bc

Islam Masuk Betawi

book_age16+
7
FOLLOW
1K
READ
others
like
intro-logo
Blurb

SEJARAH ISLAM MASUK BETAWI Oleh: Aji Setiawan Abstraksi Di Batavia dahulu, Orang Selam adalah sebutan pembeda orang Betawi dari kelompok etnis lain. R. A. Sastradama, seorang turis lokal dari Surakarta yang berkunjung ke Batavia tahun 1870 menuturkan bahwa pendudukan kota itu umumnya menyebut diri orang Selam. Istilah Selam adalah pengucapan lokal untuk kata Islam. Suku/etnis Betawi adalah salah satu suku/etnis yang ada di Indonesia, dan diyakini sebagai penduduk asli wilayah Jakarta dan sekitarnya. Meskipun secara geografis mereka penduduk pulau Jawa, namun secara sosio-kultural mereka lebih dekat dengan Melayu. Key word; ulama, habaib, jaringan, betawi, sunda kelapa A. PENDAHULUAN Pada masa sekarang ini, masyarakat Betawi yang dikatakan sebagai warga asli Jakarta ini sebagian besar sudah terpinggirkan dari pusat-pusat kota Jakarta akibat pembangunan.

Kebanyakan masyarakat Betawi kini meninggali wilayah Jakarta pinggiran dan sekitarnya seperti Depok, Tanggerang, Bekasi, atau Parung. Selain karena pembangunan besar-besar di Jakarta yang menyebabkan tempat tinggal masyarakat Betawi tergusur, banyaknya pendatang dari luar Jakarta ikut memberikan pengaruh atas memudarnya kebudayaan Betawi di Jakarta.

Namun, jika kita telisik lebih jauh lagi ternyata etnis Betawi ini sendiri memiliki sejarah yang panjang sebagai warga asli tanah Jakarta. Selain itu mereka juga memiliki kebudayaan dan kearifan lokal tersendiri yang menjadi ciri khas mereka yang menambah keragaman Bangsa Indonesia. Agama Islam sendiri memberikan warna yang cukup banyak dalam kehidupan masyarakat Betawi. Karena itu nilai-nilai ajaran agama Islam pun sering kali mempengaruhi suatu kebudayaan orang Betawi.

B.Sejarah dan Asal-Usul Orang Betawi

Para ahli memiliki kesulitan dalam melacak asal-usul suku Betawi ini karena kurangnya sumber dan peninggalan yang ada. Adapun kata Betawi sendiri merupakan kata turunan dari kata Batavia, sebutan kota Jakarta pada masa Kolonial Belanda yang diberikan oleh J. P. Coen. Selanjutnya, orang-orang yang tinggal di Batavia disebut Betawi. Dalam konteks ke-Jakarta-an etnis Betawi jelas merupakan penduduk Jakarta dengan ciri-ciri bahasa, budaya, dan adat-istiadat yang berbeda dari pendatang lainnya.

Menurut pendapat Ridwan Saidi, orang-orang asli Betawi sudah ada sejak sebelum kedatangan bangsa Barat, meskipun saat itu kata Betawi belum dikenal, namun sudah ada orang-orang yang tinggal di daerah yang sekarang disebut kota Jakarta itu. Pendapat ini diambil oleh Ridwan Saidi atas beberapa alasan, pertama menurut Prof. Slamet Mulyana, mengungkapkan bahwa di daerah Condet, Jakarta Timur telah ditemukan kapak genggam dari zaman neolithikum. Hal ini memberikan bukti bahwa kawasan Condet sudah ada hunian sejak zaman pra-sejarah (Saidi, 2004: 4).

Kedua, adanya prasasti Tugu yang berasal dari abad ke-5 M yang ditemukan di simpang tiga Kramat Tunggak, Tanjung Priok. Batu ini berasal dari zaman Tarumangera, oleh orang-orang berbahasa Croel disebut sebagai Tugu, tapi orang Betawi menyebutnya sebagai Tunggak, dan sebagian masyarakat menganggap batu ini keramat, maka disebutlah daerah itu Kramat Tunggak. Dalam prasasti Tugu ini disebutkan tentang penggalian Sungai Chandrabagha oleh Raja Purnawarman.

Pada tahun ke-22 pemerintahan Raja Purnawarman digali pula Sungai Gomati sampai ke Laut dan dikerjakan selama 21 hari. Setelah selesai, diadakan upacara besar dan Raja menghadiahkan 100 ekor lembu kepada rakyat dan para Brahmana. Jadi saat masa Tarumanegara itu sudah banyak orang-orang atau komunitas masyarakat, terbukti dengan adanya upacara penghormatan yang dilakukan oleh Purnawarman itu, dan juga tentu para pekerja yang juga banyak untuk menggali sungai yang panjang tersebut (Saidi, 2004: 5).

Ketiga, bahwa nama-nama seperti Angke, Ancol, dan Kalimati berasal dari khazanah purba yang berasal dari bahasa Sansakerta, atau mengimitasi dari nama-nama tempat di India. Misalnya nama Angke berasal dari bahasa Sansakerta yakni Ankee yang artinya air yang dalam. Sedangkan Ancol juga asalnya adalah dar bahasa Sansakerta yang artinya air yang menggenang (Saidi, 2004: 6).

Hingga abad ke-10, sudah ada pembentukan komunitas baru yang membentuk suatu etnis baru hasil dari proses asimilasi orang-orang yang awalnya berbahasa Sunda Kuno dengan pendatang bar

chap-preview
Free preview
Sejarah Islam Masuk Betawi
SEJARAH ISLAM MASUK BETAWI Oleh: Aji Setiawan Abstraksi Di Batavia dahulu, Orang Selam adalah sebutan pembeda orang Betawi dari kelompok etnis lain. R. A. Sastradama, seorang turis lokal dari Surakarta yang berkunjung ke Batavia tahun 1870 menuturkan bahwa pendudukan kota itu umumnya menyebut diri orang Selam. Istilah Selam adalah pengucapan lokal untuk kata Islam. Suku/etnis Betawi adalah salah satu suku/etnis yang ada di Indonesia, dan diyakini sebagai penduduk asli wilayah Jakarta dan sekitarnya. Meskipun secara geografis mereka penduduk pulau Jawa, namun secara sosio-kultural mereka lebih dekat dengan Melayu. Key word; ulama, habaib, jaringan, betawi, sunda kelapa A. PENDAHULUAN Pada masa sekarang ini, masyarakat Betawi yang dikatakan sebagai warga asli Jakarta ini sebagian besar sudah terpinggirkan dari pusat-pusat kota Jakarta akibat pembangunan. Kebanyakan masyarakat Betawi kini meninggali wilayah Jakarta pinggiran dan sekitarnya seperti Depok, Tanggerang, Bekasi, atau Parung. Selain karena pembangunan besar-besar di Jakarta yang menyebabkan tempat tinggal masyarakat Betawi tergusur, banyaknya pendatang dari luar Jakarta ikut memberikan pengaruh atas memudarnya kebudayaan Betawi di Jakarta. Namun, jika kita telisik lebih jauh lagi ternyata etnis Betawi ini sendiri memiliki sejarah yang panjang sebagai warga asli tanah Jakarta. Selain itu mereka juga memiliki kebudayaan dan kearifan lokal tersendiri yang menjadi ciri khas mereka yang menambah keragaman Bangsa Indonesia. Agama Islam sendiri memberikan warna yang cukup banyak dalam kehidupan masyarakat Betawi. Karena itu nilai-nilai ajaran agama Islam pun sering kali mempengaruhi suatu kebudayaan orang Betawi. B.Sejarah dan Asal-Usul Orang Betawi Para ahli memiliki kesulitan dalam melacak asal-usul suku Betawi ini karena kurangnya sumber dan peninggalan yang ada. Adapun kata Betawi sendiri merupakan kata turunan dari kata Batavia, sebutan kota Jakarta pada masa Kolonial Belanda yang diberikan oleh J. P. Coen. Selanjutnya, orang-orang yang tinggal di Batavia disebut Betawi. Dalam konteks ke-Jakarta-an etnis Betawi jelas merupakan penduduk Jakarta dengan ciri-ciri bahasa, budaya, dan adat-istiadat yang berbeda dari pendatang lainnya. Menurut pendapat Ridwan Saidi, orang-orang asli Betawi sudah ada sejak sebelum kedatangan bangsa Barat, meskipun saat itu kata Betawi belum dikenal, namun sudah ada orang-orang yang tinggal di daerah yang sekarang disebut kota Jakarta itu. Pendapat ini diambil oleh Ridwan Saidi atas beberapa alasan, pertama menurut Prof. Slamet Mulyana, mengungkapkan bahwa di daerah Condet, Jakarta Timur telah ditemukan kapak genggam dari zaman neolithikum. Hal ini memberikan bukti bahwa kawasan Condet sudah ada hunian sejak zaman pra-sejarah (Saidi, 2004: 4). Kedua, adanya prasasti Tugu yang berasal dari abad ke-5 M yang ditemukan di simpang tiga Kramat Tunggak, Tanjung Priok. Batu ini berasal dari zaman Tarumangera, oleh orang-orang berbahasa Croel disebut sebagai Tugu, tapi orang Betawi menyebutnya sebagai Tunggak, dan sebagian masyarakat menganggap batu ini keramat, maka disebutlah daerah itu Kramat Tunggak. Dalam prasasti Tugu ini disebutkan tentang penggalian Sungai Chandrabagha oleh Raja Purnawarman. Pada tahun ke-22 pemerintahan Raja Purnawarman digali pula Sungai Gomati sampai ke Laut dan dikerjakan selama 21 hari. Setelah selesai, diadakan upacara besar dan Raja menghadiahkan 100 ekor lembu kepada rakyat dan para Brahmana. Jadi saat masa Tarumanegara itu sudah banyak orang-orang atau komunitas masyarakat, terbukti dengan adanya upacara penghormatan yang dilakukan oleh Purnawarman itu, dan juga tentu para pekerja yang juga banyak untuk menggali sungai yang panjang tersebut (Saidi, 2004: 5). Ketiga, bahwa nama-nama seperti Angke, Ancol, dan Kalimati berasal dari khazanah purba yang berasal dari bahasa Sansakerta, atau mengimitasi dari nama-nama tempat di India. Misalnya nama Angke berasal dari bahasa Sansakerta yakni Ankee yang artinya air yang dalam. Sedangkan Ancol juga asalnya adalah dar bahasa Sansakerta yang artinya air yang menggenang (Saidi, 2004: 6). Hingga abad ke-10, sudah ada pembentukan komunitas baru yang membentuk suatu etnis baru hasil dari proses asimilasi orang-orang yang awalnya berbahasa Sunda Kuno dengan pendatang baru dari Kalimantan Barat yang berbahasa Melayu Polinesia. Kelompok ini sampai abad ke-19 M disebut sebagai orang Melayu Jawa. Kelompok etnik ini pada tahun 1865 M sudah menyebut dirinya sebagai orang Betawi (Saidi, 2004: 41). Penyebutan orang Betawi adalah plesetan dari nama kota Batavia karena masalah transliterasi Arab Batavia yang menjadi ba-ta-wau-ya (Saidi, 2004: 16). Sejak dahulu memang daerah yang kini bernama Jakarta ini memang selalu ramai disinggahi oleh berbagai bangsa di dunia mulai dari Arab, India, Cina, hingga Eropa sehingga campuran budaya, akulturasi, sering terjadi di etnis Betawi. Karena itu banyak pula dari etnis Betawi namun berdarah Arab, atau bahkan Cina. Bangsa Eropa yang datang seperti Portugis dan Belanda pun banyak yang menetap dan mereka banyak membawa b***k-b***k dari luar, namun sejumlah tokoh sejarawan dan budayawan Betawi membantah jika disebutkan bahwa etnis Betawi ini adalah keturunan b***k yang dibawa oleh orang Barat. Karena sebelum kehadiran mereka pun sudah ada penduduk lokal asli meskipun saat itu belum disebut sebagai orang Betawi. C.Infiltrasi Islam Terhadap Masyarakat Betawi Ada dua pendapat tentang masuknya Islam ke tanah Betawi. Pertama menyatakan bahwa Islam datang dibawa ke Sunda Kalapa oleh Fatahillah saat dia menaklukan dan mengalahkan Portugis di Sunda Kalapa pada 1527 M. Pendapat kedua, menyatakan bahwa Islam dibawa ke Sunda Kelapa oleh Syekh Quro pada abad ke 15 M, lebih awal dibandingkan oleh Fatahillah, Ridwan Saidi seorang sejarawan dan budayawan Betawi adalah salah satu tokoh yang mendukung pendapat kedua ini (Kiki, 2011: 29). Bahkan menurut Ridwan Saidi, setidaknya ada lima fase tentang perkembangan Islam di tanah Betawi (Kiki, 2011: 30): Fase awal penyebaran Islam di Betawi dan Sekitarnya (1418-1527 M), oleh Syekh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpi Dato Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawa Bangke. Fase lanjutan penyebaran Islam (1522-1650 M), oleh Fatahillah, Dato Wan, Dato Makhtum, Pangeran Sugiri Kampung Padri, dan Kong Ja’mirin Kampung Marunda. Fase lanjutan kedua penyebaran Islam (1650-1750 M), oleh Abdul Muhid bin Tumenggung Tjakra Jaya dan keturunannya yang berbasis di Masjid Al Manshur Jembatan Lima, keturunan dari Pangeran Kadilangu, Demak yang berbasis di Masjid Al-Makmur, Tanah Abang. Fase perkembangan Islam (1750-sampai awal abad ke-19), oleh Habib Husein Alaydrus Luar Batang dan Syekh Junaid Al-Betawi, Pekojan. Fase kedua perkembangan Islam dari abad ke-19 hingga sekarang. Kisah yang biasa beredar ialah masuknya Islam dibawa oleh Fatahillah ketika ia menaklukan Sunda Kalapa. Fatahillah sendiri memiliki beberapa nama sebutan antara lain Falatehan, Fadhilah Khan, Ratu Pase, hingga Ratu Sunda Kalapa. Ia lahir di Pasai pada 1490 M (Fadhli HS, 2011: 42). Atas persetujuan Sultan Trenggono dari Demak, dan Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dia berhasil menguasai Sunda Kalapa dan mengubah nama daerah tersebut menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527 M. Sejak saat itu, dengan bantuan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, ia menyebarkan agama Islam di sana (Fadhli HS, 2011: 43). Islam di Betawi memang memberikan nafas tersendiri yang cukup kuat pada kebudayaan dan beberapa kesenian Betawi. Islam bahkan memberikan identitas sosio-kultural kepada orang Betawi yang dalam kurun waktu yang lama disebut dan menyebut diri mereka sebagai orang Selam. Betawi merupakan mosaik kebudayaan yang memiliki tekstur Islami tanpa kehilangan nuansa tradisionalnya. Meski demikian perlu kita ingat pula bahwa masyarakat Betawi pun sebenarnya tidak mutlak bersifat homogen, justru kebudayaan Betawi pun cukup beragam bukan hanya dikembangkan oleh mereka yang berdarah Melayu dan Islam, tapi oleh orang-orang Arab, Cina, dan yang beragama Kristen pun juga merupakan pendukung yang kuat kebudayaan Betawi (Saidi, 2004: 218). Susan Blackburn, penulis buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun bahkan mengungkapkan setidaknya ada dua ciri khas dari etnis Betawi, pertama ialah mereka beragama Islam dan fanatik terhadap agamanya, hal ini kemungkinan akibat berdatangannya para pedagang dan mubaligh dari daerah Arab ke tanah Betawi, selain itu juga bisa jadi akibat tekanan bangsa Eropa yang menjajah mereka. Kedua yang jadi ciri khas Betawi ialah mereka berbicara dengan bahasa mereka sendiri, hal ini mengagumkan mengingat di wilayah mereka terjadi percampuran berbagai suku bangsa, namun mereka bisa mempertahankan bahasa mereka sendiri (Blackburn, 2011: 90). Mengidentikkan ciri khas Betawi dengan Islam sebagaimana pendapat Susan Blackburn tentu bukan tanpa alasan. Di Batavia dahulu, Orang Selam adalah sebutan pembeda orang Betawi dari kelompok etnis lain. R. A. Sastradama, seorang turis lokal dari Surakarta yang berkunjung ke Batavia tahun 1870 menuturkan bahwa pendudukan kota itu umumnya menyebut diri orang Selam. Istilah Selam adalah pengucapan lokal untuk kata Islam (Aziz, 2002: 74). D.Penjajah Belanda dan Masyarakat Muslim Betawi di Batavia Masyarakat Betawi yang menempati wilayah Jayakarta tentu akan berinteraksi langsung dengan pihak VOC Belanda ketika awal kedatangannya sebab Batavia merupakan pusat pemerintahan saat itu. Ketika J. P. Coen menaklukan Jayakarta, orang-orang Islam diperkirakan mundur ke pedalaman. Daerah yang dituju antara lain ke Timur menyisir Kali Sunter sampai Jatinegara Kaum, di sana mereka mendirikan Masjid Assalafiyah pada tahun 1620 M. Sehingga saat itu pusat kegiatan Islam tidak terletak di pusat kota Batavia. Masjid sebagai pusat keagamaan di abad ke-17 terletak di Jatinegara dan bukan di pusat. Masjid-masjid yang berdiri saat itu selain Masjid Assalafiyah, diantaranya adalah Masjid Al-Atiq yang didirikan pada 1630 M di Kampung Melayu, Masjid Al-Alam pada tahun 1655 M di Cilincing, dan Masjid Alam di Marunda pada 1663 M (Fadhli HS, 2011: 47). Pemerintah Hindia-Belanda sempat menyudutkan agama Islam, sebagaimana menurut F. de Haan yang dikutip oleh Abdul Aziz, bahwa pemerintah sempat melarang pendirian masjid di Batavia, juga melarang adanya upacara khitanan ataupun pengajian, mereka yang mengadakan kegiatan keagamaan di tempat umum selain agama Kristen maka akan mendapat sanksi berupa penyitaan harta benda (Aziz, 2002: 44). Akan tetapi pelarangan ini mulai melunak ketika masuk abad ke-18 sehingga mulai bermunculan masjid-masjid di wilayah kota seperti masjid Al Mansur di Kampung Sawah, Jembatan Lima yang didirikan pada tahun 1717 M, lalu juga masjid Pekojan di Perkampungan Arab pada tahun 1755 M (Aziz, 2002: 45). Kemudian ada juga masjid Kebon Jeruk yang didirikan pada tahun 1718 M oleh rombongan penduduk China Muslim yang pimpin oleh Chan Tsin Wha bersama istrinya yakni Fatima Hwu yang mana mereka mengungsi ke Kebon Jeruk karena di China terdesak oleh penguasa Dinasti Chien yang menganut agama Budha (Setiati, et al., 2009: 122). Betapapun kuatnya tekanan dari penjajah Belanda, umat Islam di Betawi tetap memegang teguh agamanya. Dalam hal ini Buya Hamka dalam Seminar Perkembangan Islam di Jakarta tahun 1987 mengatakan: “Sungguhpun begitu adalah sangat mengagumkan kita, menilik betapa teguhnya orang Betawi atau orang Jakarta memeluk agama Islam. Selama 350 tahun itu, di antara penjajah dengan anak negeri asli masih tetap sebagai minyak dan air…” (Fadhli HS, 2011: 58). Menguatnya ruh keislaman di kalangan masyarakat Betawi ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari peran ulama. Sekitar 200 tahun lalu pada masa pemerintahan Inggris (1808-1816), Sir Thomas Stanford Raffles bahkan memuji kegigihan perjuangan ulama Betawi memajukan rakyatnya. Pujian ini disampaikan dalam peringatan ulang tahun Bataviasch Genootschap, sebuah lembaga kesenian beranggotakan warga Kristen. Prihatin terhadap keberhasilan dakwah ulama Betawi, dia meminta lembaga itu belajar dari mereka (Derani, Jurnal Al-Turas, 2, Juli 2013: 232). E.Ulama di Betawi Masyarakat Betawi menggunakan klasifikasi ulama ke dalam tiga kriteria, pertama adalah Guru, yaitu ulama yang mempunyai keahlian dalam suatu disiplin ilmu dan punya otoritas untuk berfatwa dan mengajar kitab. Kemudian ada Mu’allim, yaitu ulama yang mempunyai otoritas untuk mengajarkan kitab namun tidak untuk berfatwa. Kriteria terakhir ada Ustadz yang mengajarkan ilmu pengetahuan dasar Islam termasuk membaca Al Qur’an. Selain itu juga ada sebutan habib atau sayyid untuk mereka para ulama yang berasal dari Arab dan merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw (Fadhli HS, 2011: 69). Sejak abad ke-18 agama Islam di Batavia disiarkan oleh orang Arab dan orang Betawi, Jawa, Banten, dan Bugis. Saat itu juga banyak orang China yang masuk Islam. Salah satu ulama asal Arab yang menyebarkan Islam di Batavia saat itu ialah Habib Husain Alaydrus dari Hadramaut dan mendirikan Masjid Kramat Luar Batang pada 1735 M (Fadhli HS, 2011: 47). Selain itu ada juga Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya (1822-1924) yang juga dikenal sebagai Mufti Betawi. Sayyid Usman lahir di Pekojan, dan sempat belajar di Mekkah dan Hadramaut sebelum akhirnya kembali ke Batavia pada 1862 M. Di Batavia ia mengabdikan dirinya untuk berdakwah, mengajar, dan menulis. Dia mulai mengajar di Masjid Pekojan (Fadhli HS, 2011: 80). Memang dalam hubungannya dengan Belanda, ia tidak terlalu keras, dalam persoalan politik ia menginginkan perdamaian di Hindia Belanda dan penegakkan hukum guna keamanan (Fadhli HS, 2011: 81). Sayyid Usman juga cukup produktif dalam mengarang kitab, ia bahkan memiliki percetakan sendiri di Tanah Abang (Fadhli HS, 2011: 83). Lalu ada juga Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi atau biasa dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang. Lahir pada 20 April 1869 M di Kwitang. Ayahnya adalah Habib Abdurrahman, menikah dengan Nyai Salmah binti Haji Ali, putri asli Betawi. Saat berusia 12 tahun, Habib Ali sudah dikirim ke Hadramaut untuk belajar. Di sana ia memiliki guru antara lain Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Mahsyur, dan lainnya. Ia juga sempat belajar ke Mekkah dan Madinah. Kemudian ia kembali ke Indonesia pada tahun 1889 M (Fadhli HS, 2011: 94). Di Kwitang ia mulai mendirikan majelis ta’lim yang diikuti banyak masyarakat bahkan dari luar daerah. Di antara para muridnya yang menjadi ulama besar yakni Mu’allim Thabrani Paseban, KH. Abdullah Syafi’i, KH. Syafi’i Hadzami, KH.Thohir Rohili, KH. Muhammad Naim, dan masih banyak lagi. Para habib dan ulama dari Arab memang memiliki peranan yang cukup besar dalam penyebaran Islam di Batavia. Selain itu hubungan dengan Timur Tengah terutama melalui perjalanan ibadah haji juga memperkaya jaringan keulamaan dari Betawi. Di abad ke-18 dan 19 sudah banyak orang Betawi yang melakukan ibadah Haji ke Mekkah. Tidak sedikit diantara para jama’ah haji itu bermukim terlebih dahulu di Mekkah untuk belajar Islam. Di antara orang Betawi yang bermukim di Mekkah sana adalah Abdurrahman Al-Mashri Al-Batawi (Fadhli HS, 2011: 73). Juga ada Syaikh Junaid Al-Batawi yang telah menetap di Mekkah sejak 1834 M, di sana ia sering menampung dan mengajari jama’ah haji asal Betawi, dan salah satu muridnya ialah Syaikh Nawawi Al-Bantani (Fadhli HS, 2011: 75). Di abad ke-19 hingga awal abad ke-20 bahkan dikenal beberapa ulama Betawi di Batavia yang amat populer, di antaranya: Guru Manshur dari Jembatan Lima Nama lengkapnya ialah Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Damiri bin Abdul Muhid bin Tumenggung Tjakra Jaya, dan dilahirkan pada 1878 M. Guru Manshur merupakan keponakan dari Syaikh Junaid Al-Batawi karena ayahnya, KH. Abdul Hamid, adalah adik kandung Syaikh Junaid. Di usia 16 tahun ia pergi ke Mekkah untuk belajar dan kembali lagi ke Batavia. Guru Manshur pernah mengajar di Jam’iyatul Khair pada 1907 M bersama dengan Syaikh Ahmad Sookarti dan KH. Ahmad Dahlan (Fadhli HS, 2011: 108). Di antara beberapa muridnya ialah KH. Firdaus (Mu’allim Rojiun Pekojan), KH. Muhadjirin Amsar Ad-Dary, KH. Abdul Rasyid (Mu’allim Rasyid, dari Tugu Selatan Jakarta Utara), dan Muallim KH. Syafi’i Hadzami (Kiki, 2011: 68). Guru Marzuqi dari Cipinang Muara Nama lengkapnya ialah Ahmad Marzuqi bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Khotib Sa’ad bin Ahmad Al-Fathani. Ia dilahirkan pada 23 September 1877 M di Rawa Bangke atau sekarang bernama Rawa Bunga (Mirshod: 2). Di usianya yang ke 12 tahun, Ibundanya menitipkan Marzuqi kecil kepada seorang ulama di Rawa Bangke, Syaikh Anwar untuk dididik. Selama empat tahun sejak 1889-1893 M itu ia sudah menguasai pelajaran baca Al Qur’an dan ilmu dasar Islam dengan baik. Atas restu ibu dan gurunya, ia melanjutkan pendidikannya kepada Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan atau biasa dikenal Sayyid Usman Muda yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Sayyid Usman bin Yahya yang merupakan Mufti Betawi itu (Mirshod, et al.,: 4). Pada 1907 M, Guru Marzuqi melanjutkan pembelajarannya ke Mekkah. Di Mekkah selama tujuh tahun ia banyak berguru kepada ulama di sana seperti Syaikh Utsman As-Sarkawi, Syaikh Mahfudz At-Termasi, Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syaikh Marzuqi Al-Bantani, Syaikh Umar Syattho, dan masih banyak lagi guru lainnya (Mirshod: 7). Sekembalinya dari Mekkah, Guru Marzuqi mulai mendirikan pesantren dan mengajar di Batavia, tepatnya di Rawa Bangke kemudian berpindah ke Cipinang Muara. Guru Marzuqi dikenal sebagai Gurunya Ulama Betawi sebab banyak murid hasil dididikannya menjadi ulama terkemuka di kalangan Betawi. Di antaranya ada KH. Abdullah Syafi’i, KH. Noer Ali (Pahlawan Nasional), KH. Thohir Rohili, KH. Achmad Mursyidi, KH. Ahmad Zayadi Muhajir, dll (Kiki, 2011: 91). Guru Mughni dari Kuningan Nama lengkapnya ialah Mughni bin Sanusi bin Ayyub bin Qais, lahir di Kampung Kuningan sekitar tahun 1860 M. Keluarganya merupakan keluarga yang sangat taat dalam menjalankan agama Islam. Awalnya ia belajar dari ayahnya, H. Sanunsi, kemudian karena kecerdasannya membuat ayahnya bertekad untuk mengirimnya belajar ke Mekkah. Di Mekkah ia belajar dengan para gurunya antara lain Syaikh Sa’id Al-Babshor, Syaikh Muhammad Sa’id Al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki, Syaikh Muhammad Umar Syattho, Syaikh Ahma Khatib Al-Minangkabawi, hingga Syaikh Nawawi bin Umar Al-Bantani (Kiki, 2011: 128). Selama di tanah suci, Guru Mughni juga berteman baik dengan Guru Marzuqi karena mereka memiliki guru yang sama. Bahkan setelah keduanya kembali dari tanah air, hubungan mereka tambah erat dengan pernikahan antara putra Guru Mughni yakni KH. Ali Sibromalisi yang menikah dengan putri Guru Marzuqi yakni Hj. Syaikhoh (Fadhli HS, 2011: 87). Pada tahun 1926 M, Guru Mughni juga mendirikan madrasah Sa’adatud Dara’in yang saat itu menjadi satu-satunya madrasah di Kuningan. Awalnya bangunan madrasah itu hanyalah rumah kediaman ayahnya. Dalam hal pendidikan memang Guru Mughni agak ketat, ia tidak mengizinkan keluarganya ada yang masuk ke sekolah Belanda, hal ini sebagai wujud perlawanannya (Fadhli HS, 2011: 89). Di antara para muridnya yang menjadi ulama Betawi ialah Guru Abdul Rachman dari Pondok Pinang, KH. Mughni dari Lenteng Agung, KH. Muhammad Naima tau Guru Naim dari Cipete, KH. Hamim dari Cipete, dan masih banyak lagi (Kiki, 2011: 130). Guru Madjid dari Pekojan Nama lenkapnya adalah Abdul Madjid, lahir di Pekojan pada tahun 1887 M. Ia juga bermukim dan belajar ke Mekkah sebelum pada akhirnya berdakwah dan mengajar di Batavia. Selain belajar dari ayahnya, KH. Abdurrahman, di Mekkah ia belajar dengan gurunya yakni Syaikh Mukhtar Atharid dam Syaikh Sa’id Al-Yamani (Kiki, 2011: 144). Di antara para muridnya yang menjadi ulama Betawi antara lain Mu’allim Thabrani Paseban, KH. Abdul Ghani, KH. Abdul Rozak Ma’mun dari Tegal Parang, KH. Soleh dari Tanah Koja, KH. Abadullah Syafi’i, KH. Nahrawi dari Kuningan, KH. Sa’idi dari Ciputat, KH. Bakir dari Rawa Bangke, KH. Tohir Rohili, dll (Kiki, 2011: 147). Guru Khalid dari Gondangdia Nama lengkapnya adalah Ahmad Khalid, ia dilahirkan di Bogor dan menikah dengan perempuan asal Gondangdia. Informasi mengenainya masih sulit ditemukan. Akan tetapi diketahui bahwa Guru Khalid juga sempat bermukim di Mekkah untuk belajar. Gurunya di antaranya ialah Syaikh Mukhtar Atharid dan Syaikh Umar Bajunaid. Sedangkan murid-muridnya yang belajar dan menjadi ulama ialah Guru Yakub dari Kebon Sirih, Guru Ilyas dari Cikini, Guru Mujib dan Tanah Abang, KH. Mukhtar Siddik dari Kemayoran, dan masih banyak lagi (Kiki, 2011: 151). Guru Mahmud Romli Amat sedikit informasi mengenai dirinya. Namun diketahui nama lengkapnya ialah Mahmud bin H. Romli. Ia bersama keluarganya sempat berangkat ke tanah suci, hanya saja keluarganya meninggal di sana sehingga ia mengembara sendiri di Arab hampir selama 17 tahun. Di antara para muridnya yang menjadi ulama ialah KH. Muhammad dari Cakung Barat, Mu’allim Syafrie dari Kemayoran, dan Mu’allim KH. M. Syafi’i Hadzami. (Kiki, 2011: 157). Semasa hidupnya Guru Mahmud pernah mendirikan madrasah Muawanatul Ikhwan di Menteng dan pernah menjadi ketua Masjid Tangkuban Perahu sejak 1908 M (Fadhli HS, 2011: 92). Keenam ulama asli Betawi itu, yakni Guru Manshur, Guru Marzuqi, Guru Mughni, Guru Madjid, Guru Khalid, dan Guru Mahmud, dikenal sebagai “enam pendekar” ulama Betawi (Aziz, 2002: 48). Mereka dikenal dengan sebutan tersebut berkat keilmuan dan pengaruhnya terhadap dakwah Islam di kalangan masyarakat Betawi pada abad ke-19 hingga ke-20. F. Tinjauan Kepustakaan Beberapa literatur terkait kajian penelitian ini akan merujuk kepada sumber-sumber primer dalam bahasa arab atau bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan penelitian yang berkaitan dengan tema yang penulis ajukan belum begitu banyak dikaji pada tingkat akademik. Walaupun demikian, beberapa literatur yang dirasa dapat membantu penulis mengkaji tentang hal ini adalah sebagai berikut: Pertama, buku “Tharīqah ‘Alawiyyah ; Napak Tilas dan Pemikiran alAllāmah Sayid ‘Abdullah al-Haddad, Tokoh Sufi Abad ke-17”. Buku ini ditulis oleh Umar Ibrahim sebagai disertasinya di Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan diberikan kata pengantar oleh Azyumardi Azra. Di dalam buku ini, Umar Ibrahim secara khusus menerangkan tentang Tharīqah ‘Alawiyyah dari sisi ajarannya, transmisi intelektualnya, sejarah berdirinya serta perkembangan Tharīqah ‘Alawiyyah itu sendiri sebagai salah satu tharīqah mu’tabarah. Dalam buku ini juga, penulis melakukan penjabaran terhadap salah satu tokoh yang paling berpengaruh di Tharīqah ‘Alawiyyah selain pendirinya Imam Alawi bin Ubaidillah, yaitu Sayid Abdullah alHaddad yang wirid karangannya masih menjadi salah satu zikir asasi yang dibaca oleh para salik di dalam Tharīqah ‘Alawiyyah. Buku ini menjadi rujukan akademik yang komperhensif dalam memahami Tharīqah ‘Alawiyyah secara umum. Hanya saja, di dalam buku ini belum banyak menyinggung perkembangan Tharīqah ‘Alawiyyah di Nusantara. Kedua, buku “Genealogi Intelektual Ulama Betawi; Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21”. Buku ini bisa dikatakan sebagai rujukan sistematis dan pemetaan penulis dalam menyusun penelitian ini yang membahas tentang jaringan ulama Betawi secara serius. Buku ini menarasikan secara umum biografi dan sanad keilmuan ulama-ulama Betawi dari Abad ke-19 sampai pada masa saat ini. Namun penelitian dalam buku ini belum menyentuh pembahasan tentang sanad ketarekatan yang dimiliki oleh para ulama-ulama Betawi. Ketiga, buku 27 Habāib berpengaruh di Betawi; Kajian Karya Intelektual dan Karya Sosial Habāib Betawi dari Abad ke-17 hingga Abad ke-21. Buku ini merupakan lanjutan dari buku “Genealogi Intelektual Ulama Betawi; Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21” yang diterbitkan oleh Jakarta Islamic Center dan merupakan penelitian paling baru yang membahas khusus komunitas ‘Alawiyyīn di Betawi dan cukup memberikan pemetaan terhadap karya intelektual dan sosial para Habāib di Jakarta dari Abad ke-17 sampai Abad ke-21 meskipun belum secara khusus mengkaji tentang Tharīqah ‘Alawiyyah . Keempat, buku “Akar Tasawuf di Indonesia”, karangan Alwi Syihab. Dalam buku ini sang penulis membuat hipotesa tentang akar ajaran tasawuf di Indonesia yang bermuara kepada tarekatnya kaum keturuan Nabi Muhammad Saw.. Mengingat, bahwa masuknya Islam secara masif di Nusantara ini adalah berkat para ulama-ulama sufi yang belakangan dikenal dengan sebutan Walisongo. Buku ini menegaskan ajaran tasawuf para Wali Songo yang dikatakan merupakan perpanjangan ajaran dari tharīqah kaum sādah Ba ‘Alawi. Keempat, Tesis yang berjudul “Tarekat Ashābul Yamīn; Studi tentang pemikiran Tasawuf Sayid Abdullah bin Alwi al-Haddad dan pengaruhnya di masyarakat Jakarta” yang ditulis oleh Fahrizal pada tahun 2010 dalam bidang kajian Islam pada program studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia. Tesis ini secara umum menerangkan corak tasawuf Imam Abdullah al-Haddad dan keterpengaruhannya bagi masyarakat Islam di Jakarta tanpa menjabarkan lebih jauh mengenai relasi dan corak jaringan keilmuan Tharīqah ‘Alawiyyah . Lagi pula, tesis ini merupakan kajian modern mengenai pengaruh pemikiran Habib Abdullah al-Haddad tanpa meneliti jejaring keilmuannya lebih mendalam. Kelima, kitab-kitab berbahasa arab kalangan Sayid Abdullah alHaddad tentang nilai-nilai tasawuf yang diajarkannya seperti kitab: al-Nashāih al-Dīniyyah wa al-Washāya al-Imāniyyah al-Nafāis al-Ulwiyyah fi Masā’il a;-Shūfiyyah, Risālah ādab sulūk al-Murīd, dll. Keenam, buku-buku sejarah dan biografi ulama-ulama Nusantara yang membahas tentang transmisi intelektualnya ataupun ajaran-ajaran keislamannya, Disamping juga penulis akan mempergunakan buku-buku tentang sejarah Betawi, baik itu tinjauan yang terkait dengan demografi, sosiologi, tradisi, dan budaya masyarakatnya. Beberapa buku yang bisa menjadi rujukan adalah: “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-17 dan 18”, karangan Azyumardi Azra, “Master Piece Islam Nusantara; Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945)”, karangan Zainul Milal Bizawi, “Wali Songo; Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan”,karangan Agus Sunyoto, “lexiografi Sejarah & Manusia Betawi”, karangan Ridwan Saidi, “Ulama Betawi (Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20)”, karangan Ahmad Fadli HS. Ketujuh, beberapa karya akademik yang mempunyai kaitan dengan tema yang penulis angkat, diantara lain; “Jaringan Keilmuan Guru Tharīqah Syadziliyah di Solo Raya-Jawa Tengah Abad 19-20” yang ditulis oleh Ahmad Iftah Sidik di Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama Jakarta, “Tarekat Tijaniah di Kabupaten Garut” yang ditulis oleh Mohammad Najib, yang merupakan tesis di Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, tahun 1994. “Telaah Sosio-Antropologis Praktek Tarekat ‘Alawiyyah di Gresik” yang ditulis oleh Fikri Mahzumi dan dimuat di dalam jurnal Maraji’pada September 2014. Serta beberapa jurnal yang ditulis oleh Ismael Fajri Alatas yang banyak membahas tentang komunitas Hadramy di Indonesia dan dunia. G. Kerangka Teoritik Agar dapat memetakan teori peneletian dalam tesis ini, secara khusus ada beberapa istilah yang menjadi kata kunci kajian ini, yaitu: 1. Tharīqah atau Tarekat Kemunculan Tharīqah di dalam dunia Islam, tidak bisa dilepaskan dari kemunculan terminologi-terminologi tasawuf dan kaum sufi itu sendiri. Jika memakai tipologi fikih, maka Tharīqah adalah mazhab-mazhab dari ajaran tasawuf yang merupakan pengejawantahan dari salah satu rukun agama yaitu Ihsan. Dalam sejarah perkembangan Islam, tasawuf dan tarekat mengalami pasang surut. Sebagai bagian dari pelaksanaan syariat, sebenarnya tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah saw, dilanjutkan pada masa sahabat, kemudian berkembang sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad ke-2 H, lewat tokoh-tokoh seperti Hasan al-Bashri, Sofyan al-Tsauri, Junaedi al-Baghdadi, Abu Yazid al-Busthami dan sebagainya. Meski dalam perjaalannya tasawuf juga tak lepas dari kritikan para ulama ahli fikih, hadis dan sebagainya. Menurut Alwi Shihab, setidaknya periodisasi pertumbuhan dan perkembangan tasawuf terbagi ke dalam beberapa tahap:23 Pertama, tahap Zuhud (Abad ke 1-2 H), kedua, tahap kodifikasi ilmu tasawuf dimana istilah tarekat yang kala itu merupakan semacam lembaga pendidikan yang memberikan pengajaran teori dan praktik sufistik mulai diperkenalkan (Abad ke 3-4 H), ketiga, tahap tasawuf falsafi (Abad ke 6 H), dan keempat tahap moderasi tasawuf akhlaki yang pondasinya dimulai dari al-Ghazali yang dengan rumusan konsep tasawuf moderatnya menjadikan tasawuf dianggap selaras dengan syariat. Pada tahap inilah kemudian melahirkan tipologi tasawuf menjadi tasawuf Sunni dan tasawuf falsafi; Tasawuf Sunni merupakan kepanjangan aliran tasawuf yang dikembangkan oleh para sufi pada abad ke-3 dan ke-4 H yang disusul al-Ghazali dan para pengikutnya dari guru-guru tarekat dan berwawasan moral praktis dan berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. Adapaun tasawuf falsafi lebih kepada menggabungkan tasawuf dengan berbagi aliran mistik dari dari lingkugnan di luar Islam, seperti Hinduisme, kependetaan Kristen ataupun teosofi dan neo-Platonisme. Tarekat atau tharīqah sendiri yang merupakan mazhab-mazhab dalam tasawuf adalah sebuah metode yang dikembangkan oleh para ulama dalam menempuh jalan spiritualitas menuju Allah Swt. Kata tarekat dan tharīqahberasal dari Bahasa Arab al-Tharīq yang berarti jalan yang ditempuh dengan jalan kaki. Dari pengertian ini kemudian kata tersebut digunakan dalam konotasi makna cara seseorang melakukan suatu pekerjaan, baik teruji maupun tercela. Sebagai sebuah metode spiritualitas, biasanya tarekat memiliki amalam zikir dan wirid yang dilazimkan serta hubungan khusus antara guru dan murid (Shuhbah) yang kesemuanya merupakan proses perjalanan untuk melalui tahap-tahap mencapai tujuan. Setiap tarekat memiliki karakter wirid dan zikirnya masing-masing yang dianggap dapat membantu seorang salik dalam mengasah daya ruhaninya. Dalam tarekat mu’tabarah (tarekat yang terverifikasi), biasanya wirid dan zikir ini memiliki jalur transmisi periwayatan yang terus bersambung kepada tokoh-tokoh sentral di generasi sebelumnya yang terus bersambung kepada pendiri sebuah taraket. Proses kegiatan tarekat biasanya dimulai dengan pengambilan baiat atau sumpah dari seorang murid dihadapan guru setelah sebelumnya melakukan tobat, puasa atau ritual-ritual lain yang diperintahkan sang guru (mursyid) tersebut. Ritual baiat seperti ini hampir ditemukan di dalam semua institusi tarekat yang mu’tabar kecuali Tharīqah ‘Alawiyyah yang tidak mengharuskan adanya mursyid dan juga baiat. Akibat lebih berorientasi kepada tujuan-tujuan spiritual, tarekat juga seringkali menjadi kambing hitam dari kemunduran dialektika sosial di kalangan umat Islam. Para pengamal sufi, seringkali lebih asik bercengkrama dengan amalan-amalan seperti sujud, zikir, hidup di kesunyian dan jauh dari hingar bingar matrealistik sehingga tidak jarang malah meniadakan dialektika serta peran sosial disekitarnya. Tentu kita pahami bahwa adanya distorsi dalam pelaksanaan tarekat ini bukanlah hakikat dari ajaran tarekat, sebab ajaran tarekat merupakan ajaran spiritualitas yang menempatkan moralitas, etika, sopan santun pada posisi yang utama, sehingga sangat tidak masuk akal jika seseorang yang mengaku sebagai pengamal tarekat malah meniadakan peran sosialnya di tengah-tengah masyarakat sebab substansi dari moralitas terletak pada keberhadirannya di ruang sosial. Seorang muslim wajib menempuh jalan spiritualitas, namun bukan berarti dia harus masuk ke dalam sebuah institusi tarekat. Tarekat hanyalah sebuah metode dalam bertasawuf, itu berarti bahwa seseorang bisa saja sudah dikatakan mengamalkan tasawuf walaupun tanpa mengamalkan tarekat tertentu. Dari hal inilah kemudian para sarjana ada yang membedakan antara istilah tharīqah dan tarekat; Tharīqah merupakan metode spiritualitas, . tarekat lebih kepada pelembagaan secara rigid dari metode itu sendiri. Dalam penelitian ini, secara operasional, penulis merasa perlu membedakan antara istilah tarekat dan tharīqah saat menjelaskan ‘Alawiyyah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan karakter antara Tharīqah ‘Alawiyyah yang berbeda dengan tarekat kebanyakan. Beberapa karakter yang menonjol dari tharīqah ini adalah: Pertama, tharīqah ini tidak mengharuskan talqin atau baiat bagi murid baru, sehingga siapa pun dapat langsung mengamalkan tarekat ini tanpa harus berguru kepada mursyid. Kedua, selain berintikan keharusan menghiasi diri dengan akhlak mulia, tarekat ini menekankan amalan yang tergolong cukup ringan, yakni berupa himpunan wirid dan dzikir yang dikenal dengan wirdu al-Latfhīf dan ratib al-Haddad. Ada yang berpendapat bahwa sementara tarekat lain biasanya cendrung melibatkan riyādhah-riyādhah (latihan-latihan) fisik dan kezuhudan yang ketat, Tharīqah ‘Alawiyyah hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak. Ketiga, posisinya yang unik berhadapan dengan kontroversi tasawuf falsafi, yakni menjaga jarak dan tidak mau berurusan dengannya seraya menjaga sikap simpati terhadapnya. Kebanyakan para Habaib ini menempuh jalan Thariqah Alawiyyah. Thariqah As-Sadah Al-Ba’Alawi) adalah suatu tarekat sufi Islam Sunni yang terkenal, yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Ali Ba’alawi, bergelar Al-Faqih Al-Muqaddam (lahir di Tarim, Yaman, 574 H/k. 1178 M, dan wafat 653 H/k. 1256 M). Tarekat ini kemudian semakin berkembang dengan pesat di tangan Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Penyebarannya yang terbesar adalah di Yaman, selain itu juga tersebar di Indonesia, Malaysia, Singapura, Kenya, Tanzania, India, Pakistan, Hijaz, dan Uni Emirat Arab yang merupakan pula wilayah diaspora bangsa Arab Hadramaut. Thariqah ini sendiri diasas oleh Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi (574 H/1178M-653H/1255 M Tarim-Yaman). Ada dua jalur keilmuan dan thariqah yang diambilnya. Pertama ia mengambilnya dari jejak leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus bersambung sampai Rasulullah SAW. Jalur yang kedua ia mengambil dari ulama sufi, yakni Syaikh Abu Madyan Syu’aib dimana sanad mata rantai keilmuannya juga akhirnya sambung sinambung sampai Rasulullah SAW. Di Kemudian hari, keluarga Ba’alawi ini sebagian ada masuk ke wilayah Nusantara seiring gelombang penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat itu, Nusantara menjadi objek kunjungan dagang, melalui Bandar Malaka. Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sayangnya dokumen sejarah islam sebelum abad 17 cukup sulit dilacak. Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja muslim. Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW sebagai Shahibuth Thariqah, untuk men-talqin-kan dzikir atau wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam thariqah Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam. Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak saja pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran Islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah Swt. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thariqah. Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci. Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, salah seorang tokoh Thariqah Naqsyabandiyah yang bermazhab Syafi’i, menyatakan, yang dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain. Seorang mursyid yang mu’tabar, diakui keabsahanya, itu tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW. Sementara Syaikh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, menetapkan syarat menjadi mursyid lebih luas lagi: memiliki keilmuan standar para ulama, kearifan para ahli hikmah, dan wawasan serta nalar politik seperti para politisi.Jaringan Santri Home Berita dan KajianTelaah Thariqoh Alawiyyin Dalam Perlintasan Dunia Tasawuf Telaah Thariqoh Alawiyyin Dalam Perlintasan Dunia Tasawuf Oleh: Aji Setiawan 14 Januari 2021 Kebanyakan para Habaib ini menempuh jalan Thariqah Alawiyyah. Thariqah As-Sadah Al-Ba’Alawi) adalah suatu tarekat sufi Islam Sunni yang terkenal, yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Ali Ba’alawi, bergelar Al-Faqih Al-Muqaddam (lahir di Tarim, Yaman, 574 H/k. 1178 M, dan wafat 653 H/k. 1256 M). Tarekat ini kemudian semakin berkembang dengan pesat di tangan Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Penyebarannya yang terbesar adalah di Yaman, selain itu juga tersebar di Indonesia, Malaysia, Singapura, Kenya, Tanzania, India, Pakistan, Hijaz, dan Uni Emirat Arab yang merupakan pula wilayah diaspora bangsa Arab Hadramaut. Thariqah ini sendiri diasas oleh Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi (574 H/1178M-653H/1255 M Tarim-Yaman). Ada dua jalur keilmuan dan thariqah yang diambilnya. Pertama ia mengambilnya dari jejak leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus bersambung sampai Rasulullah SAW. Jalur yang kedua ia mengambil dari ulama sufi, yakni Syaikh Abu Madyan Syu’aib dimana sanad mata rantai keilmuannya juga akhirnya sambung sinambung sampai Rasulullah SAW. Di Kemudian hari, keluarga Ba’alawi ini sebagian ada masuk ke wilayah Nusantara seiring gelombang penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat itu, Nusantara menjadi objek kunjungan dagang, melalui Bandar Malaka. Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sayangnya dokumen sejarah islam sebelum abad 17 cukup sulit dilacak. Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja muslim. Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW sebagai Shahibuth Thariqah, untuk men-talqin-kan dzikir atau wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam thariqah Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam. Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak saja pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran Islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah Swt. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thariqah. Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci. Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, salah seorang tokoh Thariqah Naqsyabandiyah yang bermazhab Syafi’i, menyatakan, yang dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain. Seorang mursyid yang mu’tabar, diakui keabsahanya, itu tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW. Sementara Syaikh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, menetapkan syarat menjadi mursyid lebih luas lagi: memiliki keilmuan standar para ulama, kearifan para ahli hikmah, dan wawasan serta nalar politik seperti para politisi. Pra syarat yang cukup berat ini menunjukkan bahwa selain membimbing dalam urusan agama, seorang mursyid juga menjadi penasehat bagi murid-muridnya dalam hampir seluruh aspek kehidupannya: politik, ekonomi, budaya, sosial dan pendidikan. Di luar urusan pendidikan dan kapasitas personal, kalangan thariqah juga meyakini, bahwa terpilihnya seorang sufi menjadi guru mursyid adalah anugerah sekaligus ujian hidup yang luar biasa. Karena itu pemilihan seseorang mursyid bukan sekedar hasil pemikiran dan ijtihad dari gurunya, melainkan hasil petunjuk dari Allah Ta’ala dan Rasulullah, sebagai pemilik dan guru sejati ilmu thariqah. Karena pengangkatannya bersumber dari petunjuk atau isyarah yang diberikan Allah, kemursyidan seseorang sufi biasanya diketahui secara spiritual oleh mursyid-mursyid mu’tabar lain di thariqahnya. Selain penjagaan otentisitas sanad kemursyidan melalui jalur spiritual, upaya penjagaan lahiriah juga diupayakan para guru mursyid dengan selalu menghadirkan empat orang saksi dalam prosesi pengangkatan seorang murid menjadi mursyid, dan belakangan dengan surat keterangan tertulis. Ini semua dalam rangka menghindari fitnah-fitnah atau pengakuan palsu mengenai kemursyidan seseorang, yang berpotensi merugikan umat Islam yang ingin mempelajari dan mengikuti thariqah shufiyyah. Karena prosesnya yang diyakini murni bersumber dari petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW itu pula proses regenerasi kemursyidan tidak berjalan dengan mudah dan terus mengalir secara otomatis. Jika ada seorang ulama yang menjadi mursyid, tidak otomatis bisa diharapkan anaknya akan menggantikannya sebagai mursyid kelak sepeninggal sang ayah. Juga tidak dengan mudah diharapkan, jika ada seorang mursyid yang memiliki banyak murid maka akan dengan mudah mengangangkat banyak pengganti. Karena itu tak jarang, seorang mursyid yang sangat terkenal sampai wafatnya tidak mengangkat mursyid baru atau mursyid penggantinya, sehingga garis kemursyidannya pun terputus. Selain Mursyid atau Muqaddam, yang berhak mengajarkan thariqah, menerima bai’at dan mengangkat mursyid baru, dalam tradisi thariqah –termasuk Syadziliyyah—di Indonesia juga dikenal sebutan Khalifah dan Badal Mursyid. Khalifah adalah seorang sufi yang mendapat ijazah untuk mengajarkan thariqah dan menerima pembai’atan, kepada umat Islam, tetapi tidak berhak mengangkat mursyid baru. Sedangkan Badal adalah seorang sufi, murid senior dari seorang mursyid, yang membantu proses pengajaran thariqah dan menerima pemba’aiatan atas nama dan dengan ijin mursyid. Jadi badal tidak berhak membuka pembai’atan dan pengajaran sendiri, secara mandiri. Ketika seorang guru mursyid wafat dan tidak mengangkat pengganti, maka demi keberlangsungan suluknya, para murid diharuskan melanjutkan pelajaran, bai’at dan suluknya kepada guru mursyid lain. Di kalangan Habaib selain dipercaya memperoleh sanad kelimuan dan thariqah melalui jalur nasab (keturunan), atau marga. Mereka juga berburu sanad (mata rantai keilmuan) ke ulama dan habaib yang lebih senior dan berbobot baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pentingnya mata rantai keilmuan (sanad ilm’) sebagai mana ajaran tarekat As-Sadah Al-Ba’Alawi bila ditinjau berdasarkan mazhab fikihnya adalah bermazhab As-Syafi’iyah. Sedangkan bila ditinjau dari mazhab akidahnya, maka bermazhab As-Sunni Al-Asy’ariyyah. Pengajaran keilmuan berdasarkan aturan tarekat (manhaj) As-Sadah Al-Ba’alawi ialah mengajarkan berbagai ilmu-ilmu keislaman, yang kini telah berkembang sepanjang sejarahnya dan menjadi bebagai cabang ilmu keislaman. Berbagai ma’had dan rubath tarekat ini, setelah tahun-tahun menjalankan pengajarannya secara terus-menerus sampai dengan hari ini, telah membuat cara-cara yang sistematis dalam memberikan pengajaran ilmu-ilmu tersebut, yang selain itu juga mengajarkan mengenai pentingnya pendidikan melalui suri tauladan (tarbiyyah fi tazkiyah). Tarekat Alawiyyah adalah suatu tarekat yang ditempuh oleh para salafus sholeh. Dalam tarekat ini, mereka mengajarkan Al-Kitab Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada masyarakat, dan sekaligus memberikan suri tauladan dalam pengamalan ilmu dengan keluhuran akhlak dan kesungguhan hati dalam menjalankan syariah Rasullullah SAW. Mereka menerangkan dengan terinci, bahwa tarekat As-Saadah Bani Alawy ini diwariskan secara turun temurun oleh leluhur (salaf) mereka : dari kakek kepada kepada ayah, kemudian kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Demikian seterusnya mereka menyampaikan tarekat ini kepada anak cucu mereka sampai saat ini. Oleh karenanya, tarekat ini dikenal sebagai tarekat yang langgeng sebab penyampaiannya dilakukan secara ikhlas dan dari hati ke hati. Dari situlah dapat diketahui, bahwasanya tarekat ini berjalan di atas rel Al-Kitab dan As-Sunnah yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Jelasnya, Tarekat Alawiyyah ini menitik-beratkan pada keseimbangan antara ibadah mahdhah, yaitu muamalah dengan Khaliq, dengan ibadah ghoiru mahdhah, yakni muamalah dengan sesama manusia yang dikuatkan dengan adanya majlis-majlis ta’lim yang mengajarkan ilmu dan adab serta majlis-majlis dzikir dan adab. Dengan kata lain, tarekat ini mencakup hubungan vertikal (hubungan makhluk dengan Khaliqnya) dan hubungan horizontal (antara sesama manusia). Selain itu, tarekat ini mengajarkan kepada kita untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menuntut ilmu guna menegakkan agama Allah (Al-Islam) di muka bumi. Sebagaimana diceritakan, bahwa sebagian dari As-Saadah Bani Alawy pergi ke tempat-tempat yang jauh untuk belajar ilmu dan akhlak dari para ulama, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menjadi ulama besar dan panutan umat di zamannya. Banyak pula dari mereka yang mengorbankan jiwa dan raga untuk berdakwah di jalan Allah, mengajarkan ilmu syariat dan bidang ilmu agama lainnya dengan penuh kesabaran, baik di kota maupun di pelosok pedesaan. Berkat berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, disertai kesungguhan dan keluhuran akhlak dari para pendiri dan penerusnya, tarekat ini mampu mengatasi tantangan zaman dan tetap eksis sampai saat ini. Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqih Ba’alawi pernah ditanya, “Apa dan bagaimana tarekat Saadah Aal Abi ‘Alawi (keluarga Bani Alawy) itu?. Apakah cukup didefinisikan dengan ittibâ’ (mengikuti) Quran dan sunah?. Apakah terdapat pertentangan di antara mereka?. Apakah tarekat mereka bertentangan dengan tarekat-tarekat yang lain?.” Dia pun menyampaikan jawabannya sebagai berikut : “Ketahuilah, sesungguhnya tarekat Saadah Aal Abi ‘Alawi merupakan salah satu tarekat kaum sufi yang asasnya adalah ittibâ’ (mengikuti) Quran dan sunah, pokoknya adalah sidqul iftiqôr (benar-benar merasa butuh kepada Allah) dan syuhûdul minnah (menyaksikan bahwa semuanya merupakan karunia Allah). Tarekat ini mengikuti ittiba’ manshûsh dengan cara khusus dan menyempurnakan semua dasar (ushûl) untuk mempercepat wushûl. Melihat hal ini, maka tarekat Saadah Aal Abi ‘Alawi lebih dari sekedar mengikuti Quran dan Sunah secara umum dengan mempelajari hukum-hukum dhohir. Pokok bahasan ilmu ini sifatnya umum dan universal, sebab tujuannya adalah untuk menyusun aturan yang mengikat orang-orang bodoh dan kaum awam lainnya. Tidak diragukan bahwa kedudukan manusia dalam beragama berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan ilmu khusus untuk orang khusus, yakni ilmu yang menjadi pusat perhatian kaum khowwash, ilmu yang membahas hakikat takwa dan perwujudan ikhlas. Demikian itulah jalan lurus (shirôthol mustaqim) yang lebih tipis dari sehelai rambut. Ilmu itu tidak cukup disampaikan secara umum, bahkan setiap bagian darinya perlu didefinisikan secara khusus. Demikian itulah ilmu tasawuf, ilmu yang oleh kaum sufi digunakan untuk berjalan menuju Allah Ta’ala. Dhohir jalan kaum sufi adalah ilmu dan amal, sedangkan batinnya adalah kesungguhan (sidq) dalam bertawajjuh kepada Allah Ta’ala dengan mengamalkan segala sesuatu yang diridhoi-Nya dengan cara yang diridhoi-Nya. Jalan ini menghimpun semua akhlak luhur dan mulia, mencegah dari semua sifat hina dan tercela. Puncaknya memperoleh kedekatan dengan Allah dan fath. Jalan ini (mengajarkan seseorang) untuk bersifat (dengan sifat-sifat mulia) dan beramal saleh, serta mewujudkan tahqiq, asrôr, maqômât dan ahwâl. Jalan ini diterima oleh orang-orang yang saleh dari kaum sholihin dengan pengamalan, dzauq dan perbuatan, sesuai fath, kemurahan dan karunia yang diberikan Allah SWT. Membahas serta menganalisa Tharīqah ‘Alawiyyah ini khususnya menentukan masyarakat Betawi sebagai wilayah kajian tesis ini adalah karena masyarakat muslim Betawi memiliki kesejarahan yang identik dengan komunitas ‘Alawiyyīn. Hal itu dapat dibuktikan dengan begitu besarnya pengaruh pemikiran Abdullah al-Haddad dalam banyak kehidupan masyarakat Islam Jakarta baik dari sisi akidah, dakwah dan tasawuf dengan Tharīqah ‘Alawiyyah -nya. Hal ini terlihat dari adanya amalan-amalan yang dipraktikkan oleh kalangan yang berafiliasi kepada para Habāib, baik secara individu, maupun berjamaah. Pun pengaruh Tharīqah ‘Alawiyyah ini terlihat dari majelis-majelis taklim yang saat ini berkembang di Betawi yang kesemuanya merupakan kepanjangan dari majelis taklim pertama di Betawi yaitu Majelis Taklim Habib Ali al-Habsyi Kwitang yang merupakan tokoh ulama Tharīqah ‘Alawiyyah di Betawi.35 Dari majelis taklim inilah kemudian lahir para ulamaulama yang terkenal di Jakarta seperti KH. Abdullah Syafei (Pendiri Perguruan Islam Asy-Syafiiyyah), KH. Tohir Rohili (Pendiri Perguruan Islam AthThahiriyah), KH. Fatullah Harun, Muallim Syafei Hadzami, Muallim Rasyid, dll. Setelah terjadinya gelombang pelajar Indonesia yang melanjutkan belajar agama di Tarim, Yaman seperti di Darul Mushtofa dibawah asuhan Habib Umar bin Hafidz dan Rubat dibawah asuhan Habib Salim Syatiri pada kisaran awal tahun 90-an, menjadikan proses identifikasi Tharīqah ‘Alawiyyah kembali menguat. Hadirnya majelis-majelis taklim di Betawi dan sekitarnya yang diasuh oleh para Habāib yang notaben merupakan pengamal Tharīqah ‘Alawiyyah yang juga merupakan lulusan dari Yaman, lebih menguatkan proses transmisi jaringan keulamaan Tharīqah ‘Alawiyyah di Betawi dan Indonesia, walaupun sejak jauh hari sebelum adanya gelombang pelajar yang massif ke Hadramaut tersebut, majelis-majelis Habāib yang juga mengamalkan Tharīqah ‘Alawiyyah sudah banyak bermunculan, seperti Majlis Taklim Habib Abdurrahman Assegaf Bukit Duri, Majlis Taklim Kwitang, dll. Salah satu yang terbesar pengikutnya pada saat ini adalah Majelis Rasulullah yang didirikan oleh Habib Munzir al-Musawa yang merupakan murid langsung dari Habib Umar bin Hafidz Tarim. Majalah Tempo bahkan pernah menyebut fenomena munculnya para da’i dari kalangan ‘Alawiyyīn ini seperti mengulang fenomena yang serupa pada tahun 1970-an dimana Habib Ali al-Habsyi Kwitang dan Habib Abdurrahman Alaydrus, dua tokoh ‘Alawiyyīn masa itu menjadi ulama panutan yang kebanjiran jamaah. Tharīqah ‘Alawiyyah ini berkembang di Betawi melalui para guru-guru, baik sayid atau non sayid yang memiliki transmisi keilmuan kepada para tokoh-tokoh utama Tharīqah ‘Alawiyyah pada generasi-generasi di atas mereka. Adanya relasi antara guru-guru (baik dari kalangan Habāib maupun kiyai) yang mengajarkan doktrin Tharīqah ‘Alawiyyah di Betawi pada kisaran abad 19-20 M dengan tokoh-tokoh ‘Alawiyyīn Hadramaut khusunya Syekh Abdullah bin Alwi al-Haddad sebagai tokoh sufi Abad 17 melalui sentralsentral keilmuan yang saat itu berada di Makkah juga merupakan keniscayaan. Ini juga menguatkan hasil penelitian Azyumardi Azra terhadap jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara abad 17 dan 18 M yang dapat disimpulkan sebagai berikut: a) Karakteristik dari wacana ilmiah dalam jaringan ulama menurut penelitian Azyumardi Azra terhadap jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara abad 17 dan 18 M teridentifikasi melalui telaah hadis dan ajaran tarekat. Ajaran tarekat yang menekankan kesetiaan dan kepatuhan kepada guru memberikan kekuatan tambahan kepada pembentukan jaringan ulama khususnya di Betawi. b) Ulama-ulama Nusantara pada kisaran abad ke 18 M seperti Abdul Rauf Singkil dalam autobiografinya yang dicatat oleh Azyumardi Azra menuliskan dalam perjalanan beliau menuntut ilmu ke Haramain terlebih dahulu singgah di wilayah teluk Persia di Zabid dan bait al-Faqīh Yaman untuk melanjutkan perjalana ke Makkah dan Madinah. c) Peran ulama Melayu Nusantara dalam jaringan adalah sebagai transmitter utama tradisi keagamaaan dari pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah ke Nusantara d) Dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara adalah adanya semangat perubahan dalam berbagai masyarakat muslim di Nusantara terutama abad 17 dan 18 M. Sejarawan juga mengidentifikasi bahwa para ulama Hadramaut dalam jaringan ulama dunia disebut sebagai “Linking Group” (kelompok penghubung) khususnya di Asia Tenggara dan Nusantara. Keberhasilan mereka tidak lepas dari sisi geografis Hadramaut sebagai kawasan yang strategis sebagai tempat transit sebelum mencapai Haramain dan tempat menetapnya para ulama yang bertaraf Internasional. Beberapa tokoh perintis gerakan pembaruan Islam di Nusantara pada abad ke- 17 M seperti Syekh Abdul Rauf al-Sinkli dan Syekh Yusuf al-Makassari, seperti dalam penelitian Azra, sebelum menuju Haramaian, rata-rata transit terlebih dahulu di Hadramaut dan belajar dengan ulama-ulama yang ada disana. Pun, Abdullah bin Alwi al-Haddad sebagai tokoh sentral dan pembaharu Tharīqah ‘Alawiyyah memiliki murid-murid yang berdatangan dari segenap pelosok. Banyak pula dari luar daerah Hadramaut yang telah mendengar tentang kealiman beliau. Dan ketika tahun 1080 H/ 1748 M saat ia berangkat menuju Haramain untuk menunaikan ibadah haji, banyak diantara tokoh-tokoh ulama dan wali disana yang meminta ijazah darinya sebagai pengakuan atas kedudukannya yang tinggi. 3. Jaringan Keilmuan Dalam melihat bagaimana terbentuknya jaringan guru Tharīqah ‘Alawiyyah ini , penulis akan menggunakan teori Jaringan Ulama yang telah diprakarsai Azyumardi Azra dalam disertasinya mengenai Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII-nya dimana akan ditelusuri jaringan keilmuan para guru Tharīqah ‘Alawiyyah di Betawi ini dan keterbentukan relasi ulama Tharīqah ‘Alawiyyah dengan ulama tarekat di Haramain-Hadramut yang menjadi spirit ketahan budaya Islam Tradisional di Betawi menghadapi gerusan gerakan Islam modern. Dalam membaca peta jaringan keilmuan ini, penulis juga mencoba menggunakan teori genealogi ala Michel Foucault yang merelasikan pengetahuan dengan kekuasaan. Foucault menyebutkan bahwa sejarah selalu merupakan genealogi dan sebuah intervensi. Dengan demikian kerangka pengetahuan,merupakan genealogi dan sebuah intervensi. Dengan demikian kerangka pengetahuan dan model pemahamannya pun selalu berubah. Kunci pemikiran Foucault mengenai sejarah adalah apa yang dia sebut sebagai ‘episteme’ (sistem wacana). Foucault melihat bagaimana ilmu-ilmu berkembang dalam sejarah secara sistemik dalam dalam sebuah periode, kemudian berubah secara menyeluruh dalam tahapan periode yang lain, dan bahkan kadang-kadang secara cepat dengan beberapa variabel seperti bahasa, karakter episteme, dan bagaimana kita melihat kenyataan itu sendiri. Sederhananya, jika teori jaringan Azra meniscayakan transmisi keilmuan secara langsung (halaqah) dalam sebuah periode, maka Foucault lebih melihat kepada kesamaan gagasan para tokoh dalam sebuah periode tertentu, walaupun tanpa sebuah proses transmisi saling bertemu antara satu dengan lainnya. Meskipun dalam melihat kesamaan gagasan secara detail diperlukan pelacakan terhadap sumber-sumber karya para tokoh, namun secara umum dapat dibaca kecendrungan paradigma yang berkembang pada rentang periode tersebut. Pengetahuan dan model pemahamannya pun selalu berubah. H. Kesimpulan Masyarakat Betawi memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Sebagai masyarakat yang menghuni sebuah wilayah yang strategis dalam jalur perdagangan dunia, tidak mengherankan apabila dalam perjalanannya berbagai budaya dari luar banyak masuk dan memengaruhi kehidupan masyarakat Betawi. Meskipun begitu, Islam yang telah hadir lama dan mengakar di tengah masyarakat Betawi memiliki pengaruh yang besar dan signifikan dalam membentuk nilai dan kebudayaan Betawi. Setiap kisah sejarahnya bahkan tidak lepas dari Islam dan para ulamanya. Di tanah Betawi ini terdapat banyak ulama besar yang berjasa dalam dakwah Islam. Mulai dari ulama yang berasal dari luar seperti Hadramaut seperti Habib Usman dan Habib Ali, hingga ulama asli putra Betawi seperti Guru Manshur dan Guru Marzuqi. Namun karena keulamaan mereka, masyarakat Betawi amat menghormati mereka tanpa pandang apakah mereka dari dalam atau luar Betawi, hal ini sebab kecintaan dan semangat mereka terhadap agama juga. Bahkan sejarawan seperti Susan Blackburn hingga Ridwan Saidi dan Buya Hamka pun mengakui bagaimana kefanatikan masyarakat Betawi terhadap Islam, dan kuatnya pengaruh Islam terhadap masyarakat Betawi. Tidak heran apabila masyarakat Betawi dapat bertahan meskipun di tengah gencarnya tekanan dari pihak kolonial Belanda yang menjadikan Batavia, tanah tempat mereka tinggal sebagai pusat pemerintahan kala itu. Daftar Pustaka 1. Aziz, Abdul. 2002. Islam dan Masyarakat Betawi. Jakarta: Logos. 2. Blackburn, Susan. 2011. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup Jakarta. 3. Derani, Saidun. 2013. Ulama Betawi Perspektif Sejarah. Jurnal Al Turas Vol. XIX No. 2: 217- 239 4. Fadli HS, Ahmad. 2011. Ulama Betawi: Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20. Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press. 5. Kiki, Rakhmad Zailani, dkk. 2011. Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta. 6. Mirshod, Ahmad, dkk. Tanpa Tahun. Biografi Guru Marzuqi bin Mirshod Serta Pemikirannya dalam Bidang Tauhid, Fiqih, dan Tasawuf. Forum Silaturahmi Keluarga Guru Marzuqi bin Mirshod. Tidak Diterbitkan. 7. Saidi, Ridwan. 2004. Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya. Jakarta: PT. Gunara Kata. 8. Setiati, Eni, dkk. 2009. Ensiklopedia Jakarta : Jakarta Tempo Doeloe, Kini, & Esok. Jakarta : Lentera Abadi 9.Aji Setiawan 11 Januari 2021. Kaum Alawiyin berdampingan dengan ulama lokal Betawi, www.jaringansantri.com 10.Maha Guru Ulama Betawi · Aji Setiawan. www.digstraksi.com 11.Aji Setiawan, Kaum Alawiyin berdampingan dengan ulama lokal Betawi,28 Agu 2016 — Kompasiana 12. Aji Setiawan - Jejaring ulama Betawi-Bekasi.14 Jun 2015 —SantriNews 13. Aji Setiawan. Makam Keramat Di Betawi-24 Jun 2019 -Nusantara.com 14. Aji Setiawan. Thariqah Alawiyah. 14 Januari 2021. Jaringan Santri.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sweet Sinner 21+

read
887.1K
bc

Life of An (Completed)

read
1.1M
bc

Gairah Liar Sugar Mommy

read
52.2K
bc

Life of Mi (Completed)

read
1.0M
bc

Naughty December 21+

read
509.0K
bc

Suami Jantanku

read
3.6K
bc

Marriage Aggreement

read
81.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook