°°°
Beberapa jam kemudian, di kediaman Keniti Maxwell.
"Hai!" Emily terkesiap saat merasakan sebuah tangan memeluk pinggangnya erat.
"Kau tak lelah terus berteriak!" Terdengar suara yang cukup serak dan dingin tepat di samping telinganya membuatnya bisa merasakan embusan nafas pria itu.
"Ehmm!" Emily menghela nafas. "Aku tak akan seperti ini bila kau melepaskan tanganmu dan menjauh dari tubuhku. " desisnya merasa tak nyaman saat tangan itu terus memerangkap pinggangnya.
"Ohya, by the way dari kemarin aku tidak tahu namamu?" Tanya Emily mengingat dirinya tidak tahu nama pria di belakangnya itu.
Keniti tersenyum tipis mendengar itu. "Keniti. Namaku Keniti Maxwell. "
Mendengar nama itu membuat kening Emily mengerut. Namanya terasa familar. Dia pernah mendengar tentang Maxwell-Akhh Yaa, Perusahaan raksasa itu. Jadi, Oh my good!
Jadi pria yang telah melamarnya dengan mendadak ini adalah ..... Wah tidak bisa di percaya?!
Emily jadi berpikir, semenarik apa dirinya hingga bisa membuat pria ini melamarnya.
"Wow, aku tidak menyangka, kau salah satu pewaris Maxwell. " Kata Emily berbinar.
Keniti tersenyum mendengar itu. Well, Maxwell memang terkenal akan bisnisnya—Legal mau pun ilegal jadi tak heran jika sebagian banyak orang mengetahuinya.
"Tapi—Eumm Keniti, namamu, say to say, aku memang lambat untuk tahu akan itu, kau tahu-karena itu tak penting. " kata Emily membuat raut wajah Keniti berubah datar.
"Dan mulai sekarang kau akan tahu semua tentangku!" ucap Kent dingin.
Saat Emily akan menjawab tiba-tiba pintu terbuka, menimbulkan suara sedikit keras. Dan disana seorang wanita paruh baya melihat mereka sambil menggeleng-geleng kepalanya. Emily yang sadar langsung melepaskan tangan Kent yang memeluk pinggangnya dari belakang.
"Mommy?!" Ucap Kent menatap wanita paruh baya yang berdiri mematung di pintu masuk.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Dyandra menatap memicing putranya itu.
"Mommy yang apa-apaan kenapa langsung masuk saja!?" tanya balik Kent.
Sedangkan Emily memperhatikan wanita paruh baya yang merupakan ibu dari lelaki itu-tampak masih terlihat cantik dengan postur tubuh yang ideal meskipun umurnya terbilang berkepala empat.
Sambil melangkah mendekati putranya yang bersama dengan seorang wanita, Dyandra memicing pada putranya itu. "Kau—dasar nakal!" ucapnya dengan kepala mengeleng-geleng.
Tapi baru juga seperempat jalan, ponsel wanita paruh baya itu bergetar menandakan ada notifikasi masuk. Melihatnya, Dyandra menghela nafas kesal saat membaca pesan tersebut.
"Ish! Selalu saja!" decaknya.
"Hups, oke. Karena mom ada problem sebentar-You...," tujuknya pada sang putra lewat tatapan mata. "Temui mom malam ini di Mansion... and no no no!" Dyandra langsung menyerobot kembali kata-katanya kala melihat putranya itu akan membuka suara. "Tidak ada bantahan Keniti!" ucapnya menatap tegas sang putra yang di perkirakannya akan melayangkan protesan.
"Dan untukmu...," kini Dyandra beralih pada Emily yang balas tersenyum kikuk. "Saya tunggu perkenalanmu, nona." Ucapnya dengan senyum ramah khasnya.
"Jadi silahkan lanjutkan, mom pergi dulu, by!" ucapnya lagi dengan kekehan geli yang membuat Emily meringis malu.
Dan—Blam!
Sepeninggalan Dyandra, tampak kedua pipi Emily memerah bak kepiting rebus-Astaga memalukan sekali harus tertangkap basah dalam posisi intim!
"Ishh... Gara-gara kau!" Desisnya menatap kesal tampang Kent yang malah terlihat santai-santai saja.
***
"Jadi?"
Kent melempar tanya setelah dirinya dan wanita di hadapannya membahas prihal kesepekatan.
"Aku masih bimbang."
Kent menatap tak suka akan jawaban Emily. "Kita sudah sepakat."
"Tapi tetap saja-"
"No! Tidak ada bantahan Emily Senzzy!"
Emily menatap kesal Kent. "Aku belum memutuskan ya!"
Keniti menyeringai membuat Emily waswas. "Semua sudah aku urus. Ibumu besok sudah di pindahkan."
Kedua mata Emily membulat. "Apa? Kau apa—tanpa seizinku!"
"Selamat datang di dunia seorang Keniti Maxwell. Emily Senzzy." Ucap Kent menatap puas wajah Emily yang memucat.
Emily bingung, kenapa juga lelaki ini sangat menginginkannya padahal masih banyak wanita di luar sana bahkan lebih darinya.
Dan Kent hanya menatap Emily dengan senyum samar misteriusnya.
Kau tak bisa menolaknya sayang, sejak pertama kita bertemu, kau sudah menjeratku untuk selalu bersamamu dan semua ini aku lakukan demi mendapatkanmu, dengan kepribadianmu yang berbeda membuatku tertarik, mungkin yang selalu kau tanyakan di pikiranmu kenapa aku memilihmu sedangkan masih banyak wanita di luar sana yang lebih dan lebih hebat darimu, tapi yang aku inginkan hanya kau Emily Senzzy.
Salahkan saja Kenzu karena membawaku padamu, jujur aku pun masih tak percaya akan kata 'Cinta' kata kata itu hanya penyakit mematikan yang menyerang hati! jadi aku mengartikan semua ini hanya keinginan untuk mendapatkanmu dan menyingkirkan pria-pria yang mendekatimu.
***
Di tengah malam yang sunyi, udara yang berembus menyapu kulit putih mulus seorang wanita cantik yang tengah tertidur dengan peluh yang terus mengucur dari keningnya, dan tak lama mata itu terbuka sepontan, dan segera bangkit dari rebahnya dengan nafas tidak teratur.
Mimpi huh! Batinnya dengan peluh membanjir.
Mencoba sedikit tenang setelah menormalkan detak jantungnya, pandangannya mengedar dan sedikit terkejut kala tak mengenali tempatnya sekarang tidur, tapi kemudian sebesit ingatan membuatnya mengembus nafas lega.
Ahh Emily ingat tengah menginap dan dirinya sekarang tengah berada di kamar mewah dengan ranjang berukuran kingsize.
Well, beberapa jam yang lalu, setelah perbincangannya dengan Keniti yang di akhiri kemenangan pria itu. Yaps, akhirnya Emily menyetujui tawaran lelaki itu.
Ahh begitu mudahnya lelaki itu merayunya untuk mengatakan deal. Dan juga, saat Emily akan pulang, Kent malah melarangnya dengan alasan malam yang sudah sangat larut, tak baik untuk wanita pergi sendirian.
Dan Emily sampai heran Kent kan mempunyai anak buah bisa saja memerintah untuk mengantarnya atau berinisiatif dirinya sendiri yang mengantar tapi malah memaksanya untuk tinggal dan dengan terpaksa Emily kembali menyetujui ajakan lelaki itu.
Emily melihat jam di nakas mini dekat ranjang yang menunjukkan pukul 2 dini hari. Ahh dirinya terbangun karena mimpi buruk!
Saat akan menggerakkan badannya ke samping, Emily merasa tubuhnya tertahan. Wanita melihat perutnya dan matanya membulat saat melihat tangan besar nan kekar melingkar di sana.
"Keniti!!" pekik Emily bergegas menepis kasar tangan pria itu.
Sedangkan Kent malah menggeram karena tidurnya terganggu. "Diamlah dan lanjutkan tidurmu." Desisnya memerintah.
Emily menggeram jengah. "Kenapa kau di sini, aku sudah bilang untuk tidak tidur bersamaku!" kata Emily.
Ya, setelah Emily memutuskan menginap. Kent tanpa ragu menunjukkan kamarnya dan dengan santainya mengatakan mereka akan tidur bersama.
What the hell! Emily tentu menolak keras dan mendorong pria itu keluar dari kamar. Biar saja kurang ajar, toh pria itu yang menyuruhnya menginap, tapi sekarang kenapa pria ini bisa di sini dan dengan kurang ajar memeluknya?! Ahh mungkin karena kekuasaannya toh kamar ini miliknya kan!
Bukannya menjawab Kent malah lebih menyelusupkan kepalanya pada selimut dan meletakan tangannya kembali pada perut Emily yang segera di tepis oleh wanita itu.
Saat Emily akan melayangkan protesnya kembali, ponselnya yang tergelak manis di meja nakas mini berdering, segera tangannya menggapai benda pipih itu.
"Hallo. " sapanya.
"Nona, Anda harus segera ke rumah sakit, ibu Anda drop kembali!"
Mata Emily membulat penuh setelah mendengar apa yang dikatakan seseorang di seberang sana.
"Apa?! Oke, saya akan segera ke sana." kata Emily cepat. Ia benar-benar mengkhawatirkan Ibunya-orang yang paling berharga di hidupnya.
Emily segera membangunkan tubuh lelaki di sampingnya dengan cara memukul pelan bahunya yang kembali menggerutu karena terganggu.
"Kent, kumohon bangun." pinta Emily dengan nada memohon, yang tadinya kesal terganti dengan rasa cemas di hatinya.
"Hm." gumam Kent, matanya terbuka saat mendengar isakkan Emily.
"Tolong aku," mohon Emily.
"Ada apa?" ulang Kent dengan dahi mengerut.
"Antar aku ke rumah sakit." pinta Emily dengan nada serak karena isakkannya.
"Ada apa? Ibumu kenapa?" tanya Kent, Emily tak menjawab wanita itu hanya terisak pelan.
Dan Kent hanya menghela nafas, beranjak dari ranjang menuju lemari entah apa yang di ambilnya. Tidak lama langkah lelaki itu kembali mendekati Emily yang sudah berdiri di dekat ranjang dengan pandangan takut tercampur cemas.
"Pakai ini, cuaca di luar sangat dingin. "
Ternyata pria itu mengambil sebuah mantel tebal dan memakaikannya pada Emily.
"Jangan menangis, ibumu akan baik-baik saja." ucap Kent menenangkan sambil mengusap tetasan air mata di pipi Emily yang tak bisa wanita itu tahan.
"Sekarang ikut aku. " Kent menggenggam tangan Emily dan menariknya keluar dari kamar.
***
Sampai di RS.
Emily langsung saja keluar dari mobil, berlari tergesa menuju ruangan ibunya dan Kent yang melihatnya menghela nafas.
Sepertinya Ia harus melakukan sesuatu. Batinnya.
Setelah sampai ruangan ibunya, Emily melihat dari kaca pemisah, sang Dokter tengah berjuang mengembalikan detak jantung ibunya. Tak kuasa menahan tangis wanita itu menangis sambil menyentuh dadanya yang terasa sakit.
Kent yang entah sejak kapan sudah berada di belakang Emily menarik wanita itu ke pelukannya-Mencoba menenangkan. Dan Emily bergerak menenggelamkan kepalanya di d**a bidang Kent yang terbalut kemeja putih, menumpahkan segala keresahan dan ketakutan di hatinya.
Sejam kemudian. "Dok, Dokter bagaimana kondisi ibu saya? " tanya Emily bangkit dari kursi yang berada di sana, serta melepaskan pelukan Kent saat melihat Dokter yang menangani ibunya akhirnya keluar juga.
"Syukur Ibu kamu kembali, tapi kita harus memantaunya karena keadaannya menurun drastis." jawab dokter itu.
Sebelum pergi dokter itu menepuk pundak Emily memberinya semangat karena Dokter itu tahu kalau Emily hanya mempunyai dua orang berharga di hidupnya.
Emily melangkahkan kakinya menuju ranjang ibunya, wanita itu menggenggam tangan ibunya dengan erat—Tidak ada satu patah kata pun keluar dari mulutnya, Emily hanya memandang ibunya yang terlelap dengan sorot mata sembab akibat menangis.
Hingga beberapa menit kemudian, wanita itu mengingat sesuatu, matanya celingukan mencari seseorang. Kemana dia? Tanya batinnya.
***
Sedangkan Kent yang tengah di pikirkan wanita itu tengah sibuk bertelepon.
"Apa yang di inginkan b******n itu?" tanya Kent pada seorang di seberang telepon.
"Kau bisa menebaknya, son." suara serak di seberang sana yang menyahut yang merupakan Andre Maxwell—Ayahnya.
Kent menyeringai kala sepintas ide terlintas di benaknya. "Bermain main dengannya sedikit pasti menyenangkan, lalu kita hancurkan dia dengan perlahan lahan."
Terdengar suara kekehan di seberang telepon. "Terserah kau saja." Lalu sambungan terputus.
Di belakang terlihat seorang wanita mendekat, lengan wanita itu terangkat untuk menyentuh bahu lebar Kent, tapi bersamaan dengan itu Kent menoleh lalu mengangkat alisnya.
"Emily?" Ucapnya.
"Aku mencarimu, aku pikir kau sudah pergi." ucap Emily lalu menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh tegap pria di sampingnya.
Beruntung Emily mempunyai tinggi ideal-172 cm kalau tidak salah saat terakhir Ia mengukur, jadi ia tak akan pegal bila menatap lama Kent yang di perkirakan memiliki tinggi 185 cm.
"Excuse me?" Tiba-tiba terdengar suara seorang pria dari arah samping kanan jalan berlorong rumah sakit itu, Emily menoleh untuk melihat siapa yang berteriak.
"Ahh perkiraanku tak salah." Kata pria itu saat menatap Emily yang balas menatap dengan alis bertaut bingung.
Mengerti akan tatapan itu si pria tersenyum. "Remember me, Emily Senzzy."