Gea sekali lagi membaca dengan seksama dokumen yang disodorkan oleh wanita paruh baya itu padanya. Dia tidak bisa mempercayai matanya. Bahkan sebuah keraguan muncul di hatinya saat dia menatap sosok wanita bermartabat di depannya saat ini.
"Ini, apakah ada yang salah dengan dokumennya?"
"Tidak, cukup tanda tangani dokumennya dan saya akan membiarkan kamu bersama dengan putra saya sebagai madunya." Nyonya Imelda tampak tenang. Tidak menggubris ekspresi terkejut yang muncul di wajah Gea dengan sangat jelas.
"Apa-, apa maksud semua ini? Bukankah Anda tidak menyukai saya? Bukankah seharusnya Anda meminta saya pergi meninggalkan putra Anda dan tidak lagi mengganggu hubungan rumah tangganya? Tapi ini ..."
Ada begitu banyak pertanyaan yang muncul di benak Gea, dia tidak habis pikir dengan ibu dan anak ini. Bagaimana bisa wanita paruh baya itu malah memintanya untuk menjadi madu Rendra? Menjadi istri kedua Rendra?
"Saya tidak bisa menandatangani surat perjanjian ini Nyonya. Saya tidak ingin menjadi istri kedua."
"Tidak ingin menjadi istri kedua? Lalu maksudnya, kamu ingin menjadi istri satu-satunya bagi anak saya?" Kedua mata Nyonya Imelda menyipit, menatap Gea dengan tatapannya yang tajam.
Gea yang ditatap dengan sedemikian rupa hanya bisa mencoba bersikap tenang. Meski jelas ada rasa takut dan gugup yang tak terlukiskan, Gea hanya bisa menahannya hingga pertemuan ini selesai.
"Anda salah, justru yang saya inginkan adalah pergi dari sisi Mas Rendra. Saya cukup sadar diri bahwa saya bukan wanita satu-satunya dan saya tidak ingin menjadi orang ketiga dalam hubungan rumah tangganya."
"Apa kamu benar-benar yakin dengan pilihanmu?"
Gea tanpa ragu langsung menganggukkan kepalanya. Dia kembali menggeser dokumen di depannya pada Nyonya Imelda. Matanya yang bulat dan cerah tampak begitu yakin dengan keputusan yang dibuatnya.
"Baik, sepertinya apa yang dikatakan oleh Rendra memang benar. Kamu adalah gadis yang memiliki prinsip. Tapi sayangnya kamu tidak memiliki pilihan lain selain menyetujuinya."
Kening Gea mengerut, dia tidak paham apa maksud perkataan wanita paruh baya itu. Saat Gea akan kembali berbicara, tangan wanita paruh baya di depannya terangkat. Memberi isyarat kepadanya untuk diam.
"Saya akan memberikan kamu waktu untuk memikirkannya lebih baik. Pikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan. Saya bisa melihat kamu adalah gadis yang baik dan cukup menarik." Setelah mengatakan hal itu, Imelda beranjak dari kursinya. Menepuk bahu Gea dan pergi begitu saja untuk membayar tagihan sebelum keluar dari restoran.
Gea terdiam selama beberapa saat, tidak tahu harus berbuat apa. Dia kembali melirik dokumen dan sebuah kartu nama yang sengaja ditinggalkan oleh wanita paruh baya itu untuknya. Pikiran Gea berkecamuk, ini semua berada di luar prediksinya.
Dia awalnya berpikir kalau dia akan dimarahi habis-habisan, atau bahkan dipermalukan di depan umum. Namun dia tidak menyangka kalau hasil akhirnya akan seperti ini. Wanita paruh baya itu bukan tipikal yang orang tua yang memiliki pemikiran sempit dan cukup bisa menganalisis Gea hanya dengan sekali pandang. Tidak menganggap Gea sebagai gadis liar yang hanya mengincar harta putranya dan ingin menghancurkan rumah tangga putranya. Namun, justru Rendra adalah pria yang mengekang gadis itu di sisinya dan tidak ingin membiarkan Gea pergi.
Gea mengambil dokumen di depannya dan bergegas pergi keluar dari restoran. Kepalanya kembali berdenyut sakit. Dia memutuskan untuk pergi ke apotek terdekat untuk membeli obat pereda sakit kepala sebelum kembali ke apartemennya. Ia ingin membuang dokumen dan kartu nama di tangannya ke tempat sampah, namun dia mengurungkannya dan kembali melanjutkan jalannya setelah berpikir beberapa saat.
Sesampainya di apartemen, Gea meminum obatnya. Wajahnya tampak pucat. Rasa pusing yang dirasakannya membuat pandangan gadis itu terasa buram. Gea sebisa mungkin berjalan kembali ke kamarnya dan menarik selimut. Berharap saat bangun nanti rasa pusing yang rasakannya akan mereda.
Di tempat lain, Rendra menyelimuti Rana yang tengah tertidur siang. Wanita itu tampak sangat menempel padanya seharian ini dan tidak mau melepaskannya.
Rendra hendak pergi ke ruang tamu saat dia mendapati dering telepon dari ibunya. Tanpa sadar ada rasa gugup saat menunggu kabar dari ibunya. Alasan dia tetap diam dan patuh di rumah hari ini tentu saja karena dia telah membuat kesepakatan dengan ibunya. Dia juga sebenarnya agak takut kalau ibunya akan berbuat hal yang terlalu jauh pada Gea, atau bahkan menyakiti perasaan Gea. Namun dia juga tidak bisa mengelaknya selama dia mendapatkan persetujuan dari wanita paruh baya itu.
Saat hendak keluar dari kamar, suara dering ponsel milik Rana juga berdering. Rendra sempat melihat id pemanggil di ponsel Rana bertuliskan 'Dirga'. Dia mengenal sosok Dirga sebagai sahabat karib istrinya, jadi dia membiarkannya. Karena saat ini panggilan telepon dari ibunya jauh lebih penting dari itu.
Tepat setelah Rendra keluar dari kamar, Rana yang merasa terusik dengan nada dering ponselnya akhirnya terbangun. Dia melihat siapa yang menelponnya saat ini, langsung menolak panggilan tersebut dengan perasaan gelisah. Rana ingin menghapus pria itu jauh-jauh dari kehidupannya.
Dirga: [Berani menolakku sekarang? Atau kamu ingin aku langsung datang ke rumahmu saat ini?]
Napas Rana langsung memburu, dia paling takut pada pria yang seolah tengah mengancamnya sekarang. Takut pria itu akan benar-benar melakukan hal gila itu. Dia tidak bisa mengekspos hubungannya di belakang suaminya.
Kembali panggilan suara terhubung, kali ini Rana mengangkatnya dengan sigap. Takut dengan ancaman Dirga yang akan datang ke rumahnya.
"Ada apa? Aku tidak memiliki banyak waktu, cepat katakan apa maumu?" Rana berkata dengan nada tidak sabar, sangat jauh berbeda dengan sikapnya yang lemah lembut selama ini. Dia juga tanpa sadar menggigit bibirnya gelisah, takut Rendra akan kembali ke kamar sewaktu-waktu.
'Aku hanya merindukanmu, dan juga anak kita. Bisakah kita bertemu? Atau kamu sedang mengidam sesuatu? Aku bisa melakukan apapun yang kamu inginkan saat ini.'
"Kamu tahu dengan pasti apa keinginanku. Menjauhlah dari rumah tanggaku dan jangan lagi datang mengganggu hidupku!"
Sosok di seberang sana terdiam selama beberapa saat. Lalu terdengar suara tawa samar yang tampak menyenangkan dari ponsel Rana. 'Tentu, aku akan membuat suamimu menjauh dari hubungan rumah tangga kalian. Bahkan, aku juga bisa membuatnya tidak lagi bisa menggangu hidupmu.'
Mendengar ancaman pria itu, tangan Rana kembali mengencang pada cengkeraman selimut. Dia menekan kuat perasaannya yang bergejolak. Dia tahu jelas temperamen Dirga. Pria itu memang memiliki banyak koneksi. Namun siapa sangka ternyata pria itu telah lama menaruh hati padanya. Hingga malam itu ketika dia lengah dan terlalu memikirkan banyak hal saat suaminya tidak kunjung pulang ke rumah, dia memutuskan untuk menemui pria itu di sebuah bar. Dia minum dan mabuk, hingga kesalahan itu terjadi.
"Jangan macam-macam, atau aku-"
'Atau apa?'
"Atau aku akan menggugurkan anak ini!"
"Kamu-"
Rana kaget bukan main. Dia menjatuhkan ponselnya saat melihat Rendra tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya.
"Mas ..."