01. Ini Bukan Mimpi

1075 Words
Parkmerced, 19th Ave, San Fransisco, CA Untuk lima menit pertama, Amy hanya terdiam di atas ranjang. Matanya mengedar ke seluruh ruangan ini, rapi, bersih, perabotan baru. Bisa dipastikan ini adalah kamar apartemennya. Sorot mata itu kemudian teralih lurus keluar jendela yang sengaja dibuka, pemandangan jalanan kota San Fransisco yang ramai pun membentang. Apartemen yang dia sewa dekat dengan jalan utama. Seperti hari-hari biasa, tempat ini selalu ramai. Waktu yang masih menunjukkan pukul delapan pagi saja, jalanan sudah terasa seperti keramaian makan siang. Kini ada beberapa keganjilan terbesit di benak wanita berusia 22 tahun ini. Seraya memegangi kepala yang agak pening, dia bertanya pada diri sendiri, mengapa bisa di sini? bagaimana caranya pulang? Bukankah sebelumnya dia ada di hutan daerah Sacramento? Jaraknya sekitar 80 mil dari San Fransisco, bagaimana mungkin dia mendadak ada di sini? Dia turun dari ranjang itu, lalu tertegun sejenak. Ada lagi hal yang paling penting yang mulai teringat. “Tunggu sebentar, siapa pria itu?” tanyanya mengerutkan dahi, napasnya tertahan memikirkan apa yang sudah terjadi. Bagaimana bisa melupakan kejadian mengerikan sore itu? Sambil melangkah buru-buru keluar kamar, dia ingin memastikan kalau semua ini nyata. Mungkin saja sang penolong ada di apartemen ini. Dia masih berharap bisa bertemu dengannya dan bertanya, siapa kau? Mengapa kau mengenalku? Begitu sampai di ruang tengah, ternyata memang ada orang lain, namun bukan sang penolong, melainkan sahabatnya, Lourdes Delgado. Wanita berdarah Spanyol itu tengah membaca majalah fesyen terbaru. “Lourie?” panggil Amy tak menyangka. “Kenapa kau ada di sini?” Lourdes menoleh. Ia terperanjat sekaligus terharu. Sambil menghampiri Amy, dia mengutarakan kekhawatirannya, “Oh, Babe, kau tidur seharian seperti orang mati-aku khawatir! Kau tahu-tahu pingsan di apartemen, mereka bilang sesak napasmu kambuh. Kenapa kau tidak pernah bilang kalau punya riwayat penyakit itu?” “Aku pingsan di apartemen?” ulang Amy mengerutkan dahi. “Maksudmu apa?” “Sore kemarin, kau pingsan di sini!” kata Lourdes menuding sofa panjang yang barusan dia duduki. “Kau beruntung telah menggunakan alat bantu pernapasan, syukurlah-” “Aku kemarin sudah sampai di Sacramento,” kata Amy menelan ludah, “maksudmu aku dari kemarin ada di apartemen ini? Itu tidak mungkin.” “Sacramento? Kau bercanda ya?” “Tidak, kau harus percaya! Kemarin aku mengisi bahan bakar di salah satu minimarket—” Amy terhenti untuk memijat kening, mengingat kejadian sore kemarin, “waktu itu-tempatnya aneh sekali, aku mencari pemilik pompa bensin, tapi tak ada siapapun, lalu mereka datang.” “Mereka?” “Aku tak tahu mereka siapa, jumlahnya ada lima, pria semua, memakai topeng hitam, mereka ingin menculikku.” Amy mengelus dadanya yang masih sedikit sesak. “Mereka tak berniat membunuhku, mereka punya s*****a, tapi tak digunakan padaku, itu artinya mereka hanya ingin menculikku. Lalu pria itu datang! Dia bertanduk, Lourie, aku yakin yang ada di kepalanya itu bukan bando, tidak mungkin juga pria yang cukup dewasa memakai bando tanduk ala natal, tidak mungkin.” “Tanduk?” Lourdes sama sekali tak percaya. Amy malah menjelaskan bentuk tanduknya, “ya, aku menyebutnya tanduk rusa, tapi—itu bukan—rusa, terlalu kecil, aku bingung—” Dia tak sadar kalau temannya itu hanya ingin memastikan pendengarannya, bukan berarti ingin tahu tanduk apa. “Amy, Amy Williams! Tenanglah, kau terlalu serius, kau bermimpi buruk. Aku paham perasaanmu, tidak apa-apa, kau sudah selamat, dokter sudah memberikan resep, dan jadwal pemeriksaan lanjutan untuk sesak napasmu.” “Ini bukan mimpi buruk! Ini bukan khayalan karena aku terlalu takut akibat sesak napasku yang hampir membunuhku! Aku ada di Sacramento, bagaimana bisa aku di San Fransisco sekarang!” “Eh, kau yakin tidak mau minum dulu?” “Lourie, aku dikejar lima pria asing, aku berlari ke hutan sekitar minimarket itu-entah kenapa aku merasa pernah kesana, aku terus berlari-lari, lalu ada terowongan tua, aku terus lurus-dan mereka tetap mengejarku, lalu-akhirnya dia datang, pria bertanduk itu, dia mengalahkan mereka tanpa melakukan apapun. Kau percaya— semacam Harry Potter dengan wingardium leviosa-nya—dia membuat peluru yang ditembakkan kelima pria itu melayang balik dan membunuh mereka sendiri.” Lourdes melongo. Dia tahu kalau temannya ini selalu bersemangat jika menceritakan sesuatu, tapi tak sampai menyebut nama tokoh fiktif seperti Harry Potter. Setelah menelan ludah, dia pun menyarankan, “sudah kuduga, kau perlu minum.” “Tidak, sungguh! Pria itu benar-benar bisa sihir.” Wajah Amy sangat ekspresif saat menjelaskan itu. “Oh! Itu metafisika! Pasti bisa diterima akal, bukan? Kau tahu yang namanya telekinesis? Aku yakin itu penjelasan yang tepat ketimbang tongkat sihir Harry Potter.” Lourdes makin khawatir dengan kejiwaan temannya. “Oke, Baby, karena aku libur jadwal syuting dan kau juga tak ada pemotretan, bagaimana kalau kita liburan? Hawaii mungkin?” “Lourie! Aku tidak gila karena terlalu sibuk kerja!” bantah Amy tak suka dipandang aneh. “Dengar, pria bertanduk itu juga mengenaliku, dia memanggilku Amy. Bagaimana mungkin dia mengenaliku? Aku tidak kenal dengannya.” “Tidak mungkin, kau di sini dari kemarin.” “Oh! Periksa saja halaman parkir apartemen, mobilku pasti tidak ada, karena memang kutinggalkan di pompa bensin di Sacramento! Tidak mungkin pria itu tahu kalau mobilku ada di sana.” “Kau bercanda? Mobilmu dari kemarin ada di parkiran, lihat saja sendiri, bahkan tak pernah meninggalkan halaman itu—kalau tak percaya, periksa saja CCTV.” “Apa? tidak-tidak pernah meninggalkan halaman parkir?” “Tidak, tetanggamu bilang sendiri kemarin pada dokter kalau kau tak pernah keluar dari kamarmu, mobilmu juga terus terparkir di halaman.” “Aku tak pernah keluar dari apartemenku?” “Tidak.” “Itu tidak mungkin. Bagaimana sesak napasku kambuh kalau tidak karena situasi genting kemarin? Ini tidak mungkin-kau mau bilang aku tiba-tiba saja sesak napas dan hampir mati di apartemen, untungnya aku menelponmu?” “Memang begitu kejadiannya.” “Kau sungguh tak percaya aku dikejar lima pria, lalu diselamatkan oleh pria bertanduk yang bisa telekinesis?” “Aku percaya kau mungkin melihat atraksi sulap.” “Lourie!” “Begini, kau memang tak pernah berbohong, tapi aku agak meragukan tingkat stresmu gara-gara skandalmu dengan aktor tampan yang sedang naik daun.” “Kau benar, Duchess, sebaiknya aku minum saja,” ucap Amy tak kuat lagi jika mulai membahas skandal yang sedang hangat dibicarakan media online seminggu terakhir. Tujuannya ke Sacramento pun kembali teringat, ya- pergi ke rumah sang kakek, demi menghibur diri agar bisa melupakan berita itu. Akan tetapi belum sampai tujuan, dia sudah mengalami kejadian buruk. Lourdes menahan tawa. “Amy, aku paling tahu kalau gadis manisku ngambek, aku percaya kok! Aku juga kadang suka membayangkan b******a dengan rusa-rusa santa klaus yang berubah jadi manusia. Menurutku pria bertanduk itu erotis.” “Kau pasti bercanda” gumam Amy sudah terbiasa dengan ucapan sang teman yang selalu mengarah ke hal percintaan. Apapun yang dia ceritakan, pasti ujung-ujungnya e****s. Wanita ini sama sekali tak menyukai sosok bertanduk itu, dia hanya merasa melupakan sesuatu. Ya, rasanya ada yang mengganjal-seperti pria itu tak asing. Lagipula bagaimana dia bisa menyebutnya rusa, padahal tanduk yang dia lihat saat itu lebih mirip domba? “Kenapa aku menyebutnya rusa?” herannya. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD