Hari ini adalah hari kerja, namun lalu lintas siang ini tampak lengang, membuat Evelyn jadi bisa melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"Eve, jangan ngebut-ngebut!" Untuk kesekian kalinya Siena memberi Evelyn peringatan yang sayangnya lagi-lagi Evelyn abaikan. Siena memejamkan matanya, lalu mulai berdoa, semoga ia dan Evelyn sampai tujuan dalam keadaan selamat.
Hanya butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai di apartemen tempat Liam tinggal.
Sekarang Siena akhirnya bisa bernafas lega. Lega karena selamat sampai tujuan tanpa mengalami luka sedikit pun.
"Eve, itu mobil Liam, kan?" Siena menunjuk ke arah mobil sedan hitam yang terparkir tak jauh dari lift.
Evelyn mengangguk pelan. "Iya, itu mobil Liam."
"Dia ke Bandung naik apa?"
"Dia bilang sama gue kalau dia mau naik kereta, dan setahu gue, mobilnya memang akan selalu dia tinggal."
"Coba lihat foto yang tadi, terus lo bandingin, apa 2 mobil yang di samping mobil Liam sekarang juga ada di dalam foto?" Saat ini, di samping kanan mobil Liam ada mobil sedan berwarna putih, lalu di samping mobil tersebut ada mobil sport berwarna merah. Siena ingin tahu, apa kedua mobil tersebut ada dalam foto yang beberapa menit lalu Evelyn terima? Atau justru tidak ada? Jika tidak ada, bisa jadi foto yang beberapa saat lalu Evelyn terima adalah foto yang sudah diambil sejak lama, atau mungkin foto hasil editan, tapi jika sebaliknya, itu artinya foto tersebut diambil beberapa saat yang lalu.
Dengan tangan yang masih bergetar, Evelyn meraih ponselnya, lalu membuka pesan yang beberapa menit lalu ia terima. Evelyn mulai membandingkan foto yang ada di layar ponselnya dengan mobil yang kini ada di samping mobil sang kekasih.
"Gimana? Ada atau enggak?" Siena terdengar sekali tidak sabaran.
Evelyn tidak menjawab pertanyaan Siena.
Siena tidak lagi bertanya, tapi langsung mengambil ponsel Evelyn, dan mulai membandingkannya. Siena mengumpat ketika melihat gambar yang ada dalam foto sama dengan apa yang saat ini ia lihat. Itu artinya, foto tersebut baru saja diambil beberapa saat yang lalu.
Perasaan Evelyn saat ini benar-benar tak karuan. Awalnya Evelyn yakin jika saat ini Liam memang sedang dalam perjalanan menuju Bandung, tapi kini keyakinan tersebut mulai goyah.
Siena tahu kalau pikiran sang sahabat saat ini sedang berantakan, karena itulah Siena tak banyak bicara. Evelyn dan Siena lantas memasuki lift yang akan membawa mereka naik ke lantai 15, lantai di mana unit apartemen Liam berada. Tak sampai 1 menit kemudian, keduanya sampai di lantai 15. Siena terlebih dahulu keluar dari lift, diikuti Evelyn yang kini berjalan tepat di belakangnya. Sekarang keduanya sudah berdiri di depan unit apartemen milik Liam.
Siena melirik Evelyn. "Lo pasti tahu kan apa paswordnya?"
Dengan ragu, Evelyn mengangguk. "Iya, gue tahu."
"Ya udah, sekarang lo buka pintunya," ucap Siena tak sabaran.
Evelyn melirik Siena. "Sie, gue ta-takut," bisiknya terbata.
"Gue tahu kalau lo takut, dan asal lo tahu, gue juga takut. Takut kalau apa yang saat ini kita berdua takutkan benar-benar terjadi." Siena sama takutnya dengan Evelyn. "Tapi kita harus masuk untuk memastikan semuanya, Eve," lanjutnya sambil mengusap lembut bahu sang sahabat.
"Lo benar, gue harus memastikan semuanya," gumam Evelyn. Dengan tangan yang masih bergetar, Evelyn mulai menekan setiap angka yang ada di hadapanya dan tak lama kemudian pintu apartemen akhirnya terbuka.
Siena mempersilakan Evelyn untuk terlebih dahulu memasuki apartemen Liam. Evelyn menarik dalam nafasnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Evelyn membuka lebar pintu, tubuhnya langsung terasa lemas tak bertenaga begitu melihat ada banyak sekali pakaian yang berserakan di lantai. Bukan hanya pakaian, tapi ada juga sepatu, heals berwarna merah, dan juga tas. Untuk sesaat Evelyn terdiam, saat itulah otaknya langsung mencocokan pakaian yang saat ini ia lihat berserakan di lantai dengan pakaian yang ia lihat di foto tadi. "Se-semuanya sa-sama," lirihnya terbata-bata.
"Sial!" Siena dengan sigap langsung menahan tubuh lemas Evelyn supaya Evelyn tidak jatuh ke lantai.
"Pakaian itu milik Li-liam, Sie." Dengan tangan bergetar, Evelyn menunjuk ke arah pakaian milik Liam yang berserakan di dekat sofa.
Tak lama kemudian, Siena dan Evelyn mendengar suara, suara yang sama sekali tidak ingin keduanya dengar, terutama Evelyn. Suara yang keduanya dengar adalah suara desahan dari seorang pria dan juga wanita yang pastinya kini sedang berhubungan badan.
"Itu su-suara Li-liam, Sie." Meskipun yang baru saja Evelyn dengar hanya suara desahan, tapi Evelyn tahu jika itu adalah suara Liam, kekasihnya.
"Iya, itu emang suara si b******k Liam!"
Evelyn memejamkan matanya, lalu menutup kedua telinganya menggunakan telapak tangannya. Evelyn tidak mau lagi mendengar suara desahan Liam dan wanita tersebut. Namun sayangnya, Evelyn kini malah mendengar pembicaraan antara Liam dan si wanita.
"Liam, lebih cepat lagi," ucap manja si wanita ditengah desahannya.
"Masih kurang?" tanya Liam disela deru nafasnya yang tersengal-sengal.
"Iya, Liam, please." Wanita tersebut menjawab manja pertanyaan Liam.
Liam mengumpat, tapi tak menolak permintaan dari sang wanita. "Segini, Sayang?"
"Iya, Liam. Aahh...." Sang wanita terus mendesah sambil menyebut nama Liam, bahkan memuji Liam yang kini sedang menggaulinya dengan gagah perkasa.
Tanpa bisa Evelyn cegah, air mata yang sejak tadi menggenang di setiap pelupuk matanya kini mengalir deras membasahi wajahnya. Evelyn meremas kuat dadanya yang kini terasa sesak sekaligus sakit sampai-sampai membuatnya sulit bernafas. "Di sini, ra-rasanya sakit banget, Siena," lirihnya sambil memukul-mukul dadanya.
"Gue tahu, gue tahu, Eve," balas lirih Siena sambil memeluk erat sang sahabat yang kini sudah menangis tersedu-sedu.
"Udah, jangan nangis lagi ya," bisik Siena sambil melerai pelukannya, lalu merangkum wajah Evelyn. Siena menyeka air mata yang sudah membasahi wajah sang sahabat menggunakan ibu jemari kedua tangannya.
"Di sini, ra-rasanya sakit banget, Siena," lirih Evelyn sambil terus memukul-mukul dadanya, berharap pukulan yang ia berikan bisa sedikit menghilangkan rasa sakit yang kini ia rasakan.
"Gue tahu, rasanya pasti sakit banget," balas lirih Siena. "Sekarang lo tunggu di sini ya, biar gue yang labrak pria sialan itu!" Tanpa menunggu tanggapan dari Evelyn, Siena berdiri, lalu mendekati meja, meraih pas bunga yang ada di meja.
Ternyata pintu kamar tidak dalam keadaan tertutup rapat, jadi Siena bisa melihat apa yang saat ini terjadi di dalam kamar. Saat ini Liam sedang sibuk memaju mundurkan pinggulnya, memberi kepuasan pada wanita yang wajahnya tidak bisa Siena lihat jelas karena terhalang oleh tangan Liam.
"Dasar pria b******k! b******n lo!" Teriak Siena sambil melemparkan pas bunga dalam genggaman tangannya ke arah Liam. Sayangnya lemparan yang Siena lakukan tidak mengenai Liam, tapi mengenai tembok.
Teriakan Siena juga pecahan dari pas bunga mengejutkan Liam juga wanita yang kini berada di bawah Liam. Kegiatan keduanya langsung terhenti. Kini suara desahan penuh kenikmatan yang sebelumnya Evelyn dan Siena dengar akhirnya hilang.
Dengan cepat, Liam dan wanita yang kini terbaring terlentang di bawah Liam menoleh ke arah pintu.
Dalam sekejap, ekspresi wajah Liam berubah. Liam jelas shock, panik, sekaligus juga takut. "Si-siena," ucapnya terbata.
Siena berdecih, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain, enggan menatap Liam yang tampil bugil.
Seolah sadar dengan apa yang sedang terjadi, cepat-cepat Liam meraih selimut yang ada di sampingnya, lalu menggunakan selimut tersebut untuk menutupi tubuh telanjangnya, begitu juga dengan wanita di bawahnya.
Siena mendekati Liam, lalu menendang Liam sampai akhirnya Liam jatuh tersungkur ke lantai. Liam tidak bisa menghindar karena ketika Siena menendangnya, ia sedang sibuk menutupi tubuhnya. Begitu Liam terjatuh, akhirnya Siena bisa melihat siapa wanita yang kini terbaring di atas tempat tidur