Aku menimang obat perangsang di tangan dengan perasaan campur aduk. Tak tahu harus melakukan apa dengan obat yang kubeli secara online ini.
Apakah aku harus membuangnya? Agaknya iya. Lihat saja, bukannya dapat sentuhan hangat aku malah dimarahi oleh lelaki bengis satu itu. Mana masih bersambung lagi itu marahnya.
Eh! Tunggu! Rasanya memberi ulasan untuk obat tidak berguna ini ada manfaatnya juga.
Manfaatnya apa? Manfaatnya adalah agar calon customer lain bisa lebih selektif memilih toko online di marketplace yang pengunduhnya jutaan orang itu.
Sambil menahan kesal, aku memotret obat perangsang di tangan. Setelahnya, rate bintang satu aku berikan. Tak lupa, sedikit makian aku sertakan sebagai pelengkap pada ulasan yang kuberikan. Tidak afdol rasanya kalau aku tak menyertakan kata-kata mutiara.
"Obat nggak guna! Abal-abal! Nggak ngefek sama sekali. Nggak usah buang duit, deh, beli obat nggak penting kayak gini."
Aku tersenyum puas setelah memberikan ulasan penuh kejujuran untuk produk dengan penjualan lebih dari 500 buah itu.
"Mohon maaf, jika ada kendala Kakak bisa chat seller untuk menyampaikan keluhan."
Balasan untuk ulasan dari seller obat herbal abal-abal masuk tak lama kemudian.
Bodo amat!
Aku tidak peduli. Aku cuma mau review jujur. Tak mau diganti barang palsu atau berdebat dengan mereka si penjual obat tidak berguna. Tidak ada faedahnya.
"Makanya kalau jualan tuh yang amanah! Jangan obat abal-abal dijual!" Aku bermonolog sendiri sebelum menutup aplikasi.
Ya ampun! Aku harus membuang di mana obat tidak berguna ini.
Sejurus kemudian, kedua mataku tertuju pada tong sampah berukuran sedang di kamar ini. Tempat sampah warna biru muda dengan penutup biru tua rasanya menjadi tempat yang aman untuk membuang obat tidak berguna ini.
Lagian, buat apa aku menyimpan kalau tidak ada gunanya. Nanti yang ada, aku malah kena marah lagi kalau Mas Rafka sampai tahu tentang obat ini. Dia yang dingin dan sombong, pasti akan memaki diriku tujuh hari tujuh malam. Tak mau aku.
Aku baru melempar botol kecil itu dan memastikan bahwa tempat sampah tertutup sempurna saat dehaman keras dari seseorang yang selalu menganggapku salah, membuat jantungku hampir melompat saat mendengarnya.
Ya ampun! Sejak kapan laki-laki ini datang? Ah, tidak! Lebih tepatnya … kapan dia keluar dari kamar mandi?
Apa sudah dari tadi?
Apakah dia sempat melihat benda apa yang kubuang? Ah, semoga saja tidak.
Meski dengan perasaan carut marut, aku memberanikan diri menatapnya. Lelaki yang selalu terlihat tampan di mataku. Jika kalian ingin tahu seperti apa visual suamiku versi artis, mungkin tidak berlebihan jika aku mengatakan bahwa dia bahkan lebih tampan dari Angga Yunanda.
Apakah aku berlebihan? Kalau menurutku, sih, tidak.
"Apa yang kau lakukan, Kaisara?" tanyanya sambil bersedekap saat menyebut nama tengahku.
Aku terkesiap.
OMG! Panggilannya beda, ya? Lain dari yang lain. Bolehkah aku mengartikan kalau itu adalah panggilan sayang Mas Rafka untukku?
"Eum …. Nggak ada. Aku barusan cuma buang tissue yang ada nyamuknya," jawabku asal.
"Tissue yang ada nyamuknya?" tanyanya sambil memindai wajahku. Dari tatapan matanya, jelas dia menunjukkan keraguan dengan jawaban yang aku berikan.
"Iya," ucapku meyakinkan.
"Di mana kamu digigit nyamuk?" tanyanya yang justru membuat perhatianku teralihkan.
Bagaimana tidak! Dia yang saat ini hanya memakai handuk sebatas pinggang, terlihat begitu tampan dan menggemaskan. Pokoknya sekelas Verrel Bramasta, mah, lewat ….
Untuk sekian lama, pikiranku pun jauh berkelana gara-gara melihat handuk warna biru yang membelit tubuh gagahnya.
Ah! Mas Rafka, kalau aku pengen sehanduk berdua sama kamu boleh nggak?
Beberapa detik berselang ….
Seperti orang linglung, aku begitu gugup saat Mas Rafka tiba-tiba menjentikkan jari tepat di depan wajahku.
"Kalau ada orang tanya itu dijawab, Kaisara," ucapnya dengan nada kesal.
Ya ampun! Dia memanggil Kaisara lagi? So sweet!
Senyum di bibirku terukir tanpa terasa.
"Liona!"
Aku kaget. Bagaimana bisa dia tiba-tiba merubah panggilan? Padahal, kalau untuk Babang Rafka tersayang, aku lebih suka dipanggil Kaisara. Atau … Sayang juga boleh.
"Kamu digigit nyamuk di mana, Liona? Apa di kamar ini ada nyamuk?" tanyanya tak sabaran.
"I-iya, ada."
"Masa, sih?" Dia menyipitkan mata. Seperti tak percaya aku berkata jujur.
"Nggak percaya?"
"Enggak, kalau ada coba tunjukkan satu saja nyamuknya padaku."
Aduh! Ada-ada saja ini orang. Mau cari nyamuk di mana coba?
Sebuah ide tiba-tiba membersit di kepala.
"Mas, ada nyamuk di pipi kamu."
"Mana?"
Aku hampir melayangkan tamparan keras, tapi urung. Jadinya, aku elus saja lah, pipinya yang berjambang tipis ini. Dan ajaibnya, aku mendadak seperti tersengat listrik tegangan tinggi saat menyentuh pipinya.
Ya ampun! Baru mengelus pipi saja aku sudah deg-degan begini. Bagaimana kalau sampai mengelus punya dia yang lain? Apa tidak pingsan aku?
Aku tersentak saat Mas Rafka tiba-tiba menyingkirkan tanganku dari pipinya.
"Mana nyamuknya? Jangan modus, ya!" ucapnya sambil menatapku tajam.
Aku menggeleng cepat.
"Enggak, tadi emang beneran ada nyamuk, Mas. Tapi sekarang udah pergi."
"Modus!" ucapnya lantas menarik langkah menuju lemari jati lima pintu di kamar ini. Meraih baju dan kemudian kembali berjalan menuju kamar mandi. Ah, tidak. Maksudku … walk in closet untuk memakai kaos berkerah warna biru muda dan celana ¾ yang dipilihnya.
Dia telah memakai pakaian lengkap sepulangnya dari kamar mandi saat telepon pintar miliknya terdengar berdering.
Kira-kira … siapa yang menelepon? Apa itu … Elvira? Mantan kekasih suamiku yang gagal menikah seminggu yang lalu? Hatiku mendadak panas dingin saat menebak-nebak siapa gerangan yang menelepon suamiku pada pukul 20.15 malam ini.
"Hallo." Suamiku menyapa si penelepon saat mungkin panggilan mereka telah tersambung.
"Oke, sebentar lagi aku ke sana."
Aku meneguk ludah dengan berat saat Mas Rafka mengatakan itu tanpa pertimbangan.
Jadi dugaanku benar? Yang menelepon tadi … Elvira?
"Aku pergi." Dia pamit hanya dengan dua kata singkat, bahkan sebelum dirinya sempat memarahiku.
Padahal, aku tidak masalah kalau dia banyak omong dan memperolok diriku dengan ucapan apa pun. Yang penting dia bisa meluangkan banyak waktunya untukku. Itu saja. Tidak lebih.
Kuusap pelan bulir bening yang menetes setelah punggungnya yang lebar, menghilang dari pandangan.
Ya Tuhan! Bahkan, saat menginap di rumah mamanya pun dia masih ingin membiarkan aku tidur sendirian?
Adakah yang seperti suamiku di luaran sana?
***
"Perasaan cemberut melulu dari pagi. Kenapa?"
Mungkin, aku memang harus merasa beruntung karena memiliki sahabat yang begitu care seperti Sheila. Berbeda dengan lelaki bergelar suami yang bahkan tak peduli saat aku banjir air mata sekalipun.
"Hei! Kenapa?"
Aku menggeleng pelan. Tak ingin memerinci tentang masalah rumah tanggaku yang persoalannya itu-itu saja. Takut dia muak mendengarnya.
"Ada masalah?"
"Enggak," jawabku pelan dan mencoba terlihat baik-baik saja.
Sheila mengangguk-angguk. Seperti ingin menunjukkan kalau dia memang percaya dengan kata-kataku.
"Btw … katanya lo mau beli obat perangsang di toko online. Jadi?" tanya Sheila mengalikan pembahasan.
"Jadi," jawabku pendek.
"Terus terus?" tanya gadis ini dengan begitu antusias. Dua matanya yang bulat dengan iris mata hitam pekat, terlihat melebar saat menunjukkan ke-kepoannya.
"Terus apanya?" sahutku dingin.
"Berhasil nggak?"
"Berhasil apanya? Gatot!"
"Kok bisa?" Dia menatapku dengan pandangan tak percaya. Seperti meragukan keterangan yang aku sampaikan.
"Ya nggak tau. Buktinya dia cuma kegerahan, nggak sampe pengen gituin gue."
"Masa?"
"Iya. Nggak percaya lo? Apa lo mau gue tes keperawanan biar lo percaya?"
"Iya, deh, iya, gue percaya." Akhirnya menyerah juga dia.
"Eh, btw kemarin lo beli obatnya yang kek gimana, sih? Yang buat dicampur ke minuman, apa yang oles?" tanyanya, terlihat masih ingin menuntaskan ke-kepoan yang mendarah daging.
"Ya yang bisa dicampur ke minuman lah."
"Hadeuh, Na, kata Kak Nita, yang kek gitu emang nggak ngefek."
"Lah, terus?" tanyaku lumayan gregetan.
"Yang dioles, lebih ngefek katanya," ujarnya tanpa beban.
"Terus, yang jadi pertanyaan, mau gue oles di mana kalau gue beli produk yang harus diolesin, heh?"
"Ya di 'tongkat sakti' laki elo lah, masa mau diolesin di muka tetangga," ujarnya lantas terkekeh geli.
Aku mencebik kecil. Hasratku untuk bergurau memang sedang berada di titik nadir saat ini.
"Lagian, lo aneh bener dah. Lu pikir, deh, sekali lagi. Gue ngelus pipinya aja dia marah. Bisa-bisanya lo nyuruh gue buat ngelus tongkatnya! Bisa-bisa gue tinggal nama besok paginya," ucapku sambil bersungut-sungut kesal. Masih merasa aneh kenapa logika Sheila nggak jalan kali ini.
Tumben gitu loh dia brekele banget otaknya.
"Eh, iya juga, yah?"
"Huh ... Ente! Emang kadang-kadang, ente!"