Sebelum pulang, Arum ke kamar kakaknya dulu untuk bicara dengannya. Kebetulan pintu kamar terbuka jadi Arum bisa langsung masuk. “Kak,” panggilnya dan duduk di bibir ranjang. “Jangan gitu sama Bunda, dia orang yang lahirin aku.”
“Bukan orang yang lahirin aku.”
“Tapi seenggaknya dia rawat kakak dari kecil ‘kan? Kalau kakak emang takut kerebut, nyatanya Ayah tetep prioritasin kakak. Jangan kekanak-kanakan deh, umur udah tua gitu juga.”
Lolita yang sedang duduk di meja rias itu langsung memandang Arum dengan tajam lewat cermin. Arum kembali berdecak, “To the point aja deh. Kakak kuliah jurusan hukum lagi pasti karena mau firma hukum punya ayah ya?”
“Sok tau kamu. aku gak butuh itu ya.”
“Halah, keliatan banget bohongnya.” Arum menggoda. “Idungnya kembang kempis itu, pasti beneran pengen ya?”
“Bisa gak kamu keluar?” Lolita tampak jengkel, yang bodohnya dibalas kekehan oleh Arum. Anak itu tidak kenal takut.
“Gak mau.” Menjawab seperti itu sambil merebahkan tubuhnya di atas ranjang. “Kakak gak capek apa ya? tiap hari simpen dendam iri dengki sama keluarga sendiri. pikirin deh kalau suatu saat sakit, siapa yang jagain? Tetep keluarga lah. Kalau kakak emang beneran mau firma hukum itu, bilang sama ayah secara jelas. Jangan bikin keributan pake mood yang naik turun.”
“Bisa gak kamu keluar?”
“Kakak sampe kapan di sini? atau mau cari jodoh di sini?”
Lolita kesal, dia langsung berdiri dan menarik tangan Arum supaya keluar dari kamarnya. “Pergi kamu.”
“Tuh kan sensitive mulu kayak gigi berlubang. Ini pasti tambahan efek nambah umur ya? kakak mau aku cariin jodoh gak?”
BRAK! Namun pintu kamar sudah tertutup tepat di depan wajah Arum.
“Nak, jangan ganggu kakak kamu,” ucap Restu dari bawah. Malam ini, Arum memutuskan untuk menginap saja di sini dan memastikan kakaknya tidak berulah lagi. Dia bergabung dengan keeluarganya yang sedang menonton televise sekarang. “Arum mau nginep deh, besok pagi ke café dari sini aja.”
“Jangan lupa garap skrispi, kamu harus cepet cepet ambil alih tempat kerja Ayah.”
“Sama Kakak aja, Yah, dia kan udah jadi pengacara sekarang.”
“Kakak kamu gak bilang mau sampe kapan di sini. takutnya kan ditinggal, lagian itu jatah kamu, Nak. Dulu Lolita sendiri yang nolak di bidang hukum makannya ayah mati-matian modalin dia buat buka brand fashion sendiri,” ucap Rico yang merangkul istrinya sambil menonton siara televise.
Pensiunan sebagai pengacara, kedua orangtuanya memiliki bisnis kost-kostan di sekitaran kampus, jual beli rumah yang sudah rusak dan diperbaiki, dan Bundanya focus pada bisnis aksesories dan makanan kering. Jadi pendapatan selalu berlimpah ruah.
“Kakak makin hari makin ganas aja, makin ilang juga perikemanusiaannya.”
“Arum jangan gitu.” Sang Ibu memperingati.
“Atau efek dia gak nikah nikah ya, Yah?”
“Ayah juga gak tau. Selama ini dia gak keliatan bawa laki laki. Ayah mau jodohin dia tapi takut dia malah gak nyaman.”
“Jodohin aja, Yah. Biar nanti marah-marahnya sama lakinya, gak sama kita.”
“Arum.” Restu kembali menatap tajam sang anak. “Mas tuh, anak kamu gitu.”
“Emang Kakaknya gak bisa ditebak sih. Mas juga bingung.”
“Aku ajak ke sini ya? biar dia gabung sama kita. Ada cookies yang dia suka loh, atau dianterin aja ya?” tanya Restu. Dari dulu dia mencoba menggapai anak sambungnya tersebut tapi tidak pernah berhasil. Selalu menghindar.
“Jangan,” ucap Rico. “Tangan kamu luka.” Juga mengingat berapa kali penolakan yang dilakukan oleh sang anak. Arum pun melarang sang Ibu pergi menemui Lolita, bisa bisa Restu dalam bahaya. Bahkan dulu Lolita pernah melemparkan barang padanya.
Tanpa mereka ketahui, Lolita melihat dari lantai dua. Kebersamaan itu yang sangat dia benci, mengepalkan tangannya dan pergi lagi ke kamar dengan wajah yang memerah menahan tangisan. “Ibu…., ayah bener bener bukan milik aku lagi,” ucapnya menangis sendirian.
***
Arum menatap poto profil Jean yang masih tidak ada, benar benar tega memblokirnya. Sampai tengah malam, Arum masih tidak bisa tidur dan mendapati poto profil Jean sudah ada. “Hihihi, dia belum tidur ternyata.”
ME: Hai, Mas.
Menyapa seperti itu, barangkali dia akan membalas dan mereka bisa lebih dekat. Namun sedetik kemudian, poto profil Jean kembali hilang. “S*tan! Gak ada akhlak emang ini aki-aki.”
Namun dua detik kemudian, Arum mendapatkan balasan dengan poto profil Jean yang kembali terlihat.
Mas o***g: Besok malam ke rumah saya. Lagi pengen.
Arum berdecak.
ME: Hilih, pas ada pengennya baru balas, tadi aja diblokir terus.
Mas o***g: saya salah blokir, kalau yang pertama enggak.
ME: Jangan bohong, bilang aja tadi emang diblokir tapi sekarang lagi kepengen kan? Makannya besok diminta dateng ke rumah.
Mas o***g: Gak jadi. Besok gak usah ke rumah saya.
Arum panic seketika dan langsung mengirimi pesan penyesalan kalau dia akan segera datang ke sana. mana bisa melangkah mundur sekarang, Jean sudah melihat seluruh tubuhnya dan harus bertanggung jawab akan hal ini.
“Besok ya?” Arum bergumam, dia jadi tidak sabaran. Mau apa nantinya? Apa tidur bersama lagi? “Harus beli obat penyubur deh kayaknya,” berucap pada diri sendiri.
Karena Arum belum mengantuk, dia tetap terjaga sampai tiba tiba terdengar suara desahan… “Ahhhhh…” matanya langsung membulat, Arum menoleh pada dinding di sampingnya, pasti ulah kedua orangtuanya. “Pasti mereka lagi perang dunia ketiga.”
Tahu tidak akan bisa tidur, Arum memutuskan untuk pulang saja. biar besok pagi dia satpam yang memberitahukan kepulangannya pada kedua orangtuanya di sana. “Neng yakin mau pulang jam segini?”
“Yakin, Mang. Males kalau di sini, nanti denger yang aneh aneh,” ucapnya bergidik.
“Yang aneh apa, Neng? Ada s*tan?”
“Iya, kakak aku kayaknya bawa set*an ke sini deh.” Berucap asal dan menyetir sendiri. karena Arum lapar, dia memilih mampir ke salah satu resto yang buka 24 jam di tengah malam.
“Terkejut aku…. ternyata banyak orang yang masih bangun di sini,” ucap Arum melangkah masuk, dia duduk di salah satu kursi dekat jendela.
Karena ini resto China, maka tiap tempat duduk memiliki sekat dari bamboo hingga tidak bisa melihat siapa yang ada di belakangnya, tapi masih bisa mendengar suaranya.
“Mas Jean,” panggil seseorang seperti itu.
Tubuh Arum langsung menegang, Jean duda anak dua bukan ya?
“Maaf, Lidya,” jawab seseorang yang menjadi bukti kalau itu memanglah Jean.
“Mas gak bisa kasih aku kesempatan sama sekali gituh, Mas? aku beneran suka sama kamu.”
“Gak bisa. maaf. Daripada kamu sakit hati makin dalam, mending ditolak. Kemungkinan saya suka balik ke kamu itu minus banget. Terlebih lagi saya tau kalau yang kamu harapkan itu adik saya. Jadi, tolong jangan ganggu saya lagi dalam hal mengejar cinta. Itu mengganggu sekali.”
Senyuman Arum lebar sekali, ternyata saingannya sudah ditolak mentah-mentah. Sementara dirinya masih bisa melangkah maju dan menikmati kebersamaan dengan Jean. Arum menatap ke samping jendela dan tersenyum dengan sangat lebar.
“Ini pesanannya, Mbak.”
Arum mengangguk, masih dengan senyuman penuh haru. Terlihat jelas kebahagiaan di matanya sampai membuat pelayan kebingungan. Pelayan itu ikut melihat arah tatapan Arum, di sana ada kecelakaan sepeda motor dan mobil yang masih dalam proses pertolongan.
“Ya ampun psikopat,” gumam pelayan itu.
“Makasih banyak ya, Tuhan. Indah sekali,” gumam Arum karena telinganya kembali mengulang apa yang dirinya dengar.
“Gak normal.” Pelayan itu buru buru pergi.
***
Seperti rencana, hari ini Arum lebih banyak berada di apartemen untuk menyiapkan diri. Dia berendam air bunga, minum supplement penyubur dan membersihkan setiap inci dari tubuhnya. “Empedu sama temen temennya aja yang gak bisa gue bersihin,” ucap Arum pada dirinya sendiri.
Hampir tiga jam dia berada di kamar mandi supaya tubuhnya tercium wangi. Beberapa telpon yang masuk benar benar mengganggu. Dan saat tau kalau itu bukan Mas o***g, Arum selalu berdecak. Contohnya saat kedua orangtuanya marah karena dia pulang tanpa alasan, lalu disusul dengan dosen yang memintanya cepat menyelesaikan skripsi dan sekarang pegawai café yang memberitahu kalau barang yang dikirim tidak sesuai dengan apa yang dipesan.
“Retur aja barangnya kalau gak sesuai.”
“Mereka ngotot, Bu. Saya harus gimana ini?”
“Nanti saya ke sana.” arum menutup telpon. “Hadeuuhh, tau aja mau seneng seneng malah dihadang terus.”
Jean meminta Arum datang sore hari, sekalian saja Arum membawa makanan untuk makan malam. Tidak lupa juga Arum membeli mainan untuk bisa dekat dengan dua bocah tersebut. datang dulu ke café untuk menyelesaikan permasalahan.
“Wah, Ibu cantik banget. Mau kondangan ya, Bu?”
“Diem kamu,” ucap Arum pada pegawai yang menjaga di depan. Dia langsung melangkah masuk dan pergi ke bagian kantornya, melihat pegawainya yang sedang dimaki maki.
“Ini bukan salah saya lah! Orang kalian pesennya itu! minta saya bawa barangnya lagi? Gila ya! nanti saya dimarahin boss saya!”
“Tapi bapak yang salah karena gak baca dengan benar pesenannya.”
“Dibilangin pas masuk ke saya gak gitu pesannya.”
“Terus? Hilang di jalan gitu? Coba saya lihat pesan yang bapak terima.”
“Gak percaya situ sama saya hah?! Gue geprek ya lu! Sama kayak hape gue yang gue geprek nih!” kemudian pria bertubuh gemuk itu mennyimpan ponselnya di lantai dan memukulnya dengan vas bunga yang ada di sana.
Arum yang menyaksikan itu memutar bola matanya malas, itu digeprek atau ditekan? “Kurang kuat itu geprekannya,” ucap Arum membuat semua orang mengalihkan pandangan padanya.
“Siapa lu?”
Dua pegawai itu langsung berlari untuk berlindung di belakang Arum. “Bu, saya takut.”
“Udah, kalian keluar aja layanin pelanggan. Saya yang urus.”
“Gue tanya situ siapa hah?!”
“Set*an,” ucap Arum kesal. “G*bloknya kebangetan nyampe gak bisa bedain mana bidadari sama s*tan deh.”
“Lu ngomong apa?!”
“Bu, dia marah lagi.”
“Hehehe, nggak, Mas. saya bercanda tadi. Saya ini pemilik café di sini. kita ngobrol bentar ya berdua, biar gak gerah.” Arum mengibaskan rambutnya menggoda.
Pria tua itu langsung menelan salivanya kasar dan mengangguk duduk.
“Kalian keluar ya, saya mau ngomong sama Mas ganteng ini dulu,” ucapnya pada pegawainya. “Jangan lupa tutup pintu. Achhh….” Bertingkah b*nal dan membuat mereka kaget.
Tapi karena takut, mereka tetap melakukannya. “Si ibu beneran mau selesain pake cara gitu?” dan lebih kaget ketika mendengar suara pintu dikunci dari dalam.
“Mana mau dia, jangan mikir yang aneh aneh.”
“Masa tadi siibu kayak mau ngegoda gitu?”
Mereka berdua malah bergosip di dekat ruangan itu. “Kalau siibu kenapa napa gimana? Malah khawatir dia babak belur deh.”
“Gue malah takut siibu jual tubuh. Bagus gitu.”
“Dibilangin pasti gak akan mau sama aki aki.”
Kemudian terdengar bunyi pukulan dari dalam sana. entah apa yang menjadi obyek pukulan karena berulang kali dan tidak terdengar suara. Memancing karyawan lain untuk datang dan menanyakan apa yang terjadi. “Gue udah siap hubungin ambulance.”
“Gue juga udah siap hubungin polisi.”
Mereka sama sama khawatir dengan boss mereka.
Sampai terdengar kunci pintu terbuka, dan seseorang keluar dari sana. “Siap siap hajar itu aki aki bangkotan, guys.”
“Oke.”
“Hiyaaaa!” mereka bersiap menyerang saat melihat postur pria yang keluar lebih dulu.
“Ampun!” pria berbadan besar itu langsung berjongkok dan memeluk kepalanya. Dia mengadah. “Mas, ampun, jangan gitu. Mbaknya juga. Tolong biarin saya pergi.”
“Heh, biarin dia pergi,” ucap Arum keluar dari ruangan dalam keadaan baik baik saja.
Sampai para pegawai itu sadar kalau yang babak belur itu si pria tua, bukan majikannya. “Sana pergi, Pak,” ucap Arum lagi.
“Baik, Bu.”
“Heh, salah. Jangan gitu ngomongnya.”
“Baik, Dewang debi Mama penguasa alam bidadari yang adil makmur dan sentosa.”
Arum berdecak. “Yang mulia ratunya ketinggalan, Pak. Udah sana pergi dah.”
Pria tersebut langsung pergi dengan cepat. Arum mengedarkan pandangan pada karyawannya. “Kenapa di sini? sana layanin pelanggan.”