Benih Kebencian

1758 Words
"Aku berharap suatu saat nanti aku dan kamu akan menjadi kita" *** Pemuda jangkung berambut tebal itu tengah mengedarkan pandangannya sembari mencari keberadaan Azura. Pasalnya setelah pulang mengantar Yena dari toilet, ia tidak menemukan keberadaan gadis berkerudung itu lagi. Dengan perlahan ia mendekati salah satu teman sekelas Azura yang terlihat tengah mengobrol kecil bersama yang lain. "Lo lihat Azura, gak?" Ujar Alvaro membuat pemuda yang tengah duduk itu menautkan alis bingung. "Azura yang pakai kerudung," lanjut Alvaro membuat pemuda itu mengangguk paham sembari tersenyum samar. "Tadi dia dapat tugas cari kayu bakar sama yang lain," "APA!" Teriakan Alvaro membuat pemuda itu termundur kaget, "Dari sekian banyak cowok disini lo malah nyuruh cewek buat nyari kayu bakar ke hutan? Lo punya otak gak?" Sentaknya kasar membuat anak-anak melirik kearah keduanya. "Santai dong bro, lagipula dia pergi sama Bara dan Lala," Alvaro mengeraskan rahangnya sembari mencoba meredam emosinya yang sudah memuncak. Suara tawa perlahan mendekat pada mereka membuat Alvaro menoleh dan menjatuhkan pandangannya pada dua orang yang kini saling berpegang tangan mesra. "Azuranya mana?" Tanya ketua jurusan pada keduanya, mereka saling melirik sembari mengedikan bahu tidak tahu. "Anjing!" Umpat Alvaro lalu menerobos keduanya sembari berlari masuk ke dalam hutan mencari gadis itu. Sembari berlari ia berdoa dalam hati semoga tidak akan ada kejadian buruk yang menimpa Azura, kalau tidak. Dia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. "Azura!" Teriaknya sembari memanggil nama gadis itu, namun tak kunjung ada jawaban. Sesekali ia mengeraskan rahangnya merasa frustasi karena tidak bisa menemukan sang gadis. Samar-samar ia mendengar isak tangis seorang gadis membuat ia berlari cepat menuju sumber suara. Pemuda jangkung itu melebarkan mata kaget melihat Azura sudah menangis dengan memeluk lutut dengan sosok asing sedang berjongkok menatap gadis itu dengan diam. Bug Alvaro langsung menonjok kasar wajah tampan sosok yang kini melebarkan matanya kaget. "Anjing! Lo apain dia hah?" Ujarnya dengan tangan yang mencengkram kerah baju pemuda itu kasar. Pemuda di hadapannya hanya mengusap ujung bibirnya yang sobek dengan ibu jarinya pelan. "Kak Maliq yang nolongin gue," ucapan Azura membuat Alvaro perlahan melepas cengkramannya lalu mengerjap pelan sembari mendudukan diri di hadapan Azura yang sudah terisak dengan keringat dingin pada pelipisnya. "Bisa gak sih lo gak bikin gue khawatir!?" Kesalnya sudah setengah berteriak di depan gadis itu, Maliq hanya membuang muka lalu melangkah pergi begitu saja. Mendengar sentakan Alvaro membuat Azura menangis makin keras dengan sesekali sesegukan. Gadis itu merunduk dengan tubuh yang masih bergetar. Alvaro berdecak lirih lalu dengan lembut ia merengkuh gadis itu dalam pelukannya. "Maafin gue, maafin gue, Ra." Ujarnya merasa bersalah sembari mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil Azura. Gadis itu tak menggubris hanya menumpahkan air matanya yang sedari tadi tertahan. Alvaro bergerak kecil sembari mengusap lembut air mata Azura dengan kedua tangannya. Pemuda itu menghela pelan melihat mata Azura yang sembab. "Lo kenapa harus nyari kayu bakar?" Azura mendongak kecil sembari mengerjap pelan. "Gue dapat tugasnya itu," jawabnya membuat Alvaro menghela kasar, "Kenapa gak manggil gue?" Gadis itu menggeleng cepat sembari beranjak dari tempat duduknya. "Lo punya pacar, gue gak mau dia salah paham." "Yena bukan pacar gue," Azura tersenyum masam, "Sekarang belum, mungkin nanti." Ujarnya sembari melangkah duluan dengan sesekali menghela nafas panjang merasa bersyukur bisa selamat. Kalau Maliq tidak muncul tadi mungkin besok ia akan masuk ke dalam berita sebagai mahasiswi yang dibunuh secara s***s di dalam semak-semak. Dari sekian tempat, kenapa harus di dalam hutan? Entahlah, Azura tidak tahu. Setelah melumpuhkan kedua pria tadi, Maliq sama sekali tidak berbicara sepatah katapun pada Azura hanya duduk menemani Azura yang menangis lirih. Azura yang awalnya ingin menangis sekuat-kuatnya jadi mengurungkan niat karena melihat tatapan tajam dari pemuda itu. Emang itu tatapan yang ia tujukan pada Azura atau memang cara menatapnya seperti itu. Azura melirik Alvaro yang kini berjalan beriringan dengannya menuju tempat kamping mereka. Gadis itu kembali menatap lurus jalan di depannya sembari menghela kasar. Kenapa bukan Alvaro yang menolongnya? Kenapa bukan Alvaro yang memasang tendanya? Ada banyak kenapa dalam otak Azura sekarang. Keduanya pun sudah sampai di tempat kamping, kemunculan mereka membuat anak-anak menghampiri keduanya. Yena yang sedari tadi khawatir karena menghilangnya Alvaro langsung menerobos banyaknya orang di dalam sana. "Lo gakpapa kan, Al? Lo ada yang luka ?" Tanyanya sembari memeriksa tubuh pemuda jangkung itu. "Gue gakpapa," balasnya sembari melirik Azura yang hanya merunduk lalu gadis itu perlahan berjalan menuju tendanya. Alvaro melangkah cepat menuju ketua jurusan Azura dan menggebrak kasar meja makan yang ada di hadapannya membuat apa-apa yang ada disana jatuh tak tersisa. "Eh lo sinting?" Teriak pemuda bergigi gingsul itu, "Lo yang sinting anjing, kalau nyuruh orang itu pakai otak. Kalau sampai tadi Azura kenapa-napa gue habisin lo," ancamnya sembari berlalu pergi membuat Yena mengerjap cepat. Gadis mungil itu menatap punggung Azura yang perlahan menghilang dibalik tendanya. Yena terlihat mengepalkan tangannya erat sembari tersenyum miring. *** Pemuda berahang tajam itu terlihat mendudukan diri di depan tendanya sembari menatap sang fajar yang mulai menampakan diri. Siapapun yang melihatnya kini akan berasumsi kalau pemuda itu lebih menarik untuk dipandang daripada matahari yang jauh disana. Bulu mata lentiknya, hidung mancunf dan juga t**i lalat kecil yang terletak pada ujung pipi kirinya menambah kesan tampan pada pemuda itu. Namun, karena sikap tertutup dan dinginnya membuat orang sulit berinteraksi dengannya. Apalagi pemuda itu dikenal jarang berbicara, ia terlalu malas hanya untuk sekedar membuka mulut. "Kita jadi pulang hari ini?" Ujar salah satu temannya yang bernama Adam itu, Maliq hanya terdiam sama sekali tak berniat menjawab. Adam menghela nafas kasar, sudah biasa omongannya tidak ditanggapi oleh pemuda itu. "Cuacanya kayak buruk sih, jadi kemungkinan kita semua pulang hari ini. Apalagi setelah kejadian menghilangnya salah satu mahasiswi tadi malam, untungnya dia kembali dengan selamat kalau nggak bisa panjang masalahnya," ujarnya dengan menggelengkan kepala tidak percaya, "Lagipula polisi udah nemuin mayat yang katanya dibunuh s***s tadi malam. Pelakunya juga sudah ditangkap, anehnya pelakunya diikat di pohon tempat dimana sang mayat berada," tambahnya sembari berpikir keras, Maliq hanya terdiam sembari menatap matahari yang masih malu-malu memunculkan dirinya. "Cerdas juga yang nolongin," pujinya membuat Maliq bangkit dari tempat duduknya. "Eh mau kemana lo?" Maliq tak menjawab malah berjalan lurus tanpa menoleh lagi membuat Adam berdecak kasar. "Kebiasaan tuh anak," gumamnya sembari menggeleng heran dengan tingkah laku temamnya itu. Pemuda berahang tajam itu terlihat mendudukan diri di dekat danau yang tidak jauh dari tempat kamping berada. Jujur ia sangat suka berada di tempat yang tenang seperti, tempat yang jauh dari keributan dan juga orang-orang asing. Tangannya terlihat meraih kerikil di sebelahnya sembari melemparkannya pada danau. Begitu seterusnya sampai ia bosan dan tangannya lelah untuk melakukan itu lagi. Seseorang tengah berdiri menjulang tinggi di hadapannya membuat ia mendongak kecil sembari menatap siapa yang sudah mengangguk ketenangannya itu. Sosok itu terlihat menyodorkan segelas minuman hangat padanya, "Sebagai ucapan terima kasih," ujar gadis berkerudung itu membuat ia meraihnya pelan sembari meletakannya di sampingnya. "Gue gak tahu apa yang akan terjadi kalau lo gak datang," ujarnya sembari merunduk pada jemarinya. Gadis itu terlihat menghela nafas panjang membuat Maliq menolehkan kepalanya pada gadis itu yang masih merunduk. "Terima kasih," ujarnya lagi membuat Maliq hanya menganggukan kepalanya lemah, keduanya kembali terdiam dengan mata yang menatap lurus danau di depan keduanya. "Hai," sapaan manis dari Yena membuat keduanya sama-sama menoleh, "Gue boleh minjam Azura bentar gak?" Izinnya pada Maliq yang hanya menatapnya datar, karena ekspresi pemuda itu memang seperti itu. "Dia gak bisa ngomong yah?" Tanyanya pada Azura yang hanya menautkan alis merasa bingung karena kemunculannya. "Lo mau ngomong apa?" Yena menipiskan bibir sembari mengerjap pelan. "Kalau mau ngomong disini aja," kata Azura tak terbantahkan membuat Yena memilih duduk bersama keduanya. Maliq tak menanggapi hanya bermain kerikil dengan danau di hadapannya. "Lo siapanya Alvaro?" Azura menoleh dengan alis bertautan pada Yena, "Lo kenapa akhir-akhir dekat dengan Al ? Lo siapanya Al?" Ujarnya dengan mata memicing kearah Azura. "Gue bukan siapa-siapanya," "Bohong!" potong Yena cepat, "Emang gue gak lihat Al tidur senderan di bahu lo pas di bis? Emang gue gak tahu Alvaro bela-belain hajar orang buat ngebelain lo? Sebenarnya lo itu siapanya? Kenapa lo muncul disaat gue berusaha ngedapatin dia?" Azura tersenyum masam sembari memiringkan tubuhnya agar menghadap gadis itu. Maliq takikut campur, hanya menjadi pendengar dan saksi untuk keduanya. "Seharusnya lo tanya sama pacar lo, kenapa nanya sama gue? Dan satu lagi, gue sama sekali gak jadi orang ketiga bagi hubungan kalian, kalian disini yang datang dan ngusik gue." Balas Azura membuat Yena tersenyum miring. "Stop untuk ngedekatin Alvaro, stop buat Alvaro khawatir sama lo. Jangan pernah ngusik kehidupan gue sama Alvaro lagi," ujarnya sembari menyudahi obrolan keduanya. Azura mengusap wajahnya frustasi sembari melirik pada Maliq yang hanya mengerjap pelan menatapnya. "Apa! Lo mau bilang kalau gue yang gangguin hubungan mereka?" Maliq menggeleng pelan, "Terus kenapa lo natap gue kayak gitu?" Kesal Azura sembari mendengkus kasar, Maliq tak menjawab malah beranjak dari tempat duduknya. "Pulang," ujarnya membuat Azura menautkan alis bingung, gadis itu menghela kasar melihat pemuda jangkung itu sudah menghilang dari pandangannya. Azura pun ikut bangkit dan melesat pergi bersama Maliq, ia harus buru-buru membereskan perlengkapannya karena mereka akan segera pulang. Gadis itu perlahan menggulung  tendanya sembari memasukan di dalam tas ranselnya. Sesekali ia menghela kasar merasa kesal berada disini, apalagi Yena yang menuduhnya mengganggu hubungan keduanya. Maksudnya apa? Para murid pun bersiap-siap sembari menunggu kedatangan bis untuk mereka pulang. Kebanyakan dari mereka mengobrol sembari tertawa bersama, hanya Azura yang mengasingkan diri dari yang lain. Gadis itu sama sekali tidak merasa nyaman berada bersama orang-orang asing. Ia jadi rindu masa SMA nya bersama Intan, Alisa dan Keyla. Tapi ketiga gadis itu sudah lama tidak ada kabar. Entah karena mereka sibuk atau apa, yang jelas setelah kelulusan mereka tidak saling menghubungi satu sama lain. "Lo yang namanya Azura, kan?" Azura mengangguk saat seorang perempuan mendekatinya. "Alvaro nyuruh lo ke belakang danau, ada yang mau dia bicarain sama lo," ujarnya sembari melangkah pergi, Azura menautkan alis bingun sembari menghela kasar. Kenapa juga Alvaro harus mengajaknya ketemuan di belakang danau? Mau ngapain? Mau mancing mania? Azura menitip ranselnya pada anak sekelasnya sembari melangkah ke belakang danau. Ia mendudukan diri sembari menunggu kemunculan Alvaro. Hampir sepuluh menit ia menunggu namun pemuda itu belum muncul juga, ia semakin kesal karena cuaca dingin disana membuat meringis. Ia melebarkan mata mendengar suara bis yang perlahan menjauh, dengan cepat ia berlari ke depan jalan. Alangkah terkejutnya ia sudah tidak menemukan siapa-siapa disana, bahkan ranselnya sudah tidak ada. Ponsel dan juga perlengkapannya disana semua, ia menghela nafas kasar merasa ingin menangis untuk sekarang. Ia mengedarkan pandangannya mencari keberadaan warga, namun disana hanya ada hutan dan juga pohon-pohon besar yang membuat bulu kuduknua merinding. Suara langkah kaki membuat ia menoleh takut sembari melebarkan mata kaget melihat kemunculan sosok dinging itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD