki-laki yang melihatnya pasti akan tergoda.” Balasku lagi dan kali ini ku lihat om Raka mendengus kesal hendak membantahku lagi tapi tidak jadi. “Sudahlah jika sudah selesai makan langsung tidur! Waktu tidurmu Cuma sebentar.” Ucapnya berubah datar. Sepertinya dia tidak suka jika aku mengkritik pekerjaan mbak Zia. Tentu saja demikian, om Raka kan pacarnya. Pacar mana yang tidak marah jika pasangannya di bicarakan buruk. Tapi aku tidak peduli, lagipula om Raka yang memancing pembicaraan ini duluan. ***    Rasanya seperti aku baru tidur lima menit dan sudah dibangunkan om Raka karena sudah sampai. Pesawat kami mendarat denagn selamat dan sesampainya di Bandara kota tujuan sudah ada orang-orang yang menjemput kami. Kepalaku sakit sekali karena seperti baru tidur sebentar jadi aku mengikuti om Raka saja tanpa banyak bicara. Salah satu laki-laki dengan setelan jas rapih langsung berbicara sambil membaca tabletnya sembari mensejajarkan langkahnya dengan om Raka. Langkah mereka cepat sekali sedangkan aku yang sedang pusing jadi tertinggal. Kemudian aku merasakan kepalau sakit sekali sehingga aku menghampiri kursi umum terdekat untuk istirahat sejenak sambil memijat keningku yang sakit. Hanya sebentar tapi ketika aku menegakkan kepalaku dan melihat ke sekeliling, om Raka dan rombongannya tidak kelihatan lagi. Tentu saja aku panik. Aku tidak punya uang, tidak tahu harus kemana dan tidak pernah datang ke Bali kemudian ditinggalkan sendirian di Bandara dalam keadaan yang kurang sehat. Aku menengok ke kana dan kiri sambil berlari ke arah terakhir kami bersama tadi dengan beberapa kali memanggil om Raka tapi tidak ada di manapun. Aku sudah ingin menangis karena takut sekali. Tapi aku berusaha menguatkan hatiku karena aku harus menemukan om Raka sebelum jauh dan aku benar-benar tertinggal. “Om Raka!” Teriakku lemah entah yang keberapa puluh kali. Kakiku sudah lelah dan tubuhku lemas hingga akhirnya aku bersandar di tembok dekat toilet, berjongkok dan mulai menangis. Aku tidak kuat lagi tapi om Raka malah hilang. Aku benar-benar ketakutan. Sekitar lima belas menit aklu terus menangis dan orang-orang hanya terus melewatiku tanpa peduli. Padahal jika ada yang bertanya masalahku, mungkin aku bisa meminta tolong. Akhirnya aku kembali menelungkupkan wajahku di lengan dan kembali menangis. Kakiku sudah tidak mampu berdiri lagi dan aku juga tidak tahu lagi apa yang bisa dilakukan. “Demi Tuhan Anggia kenapa kamu disini aku men—” “Om Rakaaa!” Tangisku semakin pecah sambil memeluknya erat. Rasanya lega sekali karena dia menemukanku disini. Untuk beberapa menit aku terus memeluknya sambil menangis dan dia terasa menegang tak memberikan respon. Hingga aku tersadar bahwa kami di depan umu dan tidak pantas juga aku memeluk laki-laki yang merupakan kekasih kakak sepupuku ini sehingga aku segera melepaskan dan menggumamkan maaf. “Jangan jauh-jauh dariku dan fokus jika jalan. Kalau kamu hilang aku bisa di bunuh ayahmu nanti.” Ucapnya dan aku mengangguk sambil menghapus air mataku. Kemudian dia meraih tanganku dan mengajakku berdiri tapi aku tidak sanggup lagi sehingga aku kembali menangis.  “Aishh jangan cengeng! Ayo naik ke punggungku aku gendong! Tapi hentikan dulu nangisnya,” Ucapnya yang lagi-lagi membuatku mengangguk sambil menghapus air mataku menggunakan tangan. Kemudian setelah itu aku menaiki punggung yang ditawarkannya dan itu terasa hangat sekali. Punggung pertama yang aku rasakan, karena sejak kecil aku hanya diasuh oleh seorang pengasuh dan dipaksa hidup mandiri tanpa kasih sayang sederhana seperti contoh sebuah gendongan. “Kenapa om jalannya cepat sekali jadi aku tertinggal.” Ucapku masih dengan sisa suara tangisan. “Kamu saja yang kakinya pendek makanya jalannya lambat kaya kura-kura.” Cibirnya membuatku cemberut. “Tadi kalau aku hilang terus ada orang jahat yang menculikku bagaimana?” Ucapku lagi. “Siapa yang mau menculik gadis berisik kaya kamu huh? Tidak ada!” Jawabnya lagi semakin menyebalkan. “Ya bisa saja laki-laki hidung belang misalnya.” “Memangnya kamu cantik sampai lelaki hidung belang tertarik padamu?” Om raka terkekeh setelah mengatakannya dan itu menyebalkan. “Ya aku memang tidak cantik jadi jangan menikahiku!” Ketusku kesal dan om Raka malah kembali tertawa. “Memangnya aku menikahimu karena cantik?” Tanyanya  dan semakin terasa menjengkelakan. “Om Raka jahat.” Cicitku. “Dilarang ngatain calon suami nanti kamu kualat.” Kekehnya. “Siapa calon suami? Om? Maaf-maaf yah om, perempuan tidak cantik ini di kampus diperebutkan dua pangeran jadi om jangan kegeeran.” Jawabku menyombongkan diri. “Siapa pangeran? Laki-laki pengecut kaya Bagas dan Arion huh? Kamu percaya diri sekali, mereka hanya menjadikanmu bahan taruhan.” Papar om Raka kemudian tertawa padahal itu tidak lucu sama sekali malah menyebalkan. “Sok tahu!” “Aku memang tahu Anggia! Kamu jadi perempuan jangan bodoh-bodoh amat. Mana mungkin mereka menyukaimu.” Ucapnya melukai harga diriku. “Memangnya aku jelek banget yah om sampai nggak mungkin ada cowok yang suka?” “Engga juga, Cuma kamu berisik. Semuanya ditanyakan, memaksa orang lain untuk terus menjawab dan menjadi banyak bicara juga seperti kamu. Tidak semua orang suka berbicara banyak.” Jawabnya. “Ahh iya memang ada jenis orang tipe kulkas berjalan kaya om Raka ini, makanya tidak suka gadis bersisik kaya aku kan? Tapi kak Bagas dan kak Arion suka bicara tuh, nggak pelit bicara kaya om Raka.” “Kamu itu makin kenal rupanya makin cerewet yah?” Komentar om Raka. Dan tanpa disadari memang aku mulai menjadi berisik sekali di dekat om Raka. Padahal biasanya aku akan menjadi pendiam jika di dekat orang yang tidak aku suka. “Makanya jangan menikahiku, nanti om Raka stress karena aku akan membicarakan banyak hal setiap hari.” Ucapku. “Kalau gitu aku akan mencari senjata untuk membuatmu diam.” “Senjata apa? Om berniat untuk KDRT yah?” cecarku dan om Raka tertawa. “pikiran kamu itu ajaib banget ternyata.” Ucapnya masih dengan sisa tawa. “Ya memangnya senjata apa yang bisa bikin aku diam?” “Dicium mungkin, atau diancam bawa ke kamar?” Ucap om Raka sambil tertaw geli. Wajahku memanas dan pasti memerah mendengar jawaban om Raka yang terasa m***m. “Aku akan mencungkil mata om Raka jika berani mesum.” Ancamku galak. “Wow seram.” Om Raka tertawa lagi dengan lebih menyebalkan. “Aku serius om, malam-malam kalau om udah tidur aku akan cungkil mata om biar gak bisa mesum.” Jawabku semakin mengundang tawanya. “Sebelum kamu mencungkil mata om, kamu om iket di ranjang dulu lah.” “Dasar om-om licik, jahat dan m***m!” teriaku kesal. Aku tidak menyadari bahwa dalam perjalanan kami dengan aku berada di punggung hangatnya ini, aku mulai mengenalnya lebih dekat. Mulai merasa bahwa om Raka tidak seburuk yang aku bayangkan karena dia mau menggendongku, memberiku makanan dan mengijinkanku tidur di pesawat biarpun hanya sebentar. Tapi tentu saja aku harus membentengi hatiku untuk tidak jatuh cinta, karena selamanya dia adalah milik mbak Zia. Dia mau mengenalku karena dia memiliki maksud tertentu yang tidak menguntungkanku dan mempedulikan perasaanku sedikitpun. “Kamu tidur sampai besok pagi tapi minum obat dulu, malam ini aku ada urusan jadi harus pergi. Aku akan pulang menjelang pagi jadi kamu jangan kemana-mana oke!” Perintahnya yang aku angguki dengan patuh karena mataku masih menganga melihat betapa indah vila yang om Raka sewa untuk kami tinggal. “Kalau kamu laper, tinggal telpon ke nomor yang tadi aku tunjukkan dan pesan makanan sesukamu. Jangan keluar Villa nanti hilang lagi dan di culik orang jahat.” Perintahnya lagi. “Kata om gak mungkin ada yang mau menculikku karena berisik dan tidak cantik?” “Aishh Anggia jangan membantah! Kamu cerewet sekali!” ***                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD