Karena Kau ... Istriku

1117 Words
"Bisa dijelaskan apa ini, Liona?" tanya Mas Rafka sambil mengangkat botol kecil di tangan dan membuat posisinya sejajar dengan kedua mataku. Seperti seorang terdakwa yang tengah dihadapkan pada alat bukti, aku meneguk ludah dengan berat dengan tenggorokan yang terasa tercekat. Tak menyangka jika Mbak Yuni—asisten rumah tangga yang tugasnya khusus bersih-bersih di rumah mertua—bisa sampai sejeli itu dalam memilah dan memilih sampah. Argh! Kenapa aku tidak berpikir untuk membuang ke kali saja obat perangsang tak berguna itu? Payah! "Apa kau bisa menjelaskannya, Liona?" ulang suamiku, saat mungkin menyadari aku hanya diam sedari tadi. Napasnya tampak memburu saat menuntut penjelasan. "Eum … anu … itu, aku … aku sakit perut, Mas. Aku … mau ke toilet dulu, ya," ujarku sambil memegangi perut dan mengucap alasan sekenanya. Sungguh, andaikan aku punya kemampuan untuk menghilang layaknya jejak di pasir yang tersapu ombak, sudah pasti aku akan melakukannya. Namun, pada kenyataannya …. "Kamu tidak boleh ke mana-mana sebelum menjelaskan padaku tentang benda ini dan apa kegunaannya, Liona," ujar suamiku terdengar tegas dan penuh penekanan. "Eum … Itu … itu …." Aku menggigit bibir saking gugupnya. Ya Tuhan! Masa iya aku harus menjawab gamblang tentang obat itu? Bisa runtuh harga diriku. Bagaimana tidak, gadis secantik aku pun memerlukan obat menyebalkan itu untuk menaklukkan hati lelaki yang suka jual mahal ini? Mas Rafka mendengkus kecil. Dan dari dengkusannya, bisa kuartikan jika dia sudah sangat paham dengan obat apa yang ada dalam genggaman tangannya saat ini. Mungkin saja, dia sempat Googling, atau … melakukan pencarian di toko online tentang obat sialan ini. Ya, mungkin begitu. "Bagaimana kau bisa mendapatkannya, hm?" tanyanya sambil memindai wajahku. Aku membeku. "Apa kau sudah sering memakai ini sebelum 'bermain' dengan mantan-mantanmu dulu?" tanyanya, dengan lugas dan tanpa perasaan. Mendengar itu, ada sesuatu tak kasat mata yang tiba-tiba menghantam dadaku. Ya Tuhan … sehina itu dia memandangku? "Katakan padaku, apa kau sudah terbiasa dengan benda-benda seperti ini sebelumnya, Liona?" cecarnya dengan gigi bergemeletuk dan sorot matanya yang tajam menusuk. Membuatku terluka sekaligus merasa terhina. Aku menatap nanar padanya. Tak mengerti bagaimana dirinya begitu mudah memberikan penilaian. "Seberapa sering kau membeli obat ini sebelum menikah denganku, hm? Seberapa banyak lelaki yang sudah pernah merasakan hangat tubuhmu karena obat sialan ini, ha?!" ucapnya lantas melempar botol kecil di tangannya dengan sangat keras. Ya, aku memang salah karena membeli obat itu tanpa sepengetahuannya. Namun, tak bisakah dia bertanya dengan lebih lembut dan tanpa menyudutkan? "Sudah berapa banyak lelaki yang kau layani sebelum menikah denganku, Liona?!" "Apa kamu pikir aku serendah itu?" tanyaku dengan hati yang terasa perih. Dia diam. "Asal kamu tahu, aku tidak serendah yang kamu bayangkan." Dia mencebik kecil. Semakin membuatku tak mengerti dengan jalan pikirannya yang semudah itu melakukan penghakiman. "Tidak usah berlagak polos, karena kau memang tak sepolos itu, Liona," ucapnya tajam. "Katakan padaku, sudah berapa lelaki yang kau berikan obat seperti ini sebelum menikah denganku, ha?!" Plak! Tamparan keras dariku melayang di pipi kiri Mas Rafka begitu saja. Membuat lelaki di hadapanku, refleks memegang pipinya yang mungkin terasa panas. "Sekali lagi, dengarkan aku. Aku tidak semurah itu, Rafka Pramuditya!" bentakku dengan jari jemari yang ikut bergetar karena menahan emosi dan rasa kecewa yang datang secara bersamaan. "Oh, ya?" tanyanya sambil berkacak pinggang dan masih dengan nada yang terdengar merendahkan. Aku tak menyahut. Rasa sakit hati yang terlanjur singgah, memaksaku untuk diam. Dan detik setelahnya, aku yang tak mau berdebat dengan orang yang selalu menganggapku seburuk itu, buru-buru berlari meninggalkan kamar. Bukankah memberikan penjelasan pada orang yang sudah terlanjur membenci adalah satu pekerjaan sia-sia? Di sini. Di ruang keluarga perumahan cluster elit yang hanya dihuni olehku dan Mas Rafka tak lama setelah kami menikah, menjadi saksi saat air mata seorang Liona Kaisara luruh tak terbendung karena tuduhan kejam suaminya sendiri. Kenapa semua orang begitu mudah melayangkan tuduhan-tuduhan keji padaku? Apakah semua penilaian negatif yang mereka tujukan pada seorang Liona memang ada sangkut-pautnya dengan tabiat wanita yang melahirkanku? Apa mereka menganggap diriku sebagai perempuan gampangan karena kesalahan masa lalu ibuku? Benarkah begitu? Dan sejenak kemudian, ingatan tentang kejadian penggerebekan akan aksi perselingkuhan yang terjadi di masa lampau, membuatku kesulitan untuk mengambil oksigen dan melonggarkan jalan napas. Bayang ibuku yang tampak begitu salah tingkah karena kedapatan hanya memakai handuk bersama lelaki asing yang hanya memakai celana kolor pendek di samping ranjang, membuat dadaku semakin sesak. Napasku memburu dengan hati yang terasa perih saat mengingat Papa yang selalu terlihat lembut dan penuh kasih sayang, untuk pertama kalinya melayangkan tamparan sambil mengucapkan kalimat sumpah serapah terhadap wanita yang harus kusebut sebagai ibu, setelah pendobrakan pintu dilakukan. Aku yang saat itu masih berusia tujuh tahun, dibuat ketakutan saat mengingat ibuku justru tak menunjukkan rasa takut dan bersalah bahkan setelah ketahuan selingkuh. Mereka bertengkar hebat dan …. Aku sesenggukan sambil mengusap sendiri air mata yang mengalir di pipi. Tak menyangka jika kejadian buruk itu selalu saja kerap menghantui meski sudah 12 tahun berlalu. Aku yang masih tenggelam dalam tangisan, dibuat tersentak saat menyadari ada seseorang yang tiba-tiba mengulurkan tissue di depan wajahku. "Simpan tissue itu untukmu sendiri, aku tidak membutuhkannya," ucapku tajam. Mas Rafka diam sambil menatapku dengan pandangan kosong. "Sorry, aku sama sekali tidak butuh belas kasihan dari seseorang yang menganggapku seperti p*****r. Kau dengar?" ucapku dengan suara yang jelas terdengar bergetar saat memandang wajahnya. Mas Rafka mendesah kesal. Seperti geram dengan sikapku yang jauh dari kata ramah. "Oke, oke, aku minta maaf." Akhirnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah dia mengucapkan sebuah kata maaf yang entah serius entah tidak semenjak kami resmi menjadi pasangan suami-istri. Tak mau memberi maaf semudah itu, aku memilih untuk berjalan meninggalkannya. Menghindar dari seseorang yang selalu menilai buruk, rasanya bukan pilihan yang keliru untuk diambil saat ini. *** "Aku ingin makan malam di luar malam ini." Meski terdengar dingin, Mas Rafka yang malam ini sudah terlihat rapi dan memukau dengan pakaian kasual yang melekat di tubuhnya, jelas terdengar sedang berbicara padaku. Tentang rencananya untuk makan di luar. Sebelum ini, kami terbiasa memesan menu makan malam masing-masing melalui jasa delivery order. Aku memang tidak pernah memasak karena memang belum tertarik untuk melakukan itu. "Pergilah." Aku yang masih belum ingin beramah tamah dengannya, menyahut ucapan lelaki ini tak kalah dingin. "Aku ingin mengajakmu," ucapnya tanpa menatapku. Membuatku ragu tentang serius atau tidak ajakannya barusan. "Aku tidak lapar." Teringat kembali tentang dia yang semudah itu menuduhku sudah tidur dengan banyak lelaki sebelum menikah dengannya, membuatku kembali bersikap dingin padanya. "Tapi kau harus tetap makan," ucapnya tanpa menatapku lagi, dan lagi. "Apa pedulimu?" "Jelas aku peduli. Karena kau … istriku," ucapnya meski awalnya terdengar sedikit ragu. Aku terkesiap. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya, dia mengakuiku sebagai istri? Bukankah itu satu kemajuan pesat? Ya Tuhan! Kenapa aku mendadak ingin salto dan lompat kegirangan? Tahan, Liona, please. Tahan! Jangan baper!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD