Satu hal yang dapat aku simpulkan dari pertemuanku dengan kedua orang tua Dante adalag bahwa mereka orang baik. Tapi bagaimana orang sebaik mereka bisa melahirkan monster menyeramkan seperti Dante? Sepanjang obrolan kami, Dante terus memandangiku dengan tatapan seolah mengatakan dia akan memakanku bulat-bulat ketika papa dan mamanya pulang. Jujur saja itu membuatku merinding. Aku benar-benar menyesali keberanianku membalasnya tadi. Mulai menyalahkan diriku sendiri yang tidak seperti biasanya.
“Jadi Sita penulis n****+, wahh hebat loh.” puji Tante Marini. Mama Dante. Aku hanya tersenyum saja.
Dante terus mengawasiku dengan tatapannya yang menyeramkan. Ingin sekali ku colok matanya agar tidak memandangku dengan menyebalkan seperti itu terus.
“Kalau Dante jahatin kamu, bilang aja sama mama dan papa nanti kami yang akan menghukumnya.” ujar Om Darius. Papa Dante.
Mereka tidak mau kupanggil om dan tante. Maunya aku panggil mama dan papa. Hal itu terasa sangat canggung karena seumur hidupku aku tidak pernah memiliki orang tua. Sekaligus mengirimkan perasaan bersalah yang kian lama kian menggunung karena harus membohongi mereka dengan pernikahan bohongan nanti.
“Mana mungkin Dante jahat, iya kan Sita?” Dante menatapku penuh ancaman. Membuatku mengangguk sambil tersenyum. Tentu saja dengan terpaksa. Laki-laki itu tersenyum kemudian mengedipkan sebelah matanya tanpa ketahuan. Membuatku jijik.
“Ngomong-ngomong udah sore, kita pulang yuk, Pah! Lagian Sita juga butuh istirahat. Sementara kamu tinggal di sini aja dulu Sita, daripada kamu sendirian di apartemen kamu. Lagi sakit pula, di sini kan Dante bisa rawat kamu.” saran Mama Marini. Membuatku meringis dan merinding ngeri. Justru jika aku tinggal disini maka keselamatanku terancam. Mereka tidak tahu saja bahwa putranya merupakan seorang monster.
“Mama benar Sita, kamu di sini saja dulu. Lagipula kalian akan menikah kan? Cepet sehat yah? Laporin sama papa kalau Dante jahatin kamu.” Papa Darius menambahkan. Aku mengangguk saja, sementara Dante tersenyum penuh kemenangan dan itu terlihat sangat menyebalkan. “Dan kamu Dante, baik-baik sama Sita. Jagain dia bener-bener!” Tambah beliau lagi.
“Papa tenang aja, Dante tidak pernah mengecewakan kan?” ucap laki-laki itu sombong. Membuatku ingin mencolok matanya yang kerap kali memberiku tatapan menyebalkan itu.
Sungguh aku berharap mereka tidak pulang sekarang karena sejujurnya aku ketakutan tentang bisikan hukuman yang Dante ucapkan tadi. Aku memeluk Mama Marini cukup lama seolah memberi beliau sinyal tapi rupanya beliau kurang peka. Dan ketika mereka berpamitan dan pintu apartemen Dante tertutup aku segera berlari masuk ke ruangan sembarang, menutup pintunya kemudian menguncinya. Dapat aku dengar, Dante sedang tertawa di luar sana. Tapi aku tidak mendengar dia berusaha membuka pintu membuatku lega. Aku duduk di depan pintu sambil memegangi dadaku. Perutku juga sedikit perih.
“Mau sampai kapan duduk di situ gadis nakal?” Aku sedikit terlonjak, mataku membola terlebih ketika aku melihatnya sudah duduk di pinggiran kasur di dalam ruangan yang sama denganku.
Dari mana dia masuk? Apakah dia bukan manusia? Pertanyaan itu berlarian di benakku membuatnya tertawa. Mungkin ekspresiku terlihat lucu olehnya.
Dia berdiri kemudian mendekat, berjongkok di depanku sambil tersenyum. “Kesalahan pertamamu adalah mencoba menjatuhkanku di depan orang tuaku, kesalahan keduamu adalah lari ke dalam kamarku di mana kamar ini terhubung dengan ruang kerjaku sehingga aku bisa masuk. Dan kesalahan ketigamu adalah tidak menurut padaku. Jadi hukuman apa yang pantas untuk gadis nakal sepertimu?” bisiknya menakutkan.
Aku sudah ingin menangis ketika dia semakin dekat. Dan ketika hembusan napasnya mengenai wajahku, aku memejamkan mata kuat-kuat. Perasaan sedekat ini dengan laki-laki membuat jantungku berdebar tidak karuan sampai terasa sakit dan ingin menangis.
Kemudian aku merasakan sesuatu yang lembut dan hangat mendarat di bibirku. Mengecup beberapa kali, hingga tubuhku terangkat. Aku membuka mataku dan Dante sedang menggendongku dengan bibirnya terus bermain di bibirku. Aku benar-benar ketakutan, terlebih melihat arahnya menuju tempat tidur. Aku meronta sebisaku tapi itu malah membuatku terjatuh ke atas tempat tidur. Dan dia menyeringai dengan menyeramkan.
“Pilihan yang pintar untuk mendarat di tempat tidur.” ucapnya.
“Jangan mendekat! Dantee jangan mendekat!” ucapku sedikit berteriak. Tapi laki-laki itu malah menahan kakiku sehingga aku tidak bisa beringsut mundur. Setelah itu dia merangkak ke atas tubuhku dan mengunci kedua tanganku ke atas kepala.
“Cuma aku yang boleh memerintahmu, tugasmu hanya menurutiku, Sayang.” gumamnya dengan napas sedikit memburu. Aku benar-benar takut sekaligus merasakan perasaan aneh yang menjalar di sekujur tubuh. Perasaan yang membuatku mengutuki diriku sendiri karena terasa seperti menikmati perlakuan kurang ajar Dante ini.
“Dante aku mohon jangan seperti ini.” Aku memohon.
Dia hanya tersenyum saja kemudian mulai mengecupi leherku. Tubuhku yang kecil tidak kuasa untuk memberontak. Perasan asing mulai menjalari sekujur tubuhku seperti aliran listrik ketika kurasakan hisapan yang dilakukan Dante di salah satu sisi leherku. Kemudian setelah puas menjalari leherku dan aku sudah menangis. Bibir Dante kembali ke bibirku dan melumatnya tanpa ampun. Dia sedikit menggigit bibirku karena aku mengatupnya rapat-rapat. Lidahnya mulai masuk ketika mulutku terpaksa terbuka merasakan gigitannya. Membelitku tanpa ampun di dalam sana yang lama-lama mengirimkan perasaan menggelikan yang berkumpul di dalam perutku.
“Tidak mungkin ini ciuman pertamamu kan?” tanyanya dekat sekali ketika ciumannya terlepas.
Aku memandangnya penuh kebencian dengan air mata yang menjalar di pipi dan memenuhi pelupuk mata. Tapi dia terlihat tidak peduli. Karena selanjutnya dia malah mulai membuka kancing kemejaku satu persatu. Aku sudah berteriak-teriak sambil berusaha memberontak tapi ia tidak bergeming sedikit pun karena tenagaku kalah jauh darinya.
Kemudian dia mulai mengecupi bagian atas payudaraku dan aku kembali menangis, sudah tidak memberontak lagi karena tenagaku mulai habis. Bisa kulihat Dante tersenyum melihatku sudah pasrah. Dia kembali melumat bibirku, dan tangannya mulai meremas-remas benda kembar milikku. Mengirimkan semakin banyak perasaan aneh yang berpusat di perutku.
“Kenapa menangis, bukankah ini nikmat?” bisiknya sambil menyeringai. “Kamu bahkan menggambarkannya lebih panas dari ini kan di novelmu? Apakah aku harus mengikat tanganmu di ranjang agar tampak sama?” Bisiknya lagi. Aku memalingkan wajahku tidak ingin menatapnya tapi dia memaksa wajahku untuk menatapnya.
“Kamu harus membayar mahal atas apa yang kamu sebabkan Desita, dan akulah yang akan membuatmu membayarnya.” ancamnya dengan nada penuh dendam. Entah apa kesalahanku padanya.
Dia kembali mengecupi seluruh wajahku, kembali menberikan hisapan di leher di tempat lain dengan nyeri dan rasa yang sama. Kemudian menarik braku turun ke bawah dengan paksa dan melumat ujung payudaraku tanpa aba-aba. Berlama-lama mempermainkannya hingga membuat desahanku keluar tanpa diminta. Dia menatapku dengan senyuman menyebalkan, kemudian menggigit-gigit kecil benda kecil itu, untuk menciptakan perasaan aneh di sekujur tubuhku. Membuat tanda kemerahan banyak sekali di kedua payudaraku, membuat ujungnya tampak membengkak karena permainanya. Kemudian dia berhenti, mensejajarkan wajahnya denganku. Dan mengecup bibirku lama.
“Kamu tampak menikmatinya, Sayang? Mau aku lanjutkan?” bisik Dante sambil menampilkan senyuman penghinaan.
Aku otomatis menggeleng dan dia tertawa. Kemudian kembali meremas-remas payudaraku sedikit kencang. Terasa ngilu sekaligus geli. Percampuran anatara perasan itu yang membuatku sedikit mengaduh.
“Tubuhmu berkata lain, Sayang, dia menginginkannya.” Bisiknya lagi. Aku menggeleng semakin kuat dan dia semakin tertawa.
“Melihatmu tidak berdaya seperti ini ternyata menyenangkan. Gadis nakal sepertimu memang pantas mendapatkan hukuman seperti ini. Hukuman yang bisa kamu nikmati. Bukankah aku baik?” ucapnya semakin gila.
Aku kembali menggeleng, kepalaku pusing dan badanku lemas karena terlalu kuat memberontak tadi. Bibirku terasa sedikit kebas dan membengkak karena ulahnya tadi. Mungkin aku tidak akan sadarkan diri sebentar lagi jika dia melanjutkannya jadi aku memilih diam saja. Tapi dia malah berhenti, merapikan kembali bajuku. Masuk ke dalam lemari yang rupanya merupakan pintu terhubung sambil bersenandung.
Dante memang gila, dia orang gila!!