Kesepakatan

1586 Words
"Sampai kapan pun kamu tidak akan menemukan cinta jika hatimu penuh dengan kebencian" *** "Peluk ?" "HAH ?" "Boleh ?" Azura menganga merasa aneh mendengar ucapan dari pemuda dingin di hadapannya itu. Azura menegak saat pemuda itu perlahan mendekat dan langsung memeluk erat gadis itu. Maliq menghela nafas panjang merasa tenang begitu saja, saat mamanya masih hidup jika ia sedang cemas dan marah. Maka sebuah pelukan hangatlah yang akan membuat pemuda itu tenang. Azura tersadar lalu mendorong pelan tubuh tegap Maliq agar menjauh darinya membuat pemuda itu mau tidak mau melepaskan pelukannya. "Ja-jangan meluk kak, gue takutnya Azzam bisa muncul saat ini juga." Ujarnya sembari menoleh pada gerbang di depan sana, takutnya Azzam tiba-tiba muncul. Maliq sontak menggeser tubuhnya merasa bodoh seketika, "Maaf." Ujarnya membuat Azura mendongak kecil menatap pemuda itu yang kini sudah beranjak dari tempat duduknya. "Masuk," Azura menautkan alis sembari menggeleng, "Larut." Tambahnya lagi sembari melangkah masuk membuat Azura mau tidak mau ikut melangkah masuk juga. Pemuda itu menuntun Azura ke arah salah satu kamar yang jarang mereka pakai, gadis itu mengerjap pelan merasa tidak enak harus nginap disana. Apalagi Maliq orang yang baru ia kenal dan notabennya menyeramkan di mata gadis itu. "Makasih kak," ujar gadis itu sembari menutup pintu kamarnya, Maliq hanya menghela nafas sembari melangkah menjauh dari pintu dan melesat masuk ke kamarnya sendiri. Azura di dalam sana meringis kecil merasa aneh dengan perlakuan Maliq yang tiba-tiba tadi. Pemuda itu bukannya sengaja ataupun modus dan sebagainya, tapi memang ia lagi dalam keterpurukan. Jadi wajar saja ia menginginkan sebuah pelukan, tapi anehnya kenapa harus Azura ? Gadis itu tersadar dari lamunannya saat ponselnya bergetar, ada pesan masuk dan Azura tidak mengenali momornya. +6282334576xxx : Ehm Azura : ? 6282334576xxx : Hei 6282334576xxx : Hei tayo hei tayo ! Dia bis kecil ramah, melaju melambat tayo selalu ramai 6282334576xxx : eh benar gak sih liriknya ? Azura : gak jelas 6282334576xxx : HEHE Azura : ini siapa ? 6282334576xxx : Ini jo :) Azura : Jonathan ? Joko ? Joni ? Jo siapa ? 6282334576xxx : Bukan, coba tebak lagi Azura menghela kasar, merasa kesal begitu saja. 6282334576xxx : Ini jo elah Azura : Jo siapa ? Gue gampar juga lama2 6282334576xxx : Jodohmu Azura langsung tersedak salivanya sendiri, sudah tahu siapa pemilik nomor baru tersebut. Azura  : Gak tidur, Al ? Udah malam 6282334576xxx : Belum dapat ucapan selamat malam dari orang tercinta HEHE 6282334576xxx : Gue ngerasa ganteng kalo typing HEHE Azura : Serah, gue lagi di rumahnya kak Maliq Azura : Gue gak bisa tidur Azura : gue rada takut Read Azura mengernyit bingung karena Alvaro hanya membaca pesan-pesannya, "Apa dia udah tidur yah ?" Gumamnya bermonolog sendiri, gadis itu pun meraih bantal dan mencoba memejamkan mata berharap bisa terlelap begitu saja. Ia melirik jam dinding yang tertera jam 22.45 disana, Azura mendesah kasar lalu bangkit dari kasurnya merasa tidak bisa tidur. Gadis itu terlihat memainkan bibirnya merasa bosan berada disana, entah apa yang akan terjadi malam ini yang pasti dirinya tidak bisa tidur. "AZURA !" Teriakan dari luar gerbang membuat gadis itu tersentak sendiri di dalam kamar, ia langsung berjalan mendekat pada jendela dan menyingkap hordeng melihat Alvaro sudah berdiri di depan gerbang sembari sesekali meloncat kecil. "Ngapain tuh anak malam-malam kesini ?" Gumamnya lalu menutup kembali hordeng. Azura sontak berjalan cepat sembari melangkah keluar, ia mengerjap melihat Maliq juga hendak keluar dari kamarnya. "Itu kak, ada teman saya di depan." Cicitnya takut membuat pemuda di hadapannya menautkan alis lalu melangkah duluan diikuti Azura yang mengekorinya. Diluar Alvaro berdiri sembari menggerutu kesal karena mendapat serangan dari para nyawuk yang tidak tahu diri. Yang sudah berani menghisap darahnya tanpa izin terlebih dahulu. "Kenapa malam-malam kesini ?" Ujar Azura sembari membuka gerbang, Maliq hanya terdiam sembari menatap keduanya. Gerbang pun terbuka membuat Alvaro langsung menarik lengan gadis itu, "Sekarang kita pulang," tuturnya tak terbantahlan. "Lo kesini cuma mau jemput gue ?" Tanya Azura masih dengan kening mengkerut, "Terus apa, buruan naik !" Ketusnya membuat gadis itu mengerjap sembari menjatuhkan pandangannya pada Maliq yang hanya menatap datar kearah keduanya. "Gue pamit kak, makasih sebelumnya." Ujarnya lalu mendudukan diri pada jok belakang motor milik Alvaro. Alvaro sekilas melirik kearah Maliq lalu perlahan melajukan motornya ke arah jalanan yang sepi. Keduanya melesat jauh dari rumah pemuda berahang  tajam itu. Tidak ada obrolan diantara keduanya, Alvaro masih sibuk berkendara dengan perasaan kesal setengah mati. "Al !" Panggil Azura sembari mendekatkan wajahnya pada bahu pemuda itu, "Jangan ngebut, gue kedinginan." Alvaro berdecak lirih lalu memperlambat laju motornya sembari menghela nafas kasar. "Kak Maliq kok kayak aneh yah," "Emang dia selalu aneh kan," balas Alvaro masih ketus, Azura menggeleng tiga kali. "Bukan, kali ini lebih aneh. Tadi di rumahnya kan ada kejadian kecil gitu, terus dia duduk sendiri di depan rumahnya karena kasian gue deketin, eh dia tiba-tiba meluk gue." Sontak Alvaro merem motornya mendadak membuat kepala Azura terbentur dengan helmnya. "Aduh, lo bisa bawa motor gak sih !" Omelnya sembari mengelus kepalanya yang berdenyut nyeri. Alvaro menoleh ke belakang sembari membuka kaca helmnya. "Lo sendiri bisa gak ngejaga diri ? Kenapa bisa-bisanya ngeizinin orang lain buat meluk lo ?" Azura tergagap sembari mengerjap menatap pemuda itu yang masih mengomelinya. "Lo belum kenal dia, kan ? Dia itu orang asing, kenapa lo dengan seenak jidat lo ikut dia ke rumahnya terus mau-maunya nginap disana," kata Alvaro masih geram, Azura merunduk sembari memainkan jemarinya. "Dari sma sampai sekarang lo masih b**o yah, sama sekali gak berubah. Lo itu sebenarnya punya otak gak sih ?" Sentaknya sudah melampiaskan kekesalannya, Azura terdiam sembari mengerjap membuat bulir hangat keluar pada kelopak matanya. Alvaro berdecak lirih sembari memalingkan wajahnya lalu kembali melajukan motornya. Azura sudah mendengkuskan hidungnya sembari masih terisak tertahan, Alvaro sesekali melirik pada spion motornya melihat gadis di belakangnya itu masih sesegukan sembari mengusap kasar air matanya. Alvaro terlihat menepikan motornya di depan rumah Azura membuat gadis itu sontak turun dengan cepatnya. Alvaro berdecak sembari ikut turun dan menaruh helmnya pada spion kiri motornya. Pemuda itu menahan lengan Azura yang hendak melangkah masuk membuat gadis itu mendongak dengam mata sembabnya. "Lo kenapa cengeng bangat sih," omelnya masih kesal sembari mengusap lembut air mata gadis itu dengan kedua ibu jarinya. "Pulang sana, gue bisa usap air mata gue sendiri. Gue gak b**o-b**o amat soal ini," gerutunya sembari menepis kedua tangan pemuda itu, Alvaro berdecak lirih sembari menurunkan tangannya yang menggantung di udara. "Gue pulang," pamitnya lalu beranjak pergi sembari melangkah naik ke atas tunggangannya. Azura mendesah berat lalu melangkah masuk setelah pemuda itu perlahan menghilang dengan motornya. Rasanya ada perasaan aneh saat melihat pemuda itu pergi dengan wajah keruhnya. Entahlah, Azura tidak tahu. *** Yena terlihat mendudukan diri di kafetaria seorang diri, ia mendesah berat sembari mngedarkan pandangannya mencari Alvaro yang tak kunjung muncul juga. Gadis itu merogoh sesuatu di dalam tas selempangnya, berbagai obat di bungkus rapi dengan berbagai macam bentuk ada yang pil dan juga kapsul yang harus gadis itu konsumsi setiap saat dalam jangka waktu yang lama. Bibirnya terlihat menghela pelan sembari menatap telapak tangannya yang berisi tiga kapsul yang akan ia minum. Jujur ia lelah untuk berkutat dengan obat-obatan setiap saatnya. Namun, kesembuhan sama sekali belum memihak padanya. Yena menenggak minumannya setelah memasukan tiga obat ke dalam mulutnya. "Alvaro !" Teriaknya memanggil pemuda itu namun nampaknya Al tidak mendengarnya dan malah berlari kecil menuju gadis berkerudung yamg tengah duduk menunggunya. Yena tersenyum miris begitu saja, melihat Alvaro tersenyum pada gadis lain seakan memberi efek sendiri pada hatinya dan jantungnya. Ia sesak sendiri sembari mencengkram ujung bajunya. Gadis itu mengambil sesuatu di dalam tasnya, silet yang baru dan terbungkus rapi itu ia keluarkan sembari menjulurkan pada tangan kirinya. Yena perlahan mengarahkan benda tajam itu pada urat tangannya, sesaat ia menghela nafas sembari menyilet tangannya dengan meringis kecil. Perlahan darah mengalir pada tangannya dan berceceran pada lantai kafetaria. Tidak ada yang menyadari perbuatannya karena gadis itu memang duduk di pojokan. Mata Yena perlahan menyayu dan wajahnya memucat dengan cepatnya, gadis itu langsung terkapar pada mejanya. Seseorang yang baru melewatinya terlihat menoleh pelan kearahnya membuat pemuda itu dengan cepat mengangkat tubuhnya dan melesat ke ruang kesehatan. Para mahasiswa yang melihat itu jadi heboh melihat darah berceceran di lantai, mereka jadi berasumsi kalau gadis itu memiliki kelainan jiwa. Azura dan Alvaro yang ada disana jadi mengernyit tidak sempat melihat siapa yang di bopong tadinya. Membuat keduanya saling melirik dengan alis bertautan. ___ Pemuda jangkung itu terlihat mmbaringkan tubuh Yena pada ranjang kesehatan, dengan sigap pihak yang bertugaspun menangani gadis itu sembari mengobatinya dengan hati-hati. Pemuda dengan iris mata tajam itu masih berdiri dengan memperhatikan gadis yang masih sesekali meringis sakit itu. "Dia gakpapa, tangannya hanya teriris sedikit saja tidak sampai ke uratnya. Tangannya sudah saya perban, sebentar lagi dia akan sadar." Ujar gadis berkacamata itu sembari tersenyum samar membuat pemuda itu mengangguk lemah. Yena terlihat bergerak kecil sembari mengerjap dan perlahan membuka kelopak matanya. Gadis itu mengernyit melihat pemuda yang mendudukan diri di hadapannya kini. "Lo Maliq, kan ?" Tebaknya sembari beranjak dan menyender pada kepala kasur. Pemuda itu hanya menatapnya lurus tanpa berniat menjawab, "Lo suka sama Azura ?" Tebaknya tepat membuat Maliq menautkan alis . "Gue tahu jadi gak usah bohong sama gue, gue tahu kalau lo udah ada rasa sama gadis itu," ujarnya lagi sembari tersenyum kecut. "Gue suka Alvaro tapi dia suka Azura, apa semua laki-laki hanya melihat Azura ? Apa hebatnya Azura ?" Ujarnya dengan kesal dan tangan yang mengepal erat sempurna. "Bagaimana kalau kita kerja sama, untuk mengambil kembali orang yang kita sayang. Lo dapat Azura dan gue Alvaro, bagaimana ?" Ujarnya sembari tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD