Desita Indira 8

1309 Words
Tidak terasa sudah hampir sebulan aku tinggal di rumah iblis tampan calon suamiku itu. Semua hal tentang pernikahan sudah kami persiapkan dengan matang. Si perfeksionis itu selalu saja memastikan bahwa semua hal berjalan sempurna, dilakukan penuh rahasia, dan tentu saja tidak memerlukan saranku sedikit pun. Seolah aku hanya boneka yang diperlukan untuk melengkapi pernikahan sandiwara miliknya. Hari ini kami sedang memeriksa gedung tempat kami akan menikah nanti. Dengan dekorasi serba ungu, bunga-bunganya pun di d******i pink, putih dan ungu. Tiga warna yang tidak aku sukai. Gaun pengantinnya pun di desain dengan mewah dengan renda-renda yang berwarna ungu dan pink. Terkesan sangat perempuan, dan Dante selalu mengatakan pada orangtuanya bahwa ungu dan pink adalah warna kesukaanku. Jika mengingat bahwa pernikahan yang kuharapkan terjadi satu kali seumur hidupku akan terjadi bersama laki-laki iblis jahat berparas tampan dengan segala dekorasi dan persiapan pernikahan yang tidak sesuai keinginanku membuat hatiku sakit sekali. Dante seperti merampas semua impian yang selama ini diam-diam aku simpan seorang diri dalam hidupku yang sepi. Mungkin setelah itu dia juga akan menghancurkan hidupku sampai napasku berhenti barulah mungkin dia akan menghentikannya. Dan yang semakin membuatku sesak adalah aku tidak tahu apa kesalahanku. “Sita kenapa nangis?” Mama Marini menatapku khawatir. Otomatis Papa Darius dan Dante menoleh ke arahku. Aku sedikit bingung kemudian segera menghapus air mata yang tiba-tiba terjatuh tanpa sadar itu sambil tersenyum. “Nggak pa-pa ma, Sita hanya sedikit tidak percaya kalau sebentar lagi akan menikah.” ucapku bohong. Kemudian aku merasakan tangan Dante di pundakku sedikit mengencang, seolah mengancam agar aku jangan macam-macam. Tapi aku tidak merespon. Aku memilih untuk menjatuhkan pandanganku pada semua dekorasi yang tampak indah walaupun bukan seleraku. Mama Marini kemudian menghampiriku dan memelukku, membuatku ingin menangis kencang. Tapi tentu saja aku tahan sampai rasanya sesak, karena aku sudah tidak mau menerima perlakuan kasar dari si pangeran iblis. “Dulu mama waktu mau nikah juga kaya kamu, jadi cengeng karena merasa mungkin banyak hal akan berubah, kita mungkin akan kehilangan kebebasan dan banyak hal lain. Tapi percaya deh sama mama, semua akan baik-baik saja ketika sudah dilakukan.” paparnya menghibur. Aku mengangguk saja sambil menahan tangis. Mataku perih sekali, mungkin tampak memerah sekarang. “Pokoknya kamu percaya deh sama Dante, dia gak akan bikin kamu terluka. Dia anak yang bertanggungjawab dan penyayang.” ujar Om Darius meyakinkan yang tentu saja sangat tidak aku percayai karena walaupun aku baru mengenal iblis tampan itu, aku sangat tahu bagaimana jahatnya dia. “Iya, Pah,” jawabku sambil tersenyum. Namun air mataku kembali turun dan Mama Marini segera menghapusnya. “Mending kamu duduk dulu deh istirahat, kayaknya kamu kecapean juga.” Dante menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan sambil mengatakan kalimat penuh kekhawatiran itu seolah-olah dia peduli. Membuatku semakin ingin menangis. “Iya Sita, ayok duduk dulu. Mama temani kamu yah?” Aku mengangguk. Setelah aku duduk Dante membawakan aku air minum kemudian pergi lagi bersama Papa Darius untuk melanjutkan pengecekan pada persiapan pesta itu. Mama Marini memelukku dan aku benar-benar menangis saat itu. Seumur hidupku aku selalu menahan semua lukaku sendirian, dan sekarang seperti sudah tidak tertahankan lagi. Sehingga ketika aku mendapatkan sandaran, aku tumpahkan semua emosiku di sana. Beliau membelai punggungku menangkan, lembut sekali mungkin seperti inilah belaian seorang ibu. Aku bahkan belum pernah merasakannya, dan aku sangat berterimakasih pada beliau karena membuatku merasakannya. Aku menangis sesenggukkan dan beliau hanya memelukku saja tanpa banyak bertanya seolah tahu bahwa yang aku butuhkan hanya menangis. “Sudah baikan?” tanyanya ketika aku berhenti, mataku pasti merah dan jelek sekali. Tapi aku tidak peduli. “Sudah, Mah, terima kasih.” Beliau tersenyum. “Kamu boleh cerita apa pun sama mamah, kapan pun kamu punya masalah datangnya ke mamah, oke!” Aku mengangguk. Sayang sekai aku tidak bisa melakukan itu karena putranyalah yang membuat masalah di hidupku. “Mah, Sita mau ke toilet sebentar.” ucapku, beliau mengangguk dan aku beranjak menuju salah satu toilet di dekat sana. Aku masuk ke salah satu bilik dan duduk di kloset. Berusaha menenangkan pikiranku yang kacau. “Jadi Dante benar-benar akan menikahi nenek sihir itu?” ucap seorang wanita di luar membuatku mengurungkan niatku membuka pintu bilik kamar mandi. Seseorang tertawa lagi. “Dan semua konsep pernikahannya benar-benar seperti konsep pernikahan impian Vira. Menggelikan bukan, penyihir itu hanya pengganti.” Jantungku berdetak kencang mendengar kenyataan ini. “Dia pantas mendapatkan ini untuk semua yang sudah dia lakukan bukan? Aku jadi tidak sabar menyaksikan dia tersiksa karena pernikahan yang dirancang bukan sesuai keinginannya itu. Apalagi Dante juga tidak memperlakukannya dengan baik.” Satu orang wanita lain tertawa. Aku menepuk dadaku menahan sesak. “Benarkah itu Renata? Aku juga jadi tidak sabar menyaksikannya.” ucap perempuan lainnya kemudian mereka tertawa. Dan aku sepertinya mengenali salah satu dari mereka, Renata adalah si pengantin menyebalkan itu. Tapi ngomong-ngomong siapa Vira? Apakah dia pemilik dress peach di lemari Dante yang tidak boleh aku sentuh? Lalu apa hubungannya denganku? Setelah kudengar langkah kaki mereka keluar dari toilet, aku akhirnya keluar dari bilik kamar mandi sambil berusaha untuk tidak lagi menangis. Tubuhku sedikit lemah, mungkin karena banyak pikiran, dan asam lambungku naik. Jika aku menangis terus mungkin aku akan pingsan dan membuat Dante marah nantinya. Ketika aku kembali tampak Dante dan Papa Darius sudah ikut duduk bersama Mama Marini. Kemudian manik mata Dante bertemu dengan manik mata milikku dan aku memilih untuk menunduk. Tidak mau bertatapan dengannya karena aku mungkin akan menangis lagi. Sudah cukup untuk hari ini, aku harus kuat agar aku punya energi untuk memikirkan cara melepaskan diri dari iblis tampan itu tanpa masuk penjara. “Sudah lebih baik Sita?” tanya Mama Marini. Aku mengangguk. “Sudah makin sore juga, Sita tampak pucat. Sebaiknya kalian pulang saja semuanya juga sudah beres.” usul Papa Darius yang disetujui oleh Dante. Kemudian kami berpamitan. Hari ini Dante mengendarai mobilnya sendiri tanpa supir. Dan aku duduk di kursi penumpang. Hingga mobil melaju kami hanya diam. Aku juga enggan untuk membuka suara sekalipun aku penasaran sekali dengan gadis bernama Vira itu. Aku lebih memilih memalingkan wajahku ke arah jalanan dan melihat lalu lintas yang lumayan padat sore ini. “Suka dengan dekorasi pestanya?” Tiba-tiba dia bertanya. Membuatku heran. “Tidak.” jawabku singkat dan jujur. “Kau harus menyukainya.” ucapnya lagi. “Kalau begitu tidak usah bertanya, lagi pula pendapatku tidak penting.” Aku mengatakannya masih dengan pandangan tertuju ke jalanan. “Kau tampak pucat, sakit lagi?” tanyanya. Aku menggeleng. “Jawab aku Sita!” “Tidak, aku tidak sakit.” jawabku jengkel. “Apa kau tidak pernah diajari bahwa berbicara sambil mengalihkan wajah itu tidak sopan?” Dia mulai sedikit kesal. “Tidak, aku tidak pernah punya orang tua.” Kudengar dia mendengkus. “Kau menyebalkan.” Gumamnya. Aku tidak menjawab dan tidak ada percakapan lagi hingga kami sampai di parkiran apartemen. Aku hendak membuka pintu mobil ketika tiba-tiba dia menarikku dan mengurungku menggunakan kedua tangannya. Tangannya membelai pipiku dengan lembut, aku tidak mengerti arti tatapannya yang terlihat menginginkanku itu. Kemudian bibirnya melumat bibirku tanpa permisi, mengakses mulutku seenaknya dan lagi-lagi aku terlena. Bisa dibilang ciuman Dante menjadi satu-satunya hal yang aku suka darinya. Menjijikan bukan? Ya aku pun merasa jijik dengan diriku sendiri. “Jadilah gadis baik, hanya enam bulan saja. Setelah itu kau bebas.” ucapnya setelah melepas ciumannya. Mengecup bibirku sekali lagi dan keluar dari mobil. Aku masih diam hingga dia membukakan pintu di sampingku karena aku tak kunjung keluar. “Ayo masuk, kau harus istirahat. Kau dilarang sakit di hari pernikahan kita!” Perintahnya tidak ingin dibantah dan aku menurut. Mengikutinya menuju unitnya, dengan pasrah. Seolah hanya ragaku saja yang mengikutinya tapi jiwaku menghilang. Mana mungkin aku akan bahagia dalam pernikahan yang semuanya dirancang berdasarkan keinginan gadis lain, yang mungkin dilakukan juga untuk maksud yang berhubungan dengan gadis bernama Vira itu. Dan aku yang dipaksa menahan sakitnya ketika semua berakhir nanti. Mungkin akan lebih baik kalau aku bunuh diri saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD