Lima belas tahun kemudian….
Rintik hujan yang masih turun secara perlahan mengaburkan pandangan Zian. Ingatan masa lalunya kembali memenuhi setiap celah memori di kepalanya. Tawa kecilnya yang begitu renyah selalu mampu membuat kesedihan yang sedang ia alami menguap begitu saja. Zian pun masih bisa merasakan hangat tangan kecilnya saat mencoba menenangkan tangisnya yang tak kunjung henti semenjak semuanya pergi. Gadis kecil itu berjanji akan selalu menemani dirinya apapun yang terjadi. Alina pun memberikan sebuah gelang berbandul matahari kecil.
“Aku punya satu lagi gelang yang sama seperti itu. Lihat nih.” Alina memainkan gelang di lengannya. “Jangan bersedih lagi ya.”
Mungkin ketika Zian kecil dahulu ia tak mengerti apa makna dari bandul matahari kecil yang ada di gelang tersebut. Namun kini, Zian begitu merindukan hangatnya, senyumnya, sentuhnya yang mampu hadirkan pelangi di setiap kesedihan membasahi hari-harinya.
“Hai bro, kok masih disini. Itu orang didalem udah pada nungguin.”
Zian terkejut saat Andra menepuk pundaknya, membuyarkan semua lamunannya.
“Lu udah liat si Melly belom? Wiihh… cantik banget doi bro. Kalo lu nggak mau, gimana kalo gue aja yang maju. Hahahaha.”
“Ya udah, gih sana ambil aja.” Jawab Zian masih menatap hujan yang mereda dan turun rintik-rintik.
“Yaelah, becanda brooo… elu galau mulu deh. Udah dapet ratu paling cantik se-ibukota, kok malah galau. Ya udah yuk, gue kemari karena disuruh bibi lu. Ntar gue malah kena omelan lagi kalau lu nggak keluar juga.” Bujuk Andra.
Melly memang menjadi idaman bagi lelaki manapun. Parasnya yang cantik ditambah ia adalah keturunan dari keluarga yang baik. Segala hal yang diinginkan untuk menjadi pasangan hidup yang ideal dimilikinya. Namun, apakah Zian benar-benar mencintainya sehingga nantinya ia dapat membahagiakannya? Atau pertanyaan yang paling penting, apakah dirinya bisa untuk jatuh cinta lagi?
Pintu kamar diketuk, seorang perempuan paruh baya muncul dan memasuki kamar.
“Kok masih disini sih? Ayo, tamu udah pada nungguin.” Ucap Deby.
“Maaf tante, kayaknya Zian masih shock kalau mau dikawinin sama bidadari. Eh, maksudnya ditunangin. Hehehe.” Andra masih berusaha untuk membujuk Zian namun tak juga berhasil.
“Iya ma, Zian sebentar lagi turun kok.” Jawab Zian sembari berusaha memunculkan senyum di bibirnya. Ada perasaan jeri setiap kali Zian memanggil perempuan itu dengan sebutan Mama. Entah kenapa, di hatinya seakan tercipta lubang yang begitu dalam sejak dahulu. Dan perempuan itu dengan segala kepalsuannya berusaha mengisi lubang tersebut. Dan Zian tak mampu menolak atau pun pergi dari segala kepalsuan itu.
“Zian, ingat ya. Orang tua Melly udah banyak membantu usaha papa loh. Kalau kamu mengacaukan acara hari ini, duh, mama nggak bisa ngebayangin apa yang bakal terjadi nanti. Jadi, mama cuma bisa minta tolong sama kamu supaya bisa memahami situasinya ya.”
“Baik ma, Zian mengerti.” Sekali lagi Zian berusaha memberikan senyuman. Namun terlalu banyak kebohongan yang harus dirangkai pada senyuman tersebut. Membuat Zian merasa sangat muak melakukannya.
“Ya sudah, mama turun kebawah lagi ya. Andra, kamu harus bawa temen kamu ini turun ya.” Deby berusaha menekankan suaranya. Kali ini sepertinya serius sekali.
“Oh siap tante, pasti nanti aku bawa kebawah ni anak bandel.” Andra mengacungkan jempolnya lalu menatap Zian. “Ayolah, nanti gue bisa kena masalah nih.”
“Iya, yuk deh kita turun.”
“Mantap, gitu dong bro.”
Saat hendak melangkah keluar kamar, Patra muncul di kamar Zian. Tampak Deby mengikuti suaminya dengan wajah kesal. Sesaat perlahan Patra menatap dalam ke mata Zian dan menepuk pundaknya.
“Kalau kamu masih ragu, acara ini bisa kita tunda atau malah dibatalin kok.” Ucap Patra secara perlahan.
“Papa, kamu ini apa-apan sih. Kan udah aku bilang kalau Zian udah setuju kok. Iya kan Zian?” Deby menatap tajam ke arah Zian mencoba menekannya agar tidak memberikan jawaban yang tak sesuai dengan keinginannya.
Zian tersenyum. “Nggak apa-apa kok pa, kita lanjut acara pertunangannya. Aku udah siap.”
Patra hanya bisa terdiam dan kembali menatap dalam begitu dalam pada mata Zian. Meski tak perlu Zian jelaskan, Patra dapat mengerti apa yang sedang dialami oleh keponakannya. Keponakan yang sudah seperti ia anggap seperti anak sendiri. Bahkan sejak kecil Zian tak pernah mengeluh, meskipun istrinya seringkali berlaku kasar kepadanya.
“Tuh kan, papa denger sendirikan, Zian udah setuju kok.” Deby mencak-mencak dan tampak kesal dengan keadaan saat ini. “Ya udah, Andra! Bawa Zian turun!”
“Oh, iya iya tante. Siap!” Andra tampak gemetar ketakutan.
Zian segera memeluk Patra yang hendak pergi. “Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih sudah menjadi papa untuk aku.”
Patra membalas pelukan Zian dan menepuk perlahan pundaknya. “Kamu adalah anakku Zian.”
Zian melepas pelukannya dan segera mengikut langkah Deby dan Patra yang sudah menuruni tangga.
Di lantai bawah, banyak orang sudah menunggu kedatangan mereka. Beberapa cahaya kamera mulai menyala bersahutan untuk merekam momen. Sekali lagi Zian berusaha tersenyum, meski perutnya terasa semakin mual dan membuat kepalanya pusing.
Ruang tamu disulap menjadi acara pertunangan yang penuh dengan bunga-bunga indah. Ditengah-tengahnya Melly duduk dengan begitu anggun dan senyum manis yang begitu indah di bibirnya. Zian menyalami kedua orang tua Melly dan meminta maaf atas keterlambatan yang dibuatnya. Kedua orang tua Melly hanya tersenyum dan meminta Zian untuk duduk di sebelah Melly.
Melly tampak berusaha menahan rasa gembiranya. Saat Zian akhirnya duduk disampingnya, Mely tak lagi dapat menahan kegembiraannya. Tiba-tiba ia bersorak cukup kencang, dan segera ditimpali oleh teman se-gengnya. Lolita dan Santi segera ikut bersorak mengangkat tangannya berbarengan dengan tingkah Melly. Tamu undangan yang melihat tingkah tersebut mencoba menahan tawa. Namun ada beberapa yang akhirnya tak tahan untuk tertawa melihat tingkah anak-anak muda itu.
“Idiihh… emang kenapa sih, kita kan harus ceria dan bahagia melihat Melly akhirnya berhasil mendapatkan pangeran pujaan hatinya.” Ucap Lolita mencoba membungkam tawa cekikikan dari tamu yang masih terdengar.
“Tau nih, udah diundang, dikasih makan enak, masih aja julid. Hih dasar ya nggak tau terima kasih.” Sambung Santi.
Melly tampak melotot melihat tingkah kedua temannya itu. Seakan berkata meminta mereka untuk diam. Lolita dan Santi menjadi salah tingkah dan berusaha bertingkah se-normal mungkin kembali. Sementara Melly mencoba tersenyum melihat kepada beberapa tamu yang tampak terganggu dengan ucapan kedua temannya itu. Melly pun segera menggamit tangan Zian untuk segera duduk disampingnya. Terdengar suara desah kesal Zian, namun ia tampak berusaha tersenyum kembali.
“Terima kasih ya, sudah mau menjadi bagian dari mimpi aku yang sangat indah ini.” Bisik Melly.
Zian hanya menggangguk pelan.
Ustadz yang dipercaya untuk melaksanakan acara pertunangan pun mulai memberikan beberapa nasihat kepada kedua mempelai. Orang tua juga ikut mengingatkan betapa pentingnya untuk saling mengerti dalam menjalani kehidupan pernikahan nanti. Sekali lagi, Zian mencium kedua tangan orang tua Melly. Setelahnya Zian mencium kedua tangan kedua orang tua angkatnya. Saat tiba mencium tangan Patra, dengan cepat Zian memeluk erat dirinya. Melly yang mengikuti menyalami kedua orang tua bingung dengan tingkah Zian. Ia pun menepuk pelan pundak calon suaminya nanti.
“Zian, yuk udah yuk. Kita harus tuker cincin nih terus foto-foto mumpung hujannya udah reda, langitnya cerah tuh.” Bisik Melly.
Zian hanya balas dengan anggukan.
Sesi pemotretan pun dilakukan di halaman belakang yang luas. Terlihat tamu meramaikan setiap sudut halaman yang tersedia berbagai macam makanan. Melly sudah mencoba berbagai macam pose untuk difoto. Namun Zian hanya bisa melakukan pose yang biasa saja.
“Ayo dong Zian, gayanya yang heboh dong. Liat tuh si Melly aja udah kayak cacing kepanasan. Hahahaha.” Ucap Lolita lantang.
“Iya nih, Zian kurang b*******h kayaknya. Apa harus minum obat kuat dulu nih.” Santi menimpali celotehan Lolita dan kemudia mereka berdua tertawa.
Melly melotot melihat tingkah dua sahabat se-gengnya itu. Seketika membuat Lolita dan Santi terdiam kembali. Setelah melihat mereka berdua pergi, Melly mencoba merajuk kepada Zian yang masih tetap memasang wajah ‘Cool-nya’.
“Ayo dong sayang, ini kan buat kenang-kenangan kita nanti. Masa nanti anak-anak kita pas lihat foto kita malah nge-julid kayak duo terasi teman aku itu sih.”
“Tapi aku nggak bisa gaya aneh-aneh gitu.” Jelas Zian. “Gaya yang biasa aja ya, nanti sayang wajah cantik kamu berubah jadi aneh juga.”
Mendengar Zian mengucapkan kata sayang dan cantik, wajah Melly memerah. Ia menjadi salah tingkah dan tiba-tiba menurut dengan apa yang diminta oleh Zian. Sesi pemotretan pun dilanjutkan dengan gaya normal yang diarahkan oleh sang fotografer.
Zian tersenyum tipis, karena akhirnya acara hari ini akan segera berakhir dengan cepat. Ditengah keramaian Zian melihat jauh kedepan. Di dekat kolam renang, matanya tertuju pada sosok seorang anak perempuan yang tersenyum sangat manis sekali. Kepala Zian terasa berdenyut semakin kencang. Anak perempuan itu melambaikan tangannya dan segera menghilang ke tengah keramaian. Pandangan mata Zian tampak kabur, kedua kakinya terasa lemas membuat dirinya jatuh bersimpuh. Dahinya dipenuhi oleh keringat dan napasnya tampak tersengal. Melly dan tamu yang ada disekitarnya berteriak panik. Dengan padangan mata yang tak lagi jelas, Zian mencoba mencari sosok anak perempuan itu. Namun tidak berhasil.
“Alina…” Lirih Zian.
***
Bersambung....