16 - Fakta yang terkuak.

1592 Words
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 15 menit, Liam dan Evelyn akhirnya sampai di mansion. "Sebaiknya kamu istirahat, Eve." "Iya, Om." Liam dan Evelyn berpisah. Liam pergi menuju ruang kerjanya, sedangkan Evelyn pergi menuju kamarnya. Evelyn menutup pelan pintu kamar, dan tak lupa untuk menguncinya. Dengan langkah gontai, Evelyn mendekati cermin besar yang menempel di dinding, tepat di samping kanan tempat tidurnya. Evelyn berdiri di depan cermin. Secara perlahan, Evelyn menyibak rambut panjangnya yang tergerai. Evelyn meringis saat melihat lehernya yang memerah, dan bekas telapak tangan Criss terlihat jelas di lehernya. Ponsel milik Evelyn yang masih berada dalam tas berdering. Evelyn mendekati meja, lalu meraih ponselnya. "Halo, Mah," sapanya sesaat setelah mengangkat panggilan dari Sonia. "Hai, Sayang." Sonia membalas penuh semangat sapaan sang putri. Pembicaraan antara Sonia dan Evelyn berlangsung selama hampir 15 menit. Setelah itu, Evelyn memutuskan untuk berendam air hangat. Evelyn harap, setelah berendam pikiran juga perasaannya menjadi sedikit lebih baik. Kurang lebih 1 jam waktu yang Evelyn habiskan untuk berendam. Saat ini Evelyn berada di dalam walk in closet. Evelyn baru saja selesai berpakaian. "Gue gak nafsu makan, tapi gue harus makan." Selera makan Evelyn sudah hilang, tapi Evelyn tahu kalau ia harus tetap makan meskipun sudah tidak lagi berselera. Evelyn keluar dari kamar, lalu pergi menuju ruang makan. Kedatangan Evelyn tentu saja mengejutkan Liam yang juga baru saja duduk. Liam pikir Evelyn akan absen untuk makan malam. "Om." Evelyn terlebih dulu menyapa Liam. "Eve," balas Liam. "Om pikir kamu gak mau makan malam." "Laper, Om," balas Evelyn yang kini sudah duduk di hadapan Liam. "Ya udah, ayo kita makan." Evelyn mengangguk. "Ini spagetinya, Nona." Tadi pagi Evelyn sudah memberi tahu koki, makanan apa yang ia inginkan untuk makan malam hari ini, dan Evelyn memesan spaghetti. Liam yang sejak tadi menunduk, fokus menikmati makanannya lantas mendongak. "Spaghetti?" Ulang Liam dalam hati. "Sejak kapan Evelyn suka makan spaghetti?" lanjutnya dengan raut wajah bingung. "Kamu makan spaghetti?" Setahu Liam, Evelyn tidak menyukai spaghetti, jadi saat tahu kalau keponakannya tersebut memilih spaghetti sebagai menu makan malamnya, Liam tentu saja terkejut sekaligus juga bingung. "Iya, Om mau?" Liam menggeleng. "Sejak kapan kamu suka makan spaghetti?" "Sejak 1 tahun yang lalu." "Oh, sejak 1 tahun yang lalu," gumam Liam sambil mengangguk-anggukan kepalanya. "Iya." "Apa itu artinya sekarang kamu juga suka makan keju?" Evelyn bukan hanya tidak menyukai spaghetti, tapi juga tidak menyukai keju, tapi karena sekarang Evelyn menyukai spaghetti, bukankah itu artinya Evelyn juga menyukai keju? "Suka banget, Om." Evelyn menjawab antusias pertanyaan Liam. "Ternyata keju itu enak," lanjutnya sambil tersenyum lebar. Liam terkekeh. "Kan dulu Om juga sering bilang kalau keju itu enak." Setelah makan malam, Liam dan Evelyn yang merasa sangat lelah setelah seharian bekerja memutuskan kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat. *** Liam sedang mengancingkan jasnya ketika ponselnya berdering sebagai pertanda jika ada panggilan masuk. Liam mendekati nakas, lalu mengangkat panggilan dari asisten pribadinya, David. "Bagaimana, Dav? Apa kamu sudah mendapatkan informasi tentang Criss?" "Sudah, Tuan." "Bagus, kalau begitu, 20 menit lagi kita bertemu di kantor." "Baik, Tuan." Liam keluar dari kamar, lalu pergi menuju ruang makan untuk sarapan terlebih dulu. Liam baru saja duduk di kursinya ketika Evelyn memasuki ruang makan. "Selamat pagi, Om." "Pagi, Eve," balas Liam tanpa melihat Evelyn. "Terima kasih," ucap Evelyn pada pelayan yang baru saja menarikkan sebuah kursi untuknya. "Sama-sama, Non," balas sang pelayan. "Eve, kamu sakit? Wajah kamu pucat." Liam mengamati secara seksama wajah sang keponakan, dan Liam 100% yakin kalau ia tidak salah lihat, wajah Evelyn memang pucat. "Kepala Evelyn pusing, Om," balas lirih Evelyn sambil tersenyum tipis. "Kalau begitu, sebaiknya hari ini kamu gak usah pergi ke kantor. Kamu istirahat aja, biar cepat sembuh." Liam tidak mau kondisi Evelyn semakin memburuk, jadi ia meminta sang keponakan untuk istirahat, dan tidak pergi bekerja. "Iya, Om." Evelyn tidak menolak saran Liam karena Evelyn sadar kalau kondisinya saat ini sangat lemah. "Nanti Om panggilkan Dokter untuk memeriksa kondisi kamu ya." "Eh, gak usah, Om." Dengan cepat, Evelyn memberi penolakan. "Eve, Om gak mau ya kalau kondisi kamu semakin memburuk." Liam tetap kekeh pada pendiriannya. "Om, nanti setelah minum obat, kondisi Evelyn pasti akan membaik, jadi Om gak perlu manggil dokter." Dengan halus, Evelyn kembali memberi penolakan. "Ya udah kalau itu memang maunya kamu." Liam akhirnya mengalah. Tidak adanya lagi paksaan dari Liam membuat perasaan Evelyn seketika berubah menjadi lega. "Terima kasih, Om," ucapnya. "Sama-sama, tapi kalau sampai nanti malam kondisi kamu belum juga membaik, Om akan memanggil Dokter untuk memeriksa kondisi kamu." "Iya, Om." Kali ini Evelyn tidak memberi penolakan. Sarapan pun di mulai. Evelyn baru saja akan menikmati hidangan penutup ketika rasa mual muncul. "Kamu mau ke mana, Eve?" Liam menatap bingung Evelyn yang baru saja berdiri dari duduknya. "Toilet, Om." Evelyn menjawab singkat pertanyaan Liam, setelah itu bergegas pergi menuju toilet yang ada di dapur. "Nona Evelyn!" Teriakan histeris dari seorang pelayan wanita mengejutkan Liam juga para pelayan yang stand by di ruang makan. Liam dan para pelayan bergegas menuju dapur untuk mencari tahu, apa yang terjadi. "Ada apa, Mirna?" tanya Liam begitu sudah memasuki dapur. Mirna menoleh ke arah Liam. "Tuan Liam, Nona Evelyn pingsan," jawabnya sambil menunjuk ke arah Evelyn yang kini tergeletak tak berdaya di hadapannya. Liam terkejut, dan langsung berlari menghampiri Evelyn. "Mir, tolong hubungi Dokter Celine, minta dia untuk datang ke sini." "Baik, Tuan," jawab Mirna. Liam lalu menggendong Evelyn, membawa sang keponakan ke kamarnya, diikuti oleh beberapa pelayan. "Tuan, saya sudah menghubungi Dokter Celine," ucap Mirna yang baru saja memasuki kamar Evelyn. "Ok, terima kasih," balas Liam dengan fokus yang masih tertuju pada Evelyn. Tak sampai 15 menit kemudian, Dokter Celine datang. "Selamat siang, Mirna." Celine terlebih dahulu menyapa Mirna yang baru saja menyambut kedatangannya. "Siang, Dok." "Liam sakit?" "Tuan Liam baik-baik aja, Dok." Jawaban Mirna membuat bingung Celine. Jika bukan Liam yang sakit, lalu siapa? "Terus siapa yang sakit?" "Nona Evelyn." "Evelyn? Siapa Evelyn?" Celine tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya tentang siapa wanita yang Mirna maksud. Mirna baru saja akan menjawab pertanyaan Celine ketika Liam mengintrupsi, meminta Celine untung segera naik ke lantai 2. "Tolong periksa dia," ucap Liam sambil menunjuk ke arah Evelyn menggunakan dagunya. Celine tidak membalas ucapan Liam, tapi langsung memeriksa kondisi Evelyn secara seksama. "Ada apa?" Liam menatap bingung Celine yang kini memasang raut wajah tak bersahabat. "Kita bicara di luar," jawab Celine sambil membereskan peralatannya. Liam mengangguk, dan memutuskan untuk keluar dari kamar Evelyn, meninggalkan Celine yang kini sedang berbicara dengan Mirna. Celine sedang memberi tahu Mirna tentang obat-obatan yang nantinya harus Evelyn minum. "Dia siapa?" Liam berbalik menghadap Celine yang baru saja keluar dari kamar Evelyn. "Namanya Evelyn." "Kamu pasti tahu apa maksud sebenarnya dari pertanyaan aku barusan, Liam." Celine terus melangkah mendekati Liam. "Jadi ... Evelyn sakit apa?" Liam mengabaikan ucapan Celine, dan memilih untuk bertanya tentang kondisi sang keponakan. "Apa hubungan kalian berdua?" Celine malah balik bertanya tanpa terlebih dulu menjawab pertanyaan Liam. Liam berdecak, kesal karena Celine tidak mau menjawab pertanyaannya dan malah balik bertanya. Celine tidak mau membuat Liam semakin marah padanya, jadi Celine segera memberi tahu Liam tentang kondisi Evelyn. Penjelasan Celine tentang Evelyn mengejutkan Liam. Liam benar-benar shock, saking shocknya, pria tersebut bahkan sampai tak bisa berkata-kata. "Sekarang kamu jawab pertanyaan aku, siapa Evelyn?" Celine bersedekap, dan kini menatap tajam Liam. "Dia keponakan aku, Celine." Celine tidak menanggapi jawaban Liam, namun kini menatap Liam dengan mata memicing penuh curiga. "Kenapa? Kamu gak percaya sama jawaban aku?" Dengan cepat, Celine mengangguk. "Iya, aku gak percaya sama jawaban kamu." "Ya udah kalau kamu gak percaya." Liam membalas santai ucapan Celine. "Kamu mau percaya atau enggak, itu bukan urusan aku, yang penting aku udah kasih tahu kamu kalau Evelyn itu keponakan aku," lanjutnya sambil bersedekap. Celine merenggut. "Kira-kira, kapan Evelyn akan sadar?" Setelah mendengar penjelasan Celine tentang kondisi Evelyn, ada banyak sekali pertanyaan yang ingin Liam ajukan pada Evelyn, karena itulah Liam tak sabar, ingin segera tahu kapan sang keponakan akan sadar. "Sebentar lagi juga dia sadar kok." "Ok, terima kasih." Setelah mengucap terima kasih, Liam memasuki kamar Evelyn, meninggalkan Celine sendiri. "Dasar pria menyebalkan," gerutu Celine dengan raut wajah masam. Celine ingin sekali menyusul Liam, tapi tak bisa karena ia harus segera pergi ke rumah sakit untuk bekerja. Ucapan Celine terbukti benar. Liam baru saja memasuki kamar Evelyn saat akhirnya sang keponakan sadar. Melalui isyarat mata, Liam meminta para pelayan untuk keluar dari kamar Evelyn, menyisakan dirinya dan sang keponakan. "Tadi kamu pingsan." Sebelum Evelyn bertanya, Liam sudah terlebih dahulu memberi tahu sang keponakan tentang apa yang terjadi. "Pi-pingsan?" Ulang Evelyn terbata. "Iya, tadi kamu pingsan." Evelyn langsung menatap jam yang ada di nakas, meneguk kasar ludahnya saat tahu kalau hampir 30 menit sudah berlalu sejak ia tak sadarkan diri. Pertanyaannya sekarang adalah, apa saja yang sudah terjadi selama ia tak sadarkan diri? "Om sudah memanggil Dokter untuk memeriksa kondisi kamu, dan Dokternya baru aja pergi." Liam mengamati secara seksama ekspresi wajah Evelyn, dan Liam bisa melihat betapa terkejutnya Evelyn setelah mendengar pertanyaannya. "Do-dokter," ucap Evelyn terbata. "Iya, Dokter Celina baru aja pergi." Liam lantas duduk di sofa yang menghadap langsung ke arah Evelyn. "Sial! Kenapa gue harus pingsan segala sih?" Umpat Evelyn dalam hati. "Jadi ... siapa orangnya?" tanya Liam dengan penuh ketenangan. Pertanyaan Liam mengejutkan Evelyn, membuat sekujur tubuhnya menegang, bahkan kini jantungnya berdetak menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Bukannya menjawab pertanyaan Liam, Evelyn malah menunduk, menatap kedua tangannya yang kini bergetar hebat dan mulai mengeluarkan keringat. "Apa pria itu Criss?" Liam menatap lekat sang keponakan, dan begitu melihat reaksi Evelyn setelah mendengar pertanyaannya, Liam tahu kalau pria tersebut memang Criss. Sekarang Liam akhirnya tahu apa penyebab semalam Criss dan Evelyn bertengkar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD