13 - Keinginan Criss.

1319 Words
Criss menutup pelan pintu kamarnya, lalu menyandarkan tubuhnya di daun pintu. "Lo udah terlambat, Criss. Evelyn udah melakukan aborsi." Kata-kata Naomi terus terngiang-ngiang dalam benak Criss, saat itulah Criss merasa dadanya sakit sekaligus sesak. Jenis rasa sakit yang baru pertama kali ini Criss rasakan. Criss tak pernah menyangka kalau kehilangan sesuatu yang belum pernah ia miliki rasanya akan semenyakitkan ini. "Di sini, rasanya sakit banget," gumam Criss sambil memukul-mukul dadanya yang terasa sesak sekaligus sakit. Awalnya Criss memukul pelan dadanya, tapi semakin lama pukulan yang ia lakukan semakin kuat. Namun sayangnya sekuat apapun pukulan yang ia berikan, rasa sakitnya tidak bisa menggantikan rasa sakit di hatinya. "Sakit banget," gumam Criss sambil meremas kuat dadanya. "Ke-kenapa? Kenapa lo harus menggugurkan anak kita, Evelyn?" lanjutnya dengan air mata yang kini sudah menggenang di kedua pelupuk matanya. Criss menyeka air matanya, dengan gontai melangkah mendekati tempat tidur. Langkah kedua kaki Criss tiba-tiba terhenti tepat di depan sebuah cermin besar yang terpasang di dinding. "Akh! Sial! Sial! Sial!" Umpat Criss sambil berkali-kali meninju cermin, sampai akhirnya cerminnya pecah, dan pecahan dari cermin tersebut juga melukai punggung tangan kanannya. Darah segar kini mengalir deras membasahi punggung tangan kanan Criss, namun Criss sama sekali tidak merasa kesakitan. Setelah puas melampiaskan amarahnya, Criss mendudukkan dirinya di pinggir tempat tidur, membiarkan darah segar dari punggung tangannya terus menetes ke lantai. 1 jam adalah waktu yang Criss habiskan untuk melamun, memikirkan tentang pembalasan seperti apa yang harus ia berikan pada Evelyn atas apa yang sudah Evelyn lakukan pada anak mereka. "Lebih baik gue pulang," gumam Criss sesaat setelah melihat jam dipergelangan tangannya. Criss beranjak bangun dari duduknya, lalu keluar dari kamar. "Bi." Panggilan dari Criss mengejutkan seorang pelayan bernama Narti yang saat ini tengah merapikan bunga di dekat lift. Narti lantas menghampiri Criss. "Iya, Den, ada apa?" "Tolong bersihkan kamar saya ya, Bi." "Baik, Den." "Tapi tolong hati-hati karena ada banyak pecahan belingnya." "Iya, Den." Setelah mengucap terima kasih, Criss melanjutkan langkahnya, begitu juga Bi Narti yang langsung pergi menuju kamar Criss. Suara dari lift yang baru saja terbuka berhasil menarik perhatian Diana. Diana menoleh ke samping untuk melihat siapa yang datang. "Criss," sapanya sambil tersenyum lebar. Namun senyum di wajah Diana tak berlangsung lama. Senyum di wajah Diana pudar saat melihat tangan kanan Criss penuh luka, bahkan kini masih mengeluarkan darah segar. Diana bergegas menghampiri Criss. "Criss, tangan kamu kenapa?" Criss menjauhkan tangannya jadi Diana tidak berhasil melihat luka yang kini terdapat di punggung tangannya. "Luka, kena cermin." Criss menjawab singkat pertanyaan Diana. "Tangannya diobati dulu ya, biar gak infeksi." Menurut Diana, luka yang terdapat di punggung tangan kanan Criss sangat parah, jadi Diana khawatir kalau luka tersebut tidak segera diobati, tangan Criss akan terkena infeksi. "Gak usah, nanti juga sembuh." Dengan halus, Criss menolak saran Diana. "Ta–" "Bunda, Criss baik-baik aja, ok." Criss memotong ucapan Diana yang belum selesai. "Ya sudah kalau kamu memang gak mau diobati." Diana mengalah. Diana tidak akan memaksa Criss jika memang Criss tidak mau mengobati luka di tangannya. "Kamu mau ke mana? Ini udah malem loh?" "Criss mau pulang." Kata pulang yang Criss ucapkan tentu saja mengejutkan Diana. "Kamu gak mau nginep di sini?" tanyanya dengan raut wajah yang kini berubah sendu. Criss menggeleng. "Lain kali aja." "Ya udah kalau memang kamu mau pulang, hati-hati ya, Nak." Lagi-lagi Diana hanya bisa pasrah. Diana tak mencoba untuk menahan kepergian Criss karena tahu kalau Criss pasti menolak untuk tinggal, meskipun sebenarnya jauh dari dalam lubuk hatinya yang terdalam Diana ingin sekali menahan kepergian Criss. "Iya." Criss menanggapi singkat ucapan Diana. "Kamu gak mau pamit dulu sama Ayah?" Diana hanya basa-basi karena sebenarnya Diana sudah tahu apa jawaban Criss. "Gak, Ayah pasti lagi istirahat." Secara halus, Criss menolak untuk pamit pada Raka. Criss pun pamit undur diri. Diana tahu kalau Criss tidak mau ia antar, jadi Diana membiarkan Criss berlalu pergi dari hadapannya. Diana menatap sendu kepergian Criss. Diana mengangkat wajahnya, menyeka sudut matanya yang sudah dipenuhi oleh linangan air mata. Kedatangan Criss beberapa jam yang lalu membuat Diana luar biasa bahagia, dan kepergian Criss barusan membuat Diana sangat sedih. Sejak kedatangan Criss beberapa saat yang lalu, Diana memiliki ketakutan. Diana takut kalau Criss akan pamit pulang, dan ternyata sekarang apa apa yang Diana takutkan malah benar-benar terjadi. Ibu mana yang tidak sedih ketika anak sendiri merasa tak nyaman berada di tempat yang di sebut sebagai rumah. Tempat yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman, nyatanya menjadi tempat yang sangat Criss benci. Sebenarnya tanpa Diana dan Criss sadari, sejak tadi Raka bersembunyi di balik tembok. Bisa dikatakan jika tadi Raka dan Criss datang di saat yang bersamaan. Raka mengurungkan niatnya untuk menghampiri Diana begitu melihat kedatangan Criss. Raka menghampiri Diana yang kini sedang menangis. Pelukan hangat dari Raka mengejutkan Diana. Diana membalas erat pelukan Raka. "Criss pergi, Yah," bisiknya disela tangisannya. "Ayah tahu," balas lirih Raka sambil menghela nafas panjang. "Apa yang harus Bunda lakukan supaya Criss mau tinggal lagi bersama kita, Yah?" Raka tidak menjawab pertanyaan Diana, karena Raka memang tidak tahu, jawaban apa yang harus ia berikan pada Diana. Sampai saat ini, Raka juga masih mencari jawaban dari pertanyaan tersebut, apa yang harus ia lakukan supaya Criss mau tinggal lagi bersama dirinya dan Diana? Begitu sudah memasuki mobil, Criss menghubungi Satria. Tak berselang lama kemudian, Satria mengangkat panggilannya. "Halo, Tuan." "Bagaimana? Apa kamu sudah mendapatkan informasi tentang di mana Evelyn akan tinggal selama dia menetap di London?" Criss sudah tidak sabar, ingin segera tahu tentang tempat tinggal Evelyn. "Saya baru saja akan menghubungi Anda untuk melaporkan di mana tempat tinggal Evelyn selama dia menetap di London." "Jadi ... di mana tempat tinggal Evelyn?" Criss semakin terdengar tidak sabaran. "Selama di London, Evelyn akan tinggal di mansion Tuan Liam, Tuan." "Evelyn akan tinggal di mansion milik Omnya?" Criss sudah tahu kalau Liam adalah Omnya Evelyn dari Naomi. "Iya, Tuan. Informasi yang saya dapat seperti itu." "s**t!" Criss mengumpat sambil memukul setir mobil. Criss kesal karena Evelyn akan tinggal bersama Liam, padahal Criss berharap kalau Evelyn akan tinggal sendiri, entah itu di apartemen atau di tempat lainnya supaya ia bisa dengan mudah menemui Evelyn atau memberi wanita itu pelajaran. Umpatan Criss mengejutkan Satria. Criss bersandar di kursi dengan mata terpejam. "Apa informasinya benar-benar akurat, Sat?" "Kemungkinan Evelyn tinggal sendiri di apartemen itu sangat kecil, Tuan." "Kamu bener, kemungkinannya sangat kecil," balas lirih Criss. Setelah tahu latar belakang keluarga Evelyn, Criss sadar kalau kemungkinan Evelyn untuk tinggal sendiri di apartemen itu sangat kecil, apalagi Evelyn adalah anak perempuan satu-satunya, jadi pasti orang tuanya akan menempatkannya di tempat yang menurut mereka paling aman. "Lalu apa yang selanjutnya harus saya lakukan, Tuan?" "Tolong kamu atur jadwal supaya saya bisa pergi ke London untuk menemui Evelyn." Criss tahu kalau jadwalnya untuk 1 minggu ke depan sudah penuh, karena itulah mungkin ia baru bisa menemui Evelyn minggu depan. Permintaan Criss mengejutkan Satria. Satria pikir, Criss akan mengurungkan niatnya untuk pergi menemui Evelyn begitu tahu kalau Evelyn tidak tinggal sendiri, namun tinggal bersama Liam. "Apa Anda yakin ingin pergi menemui Evelyn, Tuan?" Satria tahu kalau pikiran Criss saat ini sangat kacau balau, jadi Satria berpikir jika Criss mengambil keputusan tanpa memikirkan matang-matang resiko yang nanti akan timbul. "Saya yakin, Satria. Saya tidak akan bisa tenang sebelum bertemu langsung dengan Evelyn." Criss menjawab tegas pertanyaan Satria. "Kalau begitu saya akan segera mengatur jadwal Anda, Tuan." Setelah mendengar jawaban Criss, Satria tahu kalau keputusan Criss untuk menemui Evelyn sudah tidak bisa lagi diganggu gugat. "Tapi jadwal Anda untuk 1 minggu ke depan sudah padat, dan sudah tidak bisa dirubah, jadi Anda tidak mungkin bisa menemuinya minggu ini, Tuan." "Saya tahu, dan itu sama sekali bukan masalah," balas lirih Criss. "Yang terpenting, saya bisa menemui Evelyn, entah itu minggu depan, atau bulan depan, saya gak mau tahu." "Baik, saya akan mengatur jadwal supaya Anda bisa segera menemui Evelyn." Sekarang Satria hanya bisa berdoa, semoga nanti, jika Criss dan Evelyn benar-benar bertemu, maka pertemuan keduanya berjalan lancar dan tidak akan menimbulkan masalah baru.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD