"Pa, ada yang ngajakin Khala nikah."
Oh, betul!
Khala pulang, kebetulan di rumah ada abang nomor dua. Sekalian saat makan malam, Khala paparkan hal yang demikian.
Nikah.
"Suruh ke rumah aja kalo emang serius," kata papa.
Khala menelan makanannya sebelum bertanya, "Papa nggak penasaran siapa orangnya?"
Ada mama juga di sini, tetapi cuma nyimak dan mengambilkan lauk tambahan untuk papa ketika beliau minta nambah.
"Nanti juga tau siapa orangnya kalo dia datang."
Ya ... iya, sih.
"Kalo menurut Mama sama Abang, gimana?"
"Ikut kata papa aja," tukas mama.
Abang Khala cuma manggut-manggut.
Dilihat-lihat ... hal sekrusial menikah, keluarga Khala tampak santuy. Apa nggak terkejut mendapat informasi itu?
Khala seruput kuah sayurnya. Em ... dulu juga waktu Khala kena skandal dekat dengan salah satu mahasiswa papa, sekeluarga responsnya cuma senyum saja. Begitu Khala putus dengan Mas Bintang, diam-diam nangis di kamar--karena pacarannya diam-diam, jadi galaunya pun nggak bisa terang-terangan--tetapi keluarga Khala sama sekali tidak ada yang bertanya hingga siklus itu Khala lewati dengan pergi merantau ke Star Media.
Cuma, ya, feeling Khala, sih, mereka sudah tahu perihal hubungannya dengan Mas Bintang kala itu. Kan, katanya ... Mas Bintang sempat nyari Khala ke rumah, jadi mustahil kalau papa nggak tahu.
Eh, sekarang Khala jadi penasaran ... waktu itu Mas Bintang bilang apa, ya, sama papa?
Sementara itu, di rumahnya. Oh, ya, Bintang sudah punya rumah, dia juga mapan, tentu saja tampan, banyak ibu-ibu yang menginginkannya jadi menantu, tetapi dari tujuh tahun lalu hati Bintang sudah diratu.
"Hidup lo ngebosenin banget, ya, Bin?"
Sekilas saja Bintang tahu itu suara abangnya, Cakrawala. Tanpa menoleh, Bintang menyahut, "Nggak juga."
Oh, ya, Bang Wala ada di sini, mampir. Katanya disuruh mami sekalian bawain Bintang makanan.
"Masih stuck di dia, ya?"
Diliriknya Bang Wala, sedang sibuk memperhatikan isi pigura di dinding ruang keluarga rumah Bintang. Bang Wala pun mengedikkan dagunya ke sana. Ada foto Bintang dan Khala ketika pacaran dulu. Well, tidak Bintang sahuti, dia kembali fokus pada kerjaannya. Membuat sketsa cover pesanan penulis.
"Mau belok dikit, gak?"
Bintang mencebik. "Abang ngajakin homo?"
"Astagfirullah." Wala sampai nyebut. "Bukan belok yang kayak gitu, njir."
Memang seperti itu bahasanya Bang Wala. Sejujurnya, Bintang nggak suka. Satu-satunya abang yang ngajak Bintang sesat, ya, cuma Cakrawala.
"Daripada lo kelamaan cinta sepihak ...."
Ah, iya, maaf ... abangnya nggak tahu perihal keadaan Bintang dan Khala yang sebenarnya dulu. Pun, kini. Tahunya, Bintang naksir cewek di foto itu--yang Wala yakini adalah adik tingkat Bintang saat di kampus. Dan, ya, tahunya Bintang sudah putus dari Nadia. Perempuan yang pernah Bintang sebut buat nggak diganggu hubungannya sama orang tua.
"Lo tau, nggak, Bin, kenapa lo sampe diselingkuhin cewek?"
Bintang diam.
"Itu karena lo ngebosenin," tandas abangnya.
Sejenak, Bintang agak tersentil. Apa iya?
"Cewek tuh nggak suka tipe-tipe cowok serius dan kaku kayak lo, nggak suka dia sama cowok yang terlalu lempeng. Percaya sama gue," imbuhnya, "karena di mata mereka, lo jadi nggak ada daya tariknya. Gitulah akhirnya mereka memilih main sama yang lain di belakang lo, begitu udah ngerasa nyaman sama yang onoh, lo ditinggalin."
Hal yang membuat Bintang menghentikan kegiatannya, dia terganggu.
Bang Wala bilang, "Lo harus pinter main tarik ulur."
Dan Bintang alih menatapnya.
"Dan jangan cuma fokus sama satu orang. I mean, biar kalo ternyata dia kayak mantan lo itu, lo punya cewek cadangan."
Alis Bintang sampai menukik.
Di situ Bang Wala menyeringai. "Kayak gue. Hilang satu, tumbuh seribu. Nggak ada, tuh, istilah galau, diselingkuhin, atau malah jadi naksir sepihak kayak lo ke dia di hidup gue." Ditunjuknya lagi foto Khala. "Karena gue pandai nyenengin mereka--"
"Dengan mempermainkannya?"
Wala mencebik. "Yang penting mereka seneng dan sampe nggak mau diputusin waktu sama gue. Ini poinnya, Bintang."
Dan wejangan sesat Bang Wala terus mengalir sampai akhirnya dia pulang, tinggallah Bintang sendiri di kediaman, tak habis pikir dengan gagasan sang abang, meski ada satu hal yang mengganggu pikiran: Ah, apa iya ... Bintang membosankan?
***
Esoknya, di kantor. Bintang kepikiran, kalau memang dirinya ini membosankan, harusnya dulu Nadia nggak minta balikan. Namun, jika memang Bintang tidak membosankan, harusnya dulu Nadia tidak main belakang dengan selingkuhan.
Ck, menyebalkan!
Hal yang seketika itu melintas di pikiran ... jangan-jangan yang bikin hubungannya dengan Khala hancur adalah karena hari itu?
Hari di mana Nadia datang di wisudanya, lalu kenalan dengan papi dan Mami Rana, didapati respons baik keluarga semesta, mungkin ... Khala melihat dan dia salah paham?
Langsung Bintang berdiri, dia tinggalkan ruang kerjanya dengan langkah super lebar menuju ruang redaksi, tetapi saat tiba di sana ....
"Khala izin nggak masuk, Pak."
Oh, iya, Bintang lupa!
"Tadi udah izin di grup."
Dan Bintang belum melihat isi notifikasi di ponselnya. Dia pun kembali ke ruangan, tak peduli pada mereka yang merasa ada something hangat buat bahan pergibahan.
Segera Bintang telepon kontak Khala selepas dia baca kalimat izinnya di grup redaksi yang menandai Bintang di sana.
Isinya gini: [Asalamualaikum, Pak @Bintang dan teman-teman semua, hari ini saya izin tidak bisa masuk dikarenakan ada acara keluarga, besok saya masuk lagi. Terima kasih.]
Hell, acara keluarga?
Khala nggak lagi nekat menolak telak ajakan menikahnya kemarin dengan cara lamaran sama cowok lain, kan?
Tapi kalau iya, siapa?
Khala nggak kelihatan sedang dekat dengan lelaki selain Bintang tentunya, dia sendiri yakin sekali bahwa di hati Khala masih tersisa banyak cinta untuknya. Persetan jika ternyata Bintang terlalu percaya diri!
Kok, ya, teleponnya nggak diangkat-angkat, sih?!
Dua kali, nyaris saja Bintang melakukan panggilan ketiga, akhirnya diangkat juga.
"Lagi di mana? Ngapain? Sama siapa?"
Eh, buset!
Di seberang telepon sana, Khala mengerjap, menatap layar ponsel, lalu dia dekatkan lagi ke telinga, mengucap salam. Dan, ya, dibalas salamnya oleh gerangan.
Percayalah, di sini Bintang geregetan, apalagi ketika merasa sudah tahu akar masalah tujuh tahun lalu di mana letaknya.
"Di rumah, tidur, sendiri. Dan ... apa saya harus jawab semua itu?!"
Agak sewot dan serak-serak yahud suaranya. Membuat Bintang menghela napas pelan. Lega dia. Ternyata Khala sedang tidur ....
"Di jam sembilan pagi?" Bintang baru sadar. Katanya ada acara keluarga? Makanya izin nggak masuk kerja.
Eh, eh, Khala terkesiap tanpa bisa Bintang lihat. Dia pun berdeham.
"Ada apa Bapak nelepon?"
"Wah ... memalsukan alasan izin, ya, kamu? Aslinya emang pengin bolos aja. Iya?"
Ampun!
Di saat begini, kenapa Mas Bintang justru bersikap seperti atasan kepada bawahan, sih?
"Bukan begitu, Pak. Memang iya ada acara keluarga, tapi nanti. Ini saya tidur sampai menjelang siang karena curi-curi kesempatan aja."
Pun, tanpa bisa Khala lihat, Bintang tersenyum.
"Oke, karena itu kamu, saya loloskan."
"Terima kasih," Bapak Bintang yang tidak profesional!
"Berarti sekarang kamu di rumah orang tua?"
"Hm."
Bintang duduk di kursi kerjanya. Bicara-bicara, Bintang kerja di sini cuma jadi tukang pantau dan yang meneruskan ide-ide karyawan kepada Bang Langit, toh memang posisinya di sini tak akan lama sebagaimana akadnya dengan pemilik takhta tertinggi di Semesta Media.
"Oh, ya, soal tujuh tahun lalu ... ada hal yang pengin Mas luruskan."
"Mas?" Tampak terkejut suara itu.
Bintang terkekeh. "Iya, Mas udah tau kesalahannya di mana, Khal."
"Bentar--"
"Apa nanti sore kamu ada waktu?"
"Gimana kalo saya udah nggak mau denger--"
"Mas tau kamu mau," pangkasnya, tegas. "Ada waktu?"
Sungguh, karakter Bintang ini ... bukankah menyebalkan?
Sangat.
Dia pemaksa.
Berkuasa!
Dominan pula.
Tapi yang lebih menyebalkan lagi, Khala ... dia merasa terintimidasi jika Mas Bintang mode begini, alhasil Khala bilang, "Jangan sore ini. Besok aja. Sekalian ada yang mau aku omongin ...."
"Gimana kalau sekarang aja, Khal?"
Si paling pinter minta jantung di saat sudah diberi hati!
Namun, kali ini Khala tidak goyah. Haknya untuk menentukan kapan pertemuan itu terjadi lebih unggul daripada masnya ini. "Besok, Mas."
"Fine. Besok ... di kontrakan, kantor, atau saya ke situ?"
Rumah orang tua Khala.
"Kontrakan saya aja."
"Tanpa Anna, nggak pa-pa kalau saya nggak bawa siapa-siapa ke sana?" godanya.
Hening, jeda sejenak. Sebelum kemudian Khala berkata, "Emangnya berani?"
"Jangan ngejekin."
Dan Khala tertawa, Bintang rindu momen-momen ini. Well, Khala paham kalau Mas Bintang tidak punya keberanian untuk itu--ralat--bukan nggak berani, tetapi menghargai Khala yang takut jadi fitnah jika itu terjadi. Meski demikian, Khala kalau iseng mainnya godain iman.
"Datang sendiri aja, Pak."
Tuh, kan!
"Duduknya di luar?"
"Bapak mau di kamar?"
Sungguh membahayakan!
Namun, Bintang tersenyum senang. Semoga ini pertanda es di hati Khala mulai mencair.
"Khala ...."
"Bercanda, Pak."
Iya, tahu.
"Kalau nggak bercanda, emangnya udah siap nampung anak saya selama sembilan bulan?"
Eh, eh ....
Teleponnya dimatikan.
Dasar. Padahal, siapa yang mulai?