Langit sore itu tampak indah, sinarnya yang keemasan membias ke sela sela kaca jendela di sebuah kamar hotel, seolah menambah pesona kecantikan seorang calon pengantin yang tengah terduduk sambil menatap ke sudut ruangan.
Calon pengantin itu bernama Sara Sugama. Gadis itu tak kuasa menangis, ketika ia melihat gaun pengantin cantik yang terpajang di sebuah patung seolah ingin segera dikenakan.
Pengantin yang lain mungkin akan tersenyum bahagia ketika akan mengenakan gaun pengantin yang cantik, didampingi oleh pengantin pria yang tampan dan kaya, ditambah dengan pesta perkawinan yang sangat megah.
Wanita lain meneteskan air liur karena iri, tapi tidak dengan Sara.
Di hari yang seharusnya penuh kebahagiaan, ia menangis tersedu-sedu karena menjadi pengantin seorang diri. Jangankan keluarga, pengantin prianya saja ia tak mengenalnya.
Ini semua gara-gara perilaku sang ayah. Jika sang ayah tak berbisnis dengan keluarga Sugama, mungkin ceritanya akan lain.
Jika sang ayah tak terlalu rakus untuk mengambil keuntungan, Sara tak akan dijadikan sandera dan diikat dengan pernikahan agar tak ikut melarikan diri seperti sang ayah.
Sara sadar, setelah hari ini ia tak akan pernah bisa menikmati kebebasannya dan tak bisa seperti dulu lagi.
Sara hanya bisa berdoa agar mimpi buruknya segera berakhir dan semoga pria yang akan menjadi suaminya tak seburuk seperti yang ia dengar di luar sana.
Acara pernikahan pun dimulai dan berlangsung dengan megah. Sang pengantin pria yang tampan tampak begitu berwibawa dibalik sikapnya yang dingin. Semua mata tertuju pada pasangan yang akan mengucapkan akad nikah.
Pengantin Pria itu bernama Robin Sugama. Dari bibirnya yang indah, tersungging senyum tipis dan sinis saat melihat sang pengantin wanita masuk ke dalam ruangan dan melangkah ke arahnya dengan wajah menunduk.
Perempuan itu, yang kemarin baru ia lihat dari jauh dan kini melangkah menuju dirinya untuk membayar hutang sang ayah dengan hidup dan tubuhnya.
Ada rasa benci juga senang dihati Robin saat melihat Sara. Ia merasa benci karena Ayah Sara telah menipu keluarganya, tapi ia juga sekaligus senang melihat kecantikan Sara.
Rasanya ia sudah tidak sabar untuk mempermainkan perempuan itu dibalik kedoknya sebagai suami.
Pesta Pernikahan itu berlangsung dengan amat meriah dan sukacita. Para tamu tampak mengelu-elukan pasangan pengantin, tanpa menyadari betapa kikuknya Sara dan dinginnya Robin pada istri barunya. Selama acara pernikahan, Robin seolah tak merasa Sara ada, ia sibuk dengan para tamunya dan tak sepatah katapun keluar dari mulut Robin untuk menyapa atau menanyakan keadaan Sara.
Hanya sesekali Robil merangkul dan memeluk Sara untuk kebutuhan foto bersama tamu tanpa ada kata yang terucap.
Akhirnya pesta pernikahan itu pun selesai.
Ada rasa lega saat Sara bisa kembali ke dalam kamar pengantin dan terlepas dari pandangan sinis sang mertua.
Tak ada satu pun dari keluarga inti Robin menyukainya. Mereka tak setuju Robin menikahi Sara, karena takut Sara akan bersikap sama dengan sang ayah yang menipu keluarga mereka.
Sara baru saja selesai membersihkan dirinya dan masih mengenakan bathrobe saat melihat beberapa asisten Robin bersama beberapa pelayan hotel mengemasi barang barangnya.
"Mau dibawa kemana barang-barang milikku?!" tanya Sara panik melihat barang-barang miliknya dibawa keluar ruangan.
"Silahkan berganti pakaian Nyonya, Pak Robin bilang, malam ini juga Nyonya dan bapak kembali kerumah," ucap salah satu asisten Robin sembari memberikan satu set pakaian.
Tanpa banyak bicara Sara menurut dan segera mengganti pakaiannya.
Tak lama kemudian mereka semua sudah ada di basement, dimana sebuah mobil mewah sudah menunggu untuk mengantarkan Sara untuk pergi menuju kediaman barunya.
"Silahkan masuk nyonya, Pak Robin tidak ikut, karena ia masih punya pekerjaan lain yang harus diselesaikan," ucap seorang pria yang akhirnya Sara ketahui bahwa pria itu bernama Zen, asisten sekaligus pengawal pribadi Robin.
Zen pun membukakan pintu mobil dan Sara masih sempat melihat ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu lalu menghembuskan nafas lega saat ia sadar benar-benar tak ada Robin disana.
ia merasa sangat lega, karena di dalam hatinya ia merasa sangat canggung, takut juga bingung untuk menghadapi suami yang tak pernah dikenalnya. Ia tak tahu bagaimana harus bersikap jika mereka bersama.
Sara hanya menghela nafas panjang dan menatap ke arah luar jendela dengan pandangan kosong dan hatinya mulai berdoa, berharap bahwa semua kejadian hari ini hanya mimpi buruk belaka.
Sara terbangun dari tidurnya saat Zen membangunkannya perlahan dan memberitahu bahwa mereka sudah sampai. Dengan perasaan ragu dan takjub Sara keluar dari mobil perlahan menatap pemandangan dihadapannya.
Rumah mewah itu terlihat indah. Lampu taman yang temaram menambahkan keindahannya.
Seluruh asisten rumah tangga yang mengurus rumah itu telah berbaris dan menunggunya dipintu depan. Dengan langkah perlahan Sara melangkah memasuki kediaman barunya dan mengikuti langkah seorang perempuan yang tampaknya pemimpin dari seluruh asisten rumah tangga yang ada ditempat itu.
"Silahkan masuk nyonya, ini kamar utama dimana nyonya dan pak Robin beristirahat. Di dalam ruangan itu sudah ada barang-barang dan perlengkapan pribadi yang bisa nyonya gunakan.” Ibu Ruth, sang kepala asisten rumah tangga mempersilahkan Sara untuk masuk dan mengajak Sara untuk berkeliling kamar untuk mengetahui dimana ruangan lain selain ruang tidur.
Sara hanya tersenyum dan mengangguk, lalu setelah mengajaknya berkeliling kamar, ibu Ruth pun berpamitan. Di dalam kamar tidur yang besar dan terasa sunyi itu, Sara duduk dipinggir ranjang dengan perasaan sungkan.
Ia pun tergiur untuk merebahkan tubuh di ranjang yang empuk.
Aroma rempah dan melati yang harum dalam ruangan kamar semakin membuai Sara untuk merasa lebih tenang dan rileks.
Ranjang yang empuk dan besar itu seolah membuai Sara untuk ke alam mimpi. Seharian menjadi pengantin melelahkan tubuh dan perasaannya.
Sara tak menyadari, tak lama kemudian seorang pria masuk kedalam kamar dan memperhatikannya tidur.
Pria itu adalah Robin.
Robin hanya tersenyum sinis dengan pandangan mata yang begitu tajam ketika melihat Sara tertidur dengan lelap sampai tak menyadari kehadirannya.
Pria itu kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan dan menyegarkan tubuhnya yang sedikit mabuk karena alkohol yang ia minum saat pesta.
Tak lama kemudian Robin keluar dengan mengenakan selembar handuk yang hanya menutupi tubuh bagian bawahnya, masih ada tetes air yang membasahi bahunya yang lebar dari rambutnya yang basah.
Dengan tenang dan tanpa suara ia menghampiri Sara yang tertidur seperti bayi lalu duduk disisinya. Perlahan ia mulai membuka kancing kemeja yang dikenakan Sara.
Sara mulai tersadar saat merasakan seseorang mencoba membuka pakaian yang ia kenakan. Dengan pandangan yang masih mengantuk, samar-samar melihat seseorang tengah duduk diatas tubuhnya sambil melucuti pakaiannya.
"Jangan!" Sara meronta saat Robin mulai meraba bagian belakang Branya. Dengan satu jentikan jari kaitan bra itu terlepas dan tangan Robin mendorong ke atas sehingga isi di dalamnya itu pun menyembul keluar.
Sara berusaha menutupi tubuhnya, tapi Robin dengan cepat menangkap kedua tangan Sara dan menahannya di sisi kedua telinga Sara sehingga perempuan itu tak bisa bergerak.
Robin pun mulai mencium telinga dan leher Sara.
"Stop! Jangan!” tolak Sara meminta dengan suara lemah dan terdengar seperti suara desahan di telinga Robin.
"Kenapa? Kamu istriku sekarang dan malam ini malam pertama kita. Masih berani untuk menolak setelah yang ayahmu lakukan?!" bisik Robin dengan nada geram lalu melumat bibir Sara sampai perempuan itu kehabisan nafas.
"Tolong beri aku waktu…,” pinta Sara hampir menangis dan terengah-engah karena kekurangan nafas saat melepaskan ciuman Robin.
"Waktu?! Untuk apa?! Kamu tak punya waktu atau apapun untuk bernegosiasi denganku?!" Robin segera menegakkan tubuhnya dan menarik penutup terakhir di bagian bawah tubuh Sara.
Sara menjerit sesaat dan mencoba menarik tubuhnya saat melihat Robin melepaskan handuknya sendiri. Ia berhasil turun dari ranjang, tapi Robin bergerak lebih cepat dan segera menyambar pinggang Sara dan menghempaskannya ke atas ranjang lalu menindihnya.
Robin mulai tak bisa mengendalikan hasrat dan pikirannya sendiri, apalagi sisa-sisa alkohol masih memenuhi otaknya sehingga melihat tubuh Sara yang indah ia menjadi lupa status Sara yang merupakan anak dari orang yang menipu keluarganya.
Sara berteriak kesakitan saat Robin hendak menembus tubuhnya. Spontan Robin memeluk Sara dan berbisik ditelinganya.
"Peluk aku, percayalah padaku...," desah Robin sembari melingkarkan lengan Sara yang sedari tadi ia kunci ke lehernya.
Melihat tatapan Robin yang tiba-tiba berubah lembut, membuat Sara spontan memeluknya erat.
Robin pun tenggelam dalam hasratnya sedangkan Sara hanya bisa meneteskan airmata merasakan bagian tubuh bawahnya terasa sakit dan perih. Ia hanya bisa pasrah.
Bersambung.