When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Bagi Asya, pernikahan adalah hal yang sakral. Ibadah terpanjang sepanjang masa. Yang tidak bisa diputuskan "oke, aku mikah" karena teman sebaya sudah menikah semua, seolah pernikahan adalah lomba kemerdekaan. Tidak pula bisa diputuskan karena tekanan dari sini dan sana. Melainkan karena kesiapan dan kesediaan diri sendiri. Sayangnya, Asya belum punya itu. Sudah di 28 tahun dan Asya masih belum siap, belum ingin, belum bersedia, walau satu dunia menuntut, "Kapan nikah? Kapan nyusul? Kapan duduk di pelaminannya?" Hei, dunia rumah tangga di kenyataan tak seperti pernikahan dalam lingkup fairy tale. Dari membuka mata saat bangun tidur sampai mati, sudahkah siap melihat sosok itu-itu saja? Pasangan kita. Yang mana bagi Asya, menikah adalah something seumur hidup. Tak mau di tengah jalan ada