"Ma, izinkan aku menikah dengan Gea!"
Suasana hening selama beberapa saat. Rendra tahu bahwa apa yang dia katakan kali ini sangat tidak masuk akal. Dia meminta izin pada mamanya untuk menikah lagi saat istrinya tengah hamil. Katakanlah dia gila, namun memikirkan harus melepas Gea. Dia benar-benar akan gila dibuatnya.
"Apa yang baru saja kamu katakan?"
"Aku ingin menikahi Gea!"
"Lalu bagaimana dengan istri dan anakmu nanti?"
"Aku, aku tidak mengira Rana akan hamil." Rendra mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa dia sudah memiliki keinginan untuk berpisah secara baik-baik dengan Rana sebelumnya. Namun kini istrinya hamil, siapa yang harus disalahkan? Tidak mungkin dia bisa menceraikannya dalam kondisi seperti ini.
"Jadi kamu sebelumnya sudah berencana untuk menceraikan Rana?" Kening Nyonya Imelda tampak mengerut dan ekspresinya menjadi jelek.
Wanita paruh baya itu dibuat pusing saat melihat kelakuan anak laki-laki satu-satunya yang tidak dia harapkan telah berbuat sejauh ini.
"Jangan katakan kamu dan wanita liar itu sudah," tatapan mata Imelda semakin menajam pada Rendra yang tampak menundukkan kepalanya merasa bersalah.
Rendra juga tidak memiliki pilihan lain. Dia tahu bahwa mamanya mulai curiga padanya. Karena wanita paruh baya itu juga beberapa kali datang ke kantornya untuk melihat situasi. Dia juga kerap kali tidak ada di kantor akhir-akhir ini.
"Tidak, Rendra sama sekali tidak melakukan hal-hal tidak senonoh apapun pada Gea. Dia gadis baik-baik, bahkan saat mengetahui bahwa Rendra telah menikah, dia langsung ingin pergi dan tidak ingin menjadi orang ketiga dalam hubungan rumah tanggaku."
"Kamu masih berusaha untuk melindunginya sampai sejauh ini?" Kedua mata Imelda tampak memerah. Bagaimana bisa dia merasa tenang saat rumah tangga putranya sedang berada di ujung tanduk?
"Ma, Rendra tahu salah. Tapi perasaan tidak bisa dipaksa. Bertahun-tahun Rendra telah mencobanya dengan Rana. Tapi tetap tidak bisa mengalahkan apa yang Rendra rasakan saat bersama dengan Gea, Ma!"
Suara tamparan keras menggema di dalam ruang tamu tersebut. Imelda tampak menyeka matanya yang memerah agar dia tidak sampai terlihat menangis di depan putranya yang tidak berbakti. Tangannya bergetar menunjuk pada Rendra yang saat ini tampak kukuh dan hanya bisa mengepalkan kedua tangannya dalam diam.
"Kamu, biarkan Mama bertemu dengan wanita jalang itu!"
"Ma! Jangan coba-coba untuk melakukan sesuatu hal pada Gea. Ini kali pertama Rendra benar-benar jatuh cinta pada seorang gadis. Kumohon, izinkan Rendra menikahi Gea secara diam-diam di belakang Rana." kedua mata Rendra tampak memerah.
Di rumah Rendra, Rana saat ini tampak berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Dia tengah menunggu suaminya pulang dari rumah orang tuanya. Dari hari ke hari dia merasa semakin gelisah entah kenapa. Sikap pria itu memang tetap baik padanya, namun waktu yang dimiliki oleh Rendra untuknya terasa semakin berkurang dari hari ke hari.
Sebagai seorang wanita tentu saja dia mengamati perubahan sekecil apapun pada pria itu. Dia mencintai Rendra. Sekalipun hubungan mereka dimulai dari sebuah perjodohan. Namun dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan pria itu padanya. Bahkan dia bisa menghitung berapa kali mereka melakukan hubungan suami istri dalam setahun.
Sikap pria itu memang baik padanya belakangan ini setelah dia dinyatakan hamil. Namun hal itu entah mengapa terasa seperti pedang bermata dua baginya. Dia menyukai rasa sayang dan hangat yang ditampilkan oleh Rendra padanya. Tapi di sisi lain, dia juga takut hal-hal akan terjadi di luar kendalinya.
"Maaf karena menghadirkamu dengan cara yang salah." Tanpa sadar air mata Rana telah menetes. Malam itu, dia tidak akan menyangka sama sekali. "Maafkan aku Mas."
Tak lama kemudian, suara dering telepon miliknya membuyarkan lamunan Rana. Wanita itu tanpa sadar mencengkeram ponselnya dengan kuat saat melihat siapa yang saat ini tengah menghubunginya. Hal itu membuat elusan tangannya di atas perutnya terhenti. Ada rasa takut dalam hatinya.
"Kumohon jangan menggangguku lagi, aku sudah bersuami!" Rana berkata dengan tegas pada seseorang di seberang sana. Tangannya tanpa sadar mengepal erat.
'Bukannya tidak mungkin, namun apa kamu sama sekali tidak mempertimbangkanku? Apa kamu yakin suamimu tidak melakukan hal yang sama di luar sana dengan wanita lain?'
"Jangan berkata sembarangan atau memfitnah Mas Rendra, aku percaya padanya!" Napas Rana tanpa sadar berangsur dan tersengal saat mendengar perkataan dari seseorang di seberang sana.
'Bagaimana jika 'itu' ternyata adalah anakku?'
Rana terdiam, cengkeramannya pada ujung baju tidurnya semakin mengencang hingga membuat kain satin tersebut kusut. Itu adalah satu hal yang sangat ingin dia tepis dan buang jauh-jauh dari pikirannya. Dia akan selalu menolak fakta bahwa ada kemungkinan anak dalam perutnya bukan milik suaminya.
"Jangan berkata omong kosong! Ini adalah anakku dengan suamiku, sebaiknya kamu berhenti mengganggu urusan rumah tanggaku!"
'Jangan memaksaku untuk mengatakan apa yang telah terjadi pada malam itu ...'
Napas Rana tanpa sadar kembali tercekat, "kamu mencoba mengancamku?"
'Kamu tahu dengan jelas bahwa aku telah menyukaimu sejak lama, tidak peduli bahkan setelah kamu menikah.'
"Kenapa, kenapa kamu melakukannya?" Air mata Rena telah menetes, dia tidak bisa menenangkan dirinya saat ini. Perasaannya campur aduk. Dia tidak menyangka akan diperlakukan seperti ini oleh seseorang yang sangat dia percayai sebelumnya.
'Bukankah itu karena suamimu yang memulainya terlebih dahulu? Bukankah kamu mencurigai suamimu berselingkuh di luar sana? Aku hanya membantumu untuk membalaskan dendam. Rana, aku benar-benar mencintaimu. Lepaskan pria itu dan menikahlah denganku!'
"Kau gila!" Rana langsung mematikan sambungan teleponnya. Dia membanting ponselnya ke atas kasur dan segera menyeka air mata yang telah membasahi kedua pipinya. Matanya memerah, perasaan bersalah semakin mencokol dengan kuat dalam hatinya.
"Maafkan aku, Mas!"
"Maaf untuk apa?"
Rana langsung mendongakkan kepalanya, dia sangat terkejut saat melihat Rendra secara tiba-tiba masuk ke dalam kamar mereka. Tanpa sadar jari-jari Rana bergetar dan dia masih menatap pria itu dengan kecemasan pikiran yang belum bisa dia kendalikan.
"Mas, kamu sejak kapan ada di sana?"
"Mas baru saja pulang, kenapa kamu meminta maaf sama Mas?"
Rana langsung menegakkan tubuhnya, dia lalu menyeka sisa air mata yang membasahi pipinya. "Bukan apa-apa. Hanya saja aku tiba-tiba saja merasa sensitif. Mungkin pengaruh hormon ibu hamil."
Rana berjalan mendekat dan langsung memeluk Rendra dengan erat. Dia mencoba menghirup aroma pria itu dalam-dalam untuk memastikan apakah pria itu memiliki aroma wanita lain di kemejanya atau tidak. Setelah tidak mendapatinya, senyum di bibir Rena tampak terangkat.
"Mas, jangan tinggalkan aku oke?"
"Hmm."
Rendra yang mendapati sikap manja Rana tampak ragu. Lalu dia mengulurkan tangannya untuk balik memeluk Rana dan menepuk punggung istrinya beberapa kali. "Jangan menangis lagi, tenanglah."