BAB 8. Anggia

2022 Words
Aku tidak menyangka bahwa di culik oleh om-om seperti om Raka akan menyenangkan. Pertama karena ternyata dia tidak sekejam yang aku pikir, kedua karena dia ternyata tidak sekaku yang aku bayangkan dan yang ketiga tentu saja karena sekalipun dia suka menyebalkan tapi aku bisa merasakan bahwa sebenarnya pacar sepupuku ini memiliki hati yang baik. Dia seperti jenis yang tidak tahan melihat orang lain menderita. Lihat saja sekarang, dia benar-benar membuatku istirahat total di depan Tv dan memastikan aku makan dengan benar serta meminum obatku dengan teratur. Sebuah kebahagiaan sederhana yang seumur hidupku belum pernah aku rasakan. Jangankan untuk menonton Tv sambil bersantai seperti ini, untuk makan saja di rumah aku tidak bisa seenakanya. Karena itu aku akan menikmati penculikan ini karena belum tentu juga di kemudian hari aku akan merasakannya lagi. Anggap saja aku sedang membangun kenangan yang mungkin suatu hari nanti akan membuatku tersenyum ketika membayangkannya. “Om kapan ke pantainya?” Tanyaku entah yang keberapa puluh kali. Om Raka melirikku dengan jenis lirikkan sebal. Tapi aku terus menatapnya tidak peduli menunggu jawaban. Dan jika dia tidak menjawab lagi maka aku akan bertanya lagi. Menyenangkan juga membuatnya kesal dengan keberisikkanku. “Apa kamu tidak mengerti arti didiamkan dan tidak di jawab?” Ucapnya dan aku menggelang. “Itu Artinya berisikmu sudah sampai tahap membuatku ingin mengamuk dan melemparmu ke luar pintu.” Lanjutnya kesal dan aku tersenyum geli. “Om harus terbiasa dengan keberisikkan ini kalau om terus memaksaku menjadi istri om. Karena aku memang begini dan setiap hari akan begini. Om marah-marah pun aku akan tetap begini. Tidak bisa di rubah, ini adalah hadiah dari Tuhan sejak aku lahir om.” Jawabku tapi dia tidak peduli dan kembali sibuk pada berkas yang sedang di kerjakannya serta sesuatu di dalam laptopnya. Aku penasaran kemudian aku mendekat dan mengintip. “Wahh Om punya perusahaan modeling juga? Wahh cantik-cantik sekali. Tapi kenapa mbak Zia tidak masuk perusahaan om aja?” Tanyaku dan lagi-lagi tidak di jawab membuatku sedikit kesal. “Om, ayo ke pantai.” Dia masih tidak mempedulikanku. “Pantai om, pantai!” Ucapku lagi, om Raka terlihat mendesah tapi masih serius dengan pekerjaanya. “Om aku bisa nggak yah jadi model kaya di laptop om itu.” Pertanyaan kali ini akhirnya menyita perhatiaanya. Dia menoleh dan memandangku dengan tidak yakin. “Mana mungkin.” Jawabnya singkat dan setelah itu dia kembali memusatkan perhatiannya ke arah laptop. “Aku bisa cantik tau om, nanti om lihat saja kalau aku sudah bekerja dan punya uang untuk membeli baju bagus dan make up mahal.” Ujarku sedikit kesal dengan nada meremehkannya. “Mendingan uangnya buat beli makan yang banyak, kamu kurus sekali.” Ucapnya tanpa menoleh. “Tidak ada sexynya sedikitpun, kaya anak sepuluh tahun.” Tambahnya lagi membuatku kesal. “Apa yang kaya anak sepupuh tahun? Aku?” Jawabku kesal. Kemudian dia menoleh dan mengarahkan pandangannya ke arah d4daku sambil memberikan tatapan meremehkan. Reflek aku menutupi area terlarangku itu menggunakan kedua tangan di silangkan dan dia mendesah heran. “Tidak usah di tutupi juga memang tidak kelihatan.” Ucapnya lagi. “Om Raka kejam dan jahad.” Sungutku kesal. “Awww Anggia kenapa menggigitku!!” Teriaknya tidak terima ketika aku menggigit lengannya kemudian kabur menjauh. “Itu balasan untuk orang jahat yang menghina tubuhku yang indah ini.” Ucapku marah lalu melipir ke dapur untuk mengambil minum. Ku pikir dia akan marah tapi dia malah tertawa terbahak-bahak. Menyebalkan sekali! “Tubuh indah huh? Bangun Anggia! Ini sudah siang, jangan bermimpi terus.” Teriaknya sampai terdengar ke dapur. Aku meneguk air minumku sampai habis satu botol karena kesal. Setelah itu aku kembali ke tempat tadi dan meliriknya sebal dia malah tersenyum geli dengan menyebalkan. “Ayo ke pantai!” Ketusku. “tidak ada topik lain? Kau sudah mengucapkannya ratusan kali Anggia!” Jawabnya. “Aku akan mengatakannya ribuan kali kalau om tidak mengabulkannya.” Tuturku lagi. “Tidak lihat matahari sedang terik Anggia?” Tanyanya dan aku menggeleng dengan wajah malas. “Tidak! Kan kita ada dilam rumah om.” Jawabku datar. Ku lihat dia menghirup napas dalam dan terlihat kesal kemudian berdiri. “Baiklah, daripada telingaku lama-lama tuli karena kebawelan kamu, ayo kita ke pantai.” Putusnya membuatku bersorak girang. “Ayo om!” Ajakku antusias sambil memegang lengannya. “Pakai baju itu? Ke pantai pakai kaus beruang?” Tanyanya sambil memandangku. “Memangnya kenapa? Aku tidak mau pakai bikini itu terlalu sexy, aku suka pakai kaus beruangku.” Jawabku membuatnya berdecak kesal. “Kamu memang benar-benar ajaib Anggia. Selain norak, berisik dan suka menggigit kamu juga keras kepala tidak bisa di beritahu dan yang paling utama adalah bodoh.” Ucap om Raka penuh penekanan pada kata bodoh membuatku kesal. “Enak saja aku bodoh, kalau aku bodoh mana mungkin aku bisa mendapatkan beasiswa kedokteran di kampus elit.” Protesku kesal. “Ya! Bisa di pastikan bahwa selain pelajaran kamu bodoh segala-galanya.” Ucapnya lagi dan aku hendak menggigit lagi lengannya tapi dia rupanya menghindar dengan gesit. “Kau pikir aku akan jatuh ke lubang yang sama Anggia? Itu tidak mungkin!” Kekehnya bangga karena berhasil menghindari gigitanku. “Cepat ganti baju! Ada banyak dress selutut di lemari pakaian itu boleh kamu pakai!” Perintahnya dan aku segera berbalik menuju kamar sambil menghentakkan kaki kesal. Rupanya om Raka tidak bohong, di dalam lemari ada banyak dress indah. Mungkin selama ini om Raka sering datang ke villa ini bersama mbak Zia sehingga banyak baju wanita. Tapi tunggu dulu! Dress ini ukuranku bukan ukuran mbak Zia. Apa om Raka membawa wanita lain yang memiliki tubuh seukuran denganku? “Aishh Anggia, kamu dilarang mengurusi urusan orang lain!” Gumamku pada diri sendiri. Kemudian aku memilih salah satu dress berwarna putih yang terlihat indah sekali lalu memakainya. Melepas ikat rambutku, menyisirnya dan membiarkannya tergerai. Sedikit takjub ketika melihat bayanganku sendiri di depan cermin. Memakai pakaian bagus ternyata menyumbang banyak pada kata cantik. Penampilanku berbeda dari yang biasanya hanya menggunakan celana jins dan kaus longgar. Tapi bisa dibilang ini mungkin hanya sedang bermimpi, karena di kemudian hari hal ini tidak akan terjadi lagi. “Sudah ganti nih om, ayo ke pantai.” Ucapku begitu keluar kamar. Ku lihat om Raka juga sudah berganti baju menjadi lebih santai tapi keren. “Uhukk!!” Kemudian dia tersedak minumannya begitu menoleh ke arahku. “Kenapa om? Aku salah yah pakai bajunya? Bukan yang ini yang om maksud?” Tanyaku sedikit merasa tidak enak. “Ekhem, enggak kok. Udah bener. Ayo ke pantai.” Jawabnya sedikit gugup kemudian mendahuluiku berjalan keluar membuatku mengernyit. Apa tadi om Raka habis dapat telpon dari mbak Zia lagi sehingga sikapnya jadi aneh? “Sampai sore yah om di pantainya?” Rengekku. Om Raka tidak menjawab. “Beliin aku es kelapa nanti yah om?” Ucapku lagi dan om Raka tetap tidak menjawab. “Oooommm!!” Aku memanggilnya sedikit kesal sambil mendorong lengannya pelan membuatnya berdecak. “Iya Anggia, Iya! Kamu berisik banget sih? Nggak lihat aku lagi nyetir?” Sungutnya kesal tapi aku tidak peduli, salah sendiri tidak menjawab. “Wahh bagus banget yah Bali?” Komentarku sambil melihat ke jalanan yang kami lewati. “Om, om lihat itu pantainya sudah kelihatan.” Sorakku girang. Tentu saja om Raka diam saja sambil memasang wajah kesal tapi kegembiraanku lebioh besar sehingga aku tidak peduli dengan ekspresinya. “Dari belakang Villa kita juga pantai sudah kelihatan Anggia! Jangan norak!” Ketusnya. “Benarkah? Kok aku nggak tahu? Kenapa om nggak kasih tahu sih?” Protesku kesal dan om Raka kembali tidak menjawab. *** Akhirnya kami sampai di pantai dengan air laut berwarna hijau ke biruan yang membuatku takjub. Dilihat langsung rupanya jauh lebih indah dari yang sering aku lihat di internet. Bali memang surganya indonesia dengan segala keindahan alamnya. Beruntung sekali aku bisa menyaksikan surga ini menggunakan mataku sendiri. “Wahhh bagus banget yah om? Ayo om aku pengen ngerasain airnya.” Ucapku takjub sambil menarik lengan om Raka menuju bibir pantai dan kemudian kami berlari kembali karena diterjang ombak. Aku tertawa lepas karena baju kami basah sebagian dan ku lihat om Raka juga ikut tertawa. Ini menyenangkan sekali dan aku benar-benar akan berterimakasih dengan tulus pada om Raka karena sudah menculikku ke sini. “Kamu senang?” Tanyanya dan aku mengangguk mantap. “Seumur hidup aku tidak pernah diajak piknik dan ini adalah piknik pertamaku.” Ucapku senang. Om Raka memandangku dengan ekspresi yang sulit ku artikan kemudian tersenyum. “Ini namanya bukan piknik tapi berwisata,” Koreksinya. “Ahh sama saja.” Jawabku sambil tertawa. “Nanti lain kali aku ajak kamu piknik beneran.” Ucapnya membuatku tertarik. “Beneran om?” Tanyaku antusias kemudian dia mengangguk. “Ahh tapi jangan deh om, nanti mbak Zia marah.” Desahku kecewa memikirkan bahwa posisiku di samping om Raka sebenarnya tidak boleh mengingat om Raka adalah kekasih mbak Zia. “Kalau kamu udah jadi istri om Zia nggak berhak marah dong. Anggap saja itu salah satu benefit yang kamu dapatkan karena mau jadi istri sementara aku.” Ucap om Raka seketika meredupkan tawaku. Kalimat ‘benefit dari istri sementara’ entah kenapa mencubit hatiku dan melukainya hingga terasa perih. “Kalau gitu lupakan, karena aku nggak mau jadi istri sementara om.” Jawabku yang juga meredupkan senyuman om Raka. “Tidakkah beberapa hari ini kamu merasakan bahwa berada di sekitarku sangat membahagiakan? Kamu tidak perlu merasakan penyiksaan keluargamu dan kamu juga bebas melakukan apapun. Kamu bisa istirahat dengan tenang dan kembali sehat setelah sakit? Semua itu akan berlangsung lama jika kamu setuju menjadi istriku.” Ucapnya lagi. “Apa berencana menjadi janda setelah satu tahun berlalu itu menyenangkan om? Om akan menikah dengan mbak Zia setelah kontrak kita berakhir tapi aku bagaimana? Laki-laki lain juga akan berbikir dua kali untuk mendekati seorang yang sudah pernah menikah sekalipun aku masih suci dan mungkin mereka juga akan meragukan kesucianku nantinya. Belum lagi hinaan dari teman-temanku yang harus aku terima. Coba om lihat aku!” Ucapku. “Aku dan om sama-sama manusia bukan?” Lanjutku. “Om memiliki perasaan dan om bisa terluka, akupun sama om. Akhir dari pernikahan sementara itu akan melukaiku sangat dalam.” tambahku. Om Raka diam sesaat kemudian mengarahkan pandangannya ke pantai. Tidak menanggapi ucapanku dan terlihat berpikir. Aku memang berharap om Raka mau memikirkannya berada di posisiku karena itu tidak mudah. “Ayo beli es kelapa!” Ajak om Raka mengajakku berdiri setelah cukup lama kami saling diam. Aku mengangguk antusias dan mengikutinya menuju penjual kelapa muda. Ternyata segar sekali meminum air kelapa di tepi pantai sambil memandang ke arah lautan biru yang luas. Seolah seluruh bebanku hilang terbawa angin, seolah aku sedang hidup di alam yang berbeda, seolah ini semua tidak nyata dan aku sedang bermimpi. “Aku baru tahu kalau air kelapa seribu kali lebih nikmat jika diminum di tepi pantai.” Ucapku sambil tersenyum. “Kamu kan norak mana tahu hal beginian.” Jawabnya mulai menyebalkan lagi. Aku merengut sebal ke arahnya dan dia memasang ekspresi tidak peduli. Kemudian dua orang anak muda berjalan ke arah tempat duduk kami kemudian tersenyum kepadaku ketika melewatiku. Aku mengerutkan dahiku karena aku tidak mengenalnya tapi kenapa dia tersenyum? “Om aku nggak kenal sama dia kenapa dia senyum ke aku yah?” Tanyaku dan om pandangan om Raka sedang fokus ke arah pemuda tadi. “Kamu bodoh.” Jawab om Raka tidak nyambung. “Ishh om Raka jahat.” Sungutku. “Nona, ini ada kelapa muda dari mas-mas yang baju putih itu.” Seorang pegawai kedai kelapa itu menyodorkan satu butir kelapa muda yang siap di minum airnya ke hadapanku. Ternyata pemuda yang tadi tersenyum itu yang memberikannya dan ketika aku menoleh dia kembali tersenyum sambil menunjuk ke arah kelapanya. Ada secarik kertas di bawahnya. “Kalau begitu berikan uang ini padanya dan katanya aku sanggup membelikan nona ini seluruh kelapa muda yang ada di Bali beserta pohonnya.” Ucap om Raka sambil menyodorkan selembar uang. Pelayan itu mengangguk dan menerimanya. Aku menatap om Raka bingung. “Berdiri Anggia! Kita pulang.” Ucapnya. “Kenpa om kan belum puas minum kelapanya.” Protesku. “Kamu bodoh jadi kita pulang!” Ucapnya yang entah kenap terlihat kesal. Padahal seharusnya aku yang kesal karena terus-terusan di sebut bodoh. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD