9. Setelah 36 Bulan Purnama

1234 Words
3 Tahun kemudian. Salwa berjalan pelan menyusuri lorong tempat kerjanya. Memakai blazer warna putih dan rok plisket warna peach semata kaki, serta menggunakan hijab warna mocca yang membuat wajahnya terlihat lebih bersinar. Cantik alami walau hanya menggunakan make up tipis yang terkesan natural. Perempuan itu tersenyum tipis kepada semua orang yang dilewatinya, menundukkan sedikit kepalanya untuk menjaga kesopanan. "Pagi, Mbak Salwa," sapa salah seorang office boy yang kebetulan sedang mengepel lantai di depan resepsionis . "Pagi juga, Mas Jo," sapa balik Salwa pada pria bernama lengkap Joko tapi lebih suka dipanggil 'Mas Jo'. Katanya biar lebih gaul. Salwa hendak melewatinya tapi tak jadi karena Mas Jo memanggilnya. "Ada apa, Mas?" tanyanya kalem. "Anu, Mbak... Ee, dengar dari bisik-bisik tetangga, katanya atasan Mbak yang baru galak ya?" ucap Mas Jo pelan sambil memandang sekeliling takut orang yang dibicarakan tiba-tiba muncul layaknya di sinetron-sinetron yang sering dia lihat. "Ehmm, gimana ya, Mas." Salwa tersenyum kikuk. "Sebenarnya bukan galak, tapi lebih tepatnya disiplin dan perfectionist. Seperti atasan-atasan pada umumnya, tegas dan berwibawa. Atasan kita yang baru ingin bawahannya lebih baik lagi dalam hal pekerjaan," imbuhnya menjelaskan. "Oh, gitu, Mbak. Ya, semoga aja betah ya, Mbak, kerja sama Pak Kenjo itu," oceh Mas Jo membuat Salwa tersenyum. "Pak Kenzo, Mas Jo, bukan Pak Kenjo. Pakai Z bukan pakai J," ujar Salwa. "Aduh, lidah saya lidah Jawa e, Mbak," kelakar Mas Jo. "Ya sudah saya ke atas dulu, Mas. Nanti takut Pak Kenzo datang tapi saya masih di sini. Saya nggak mau di suruh lembuh kayak Mas Ibra kemarin," ucap Salwa bercanda setelah melihat jam ditangannya yang menunjukkan pukul 07.45 menit. Salwa memasuki lift dan menekan tombol lima belas menuju ruang kerjanya. 'Tiingg' Begitu lift terbuka,dengan pelan tapi pasti ia berjalan di lorong menuju ruang kerjanya. "Assalamu'alaikum semua," sapa Salwa kepada tiga orang yang sudah duduk di meja kerja masing-masing. Haris, Rina dan Ilham, teman satu tim Salwa di bidang desain grafis. "Assalamu'alaikum ukhti, nikah yuk," goda Haris menjawab ucapan salam Salwa. Salwa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum mendengar gombalan receh Haris. Dia sudah sangat paham dengan gombalan-gombalan yang Haris katakan setiap harinya selam 6 bulan mereka bekerja bersama. Haris ini adalah kekasih sahabatnya Salwa, Nada. Mereka tidak sengaja bertemu sewaktu Salwa dan Nada jalan bersama. Berlanjut meminta alamat sosmed dan no telepon, mereka jadian pasca dua minggu mereka pendekatan. Yang Salwa nilai terlalu cepat, tapi Nada fikir, dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama sama Haris. Salwa tidak bisa melarang seseorang untuk tidak jatuh cinta, tapi Salwa selalu mewanti-wanti temannya itu untuk tidak terlalu jatuh pada pesona lelaki apalagi sampai hilang akal untuk menyerahkan kehormatannya. "Pagi Mas Haris," sapa Salwa ketika sudah duduk di kursinya. "Pagi juga, Wawa cantik." Haris memperlihatkan senyum lebarnya pada Salwa. Salwa juga ikut tersenyum sembari menyalakan komputernya dan menyiapkan beberapa berkas. "Wa, kalau dilihat-lihat makin hari kok wajah kamu kelihatan lebih bersinar ya, jadi semakim glowing splending gitu. Jadi pingin ngelihat wajah kamu terus kalau pas bangun tidur." Haris mengedipkan matanya ke arah Salwa dan Salwa hanya tersenyum tipis sembari mengeluarkan catatan dari dalam tas nya. "Huek" Rina pura-pura mau muntah mendengar gombalan receh temannya. "Heran gua, udah 6 bulan gua dengar kucing garong gombalin Salwa, tapi sampai sekarang kok gua masih pingin mutah ya dengarnya." Ilham tertawa mendengar Rina menyindir Haris. "Apaan sih lo, Rin. Lo itu dari dulu kok kaya nggak suka gitu sih sama gua. Salah apa sih aku sama kamu?" Haris masih melanjutkan dramanya yang hanya dilirik malas oleh Rina. "Aku pernah nyakitin kamu? Aku pernah nyinggu….auww. Sakit Rin anj…." "Halo, Nada, pacar ka…" Rina pura-pura menelepon Nada yang segera mendapat dorongan dari sang tersangka seraya menyelamatkan i phone nya yang nyaris terjun bebas ke lantai. "Lo jangan ember dong, Rin, gua tadi mau bilang astagfirulloh, Rin, suer." Haris mengangkat dua jarinya ke atas membentuk tanda peace. "Lo mah nggak asik, dikit-dikit ngadu, diki-dikit ngadu. Kaya emak-emak di komplek rumah gua lo." Semenjak menjalin hubungan dengan Nada, Haris yang biasanya bermulut sampah mendadak jadi uztad. Nada akan menjewernya layaknya anak kecil jika mendengar Haris tak sengaja mengumpat. " Untung hp guang nggak jatuh, Monyet!" maki Rina. "Kalau hp gue tadi jatuh, gua bakalan sunat titit lo sampai habis. Biar lo nggak bisa sebar benih lagi." "Astagfirullahalazim, omongan lo. Dosa , Rin, sebar benih sembarangan," ujar Haris menampilkan wajah sok malaikatnya. "Heleh, taek," ketus Rina mengacungkan jari tengahnya dan melotot kepada Haris. Membuat Haris tertawa terbahak-bahak. "Cicilan aja belum lunas, bisa depresi gua kalau jatuh," curhatnya kemudian semari mengusap-usap ponselnya penuh sayang. "Sepuluh menit lagi Pak Kenzo datang nih, kok Ibra belum nongol juga ya," ujar Ilham saat meilhat bilik Ibra kosong tanpa penghuni. "Nggak kapok apa diajak lembur si Bos baru. Mau pulang lewat tengah malam lagi." Mas Ilham ini termasuk salah satu orang yang waras bersama Salwa. Meskipun usiannya tidak terpaut jauh dari Haris dan Ibra, tapi pemikirannya jauh lebih dewasa dan bisa diandalkan untuk menjadi penengah. Belum sampai Haris menjawab pertanyaan Ilham, yang dibicarakan sudah nongol dengan senyum pepsodennya. "Pagi, Wawa, gimana tidurnya semalam?" Ibra duduk di kursi kerjanya yang kebetulan berdampingan dengan meja kerja Salwa. "Assalamu'alaikum, Mas Ibra," sapa Salwa tersenyum. "Alhamdulillah, Wawa tidurnya nyenyak semalam." "Wa'alaikumsalam, Dek Wawa." Ibra ikut tersenyum. "Mas ibra belum selesai nanyanya, maksud Mas, gimana semalam tidurnya? Mimpiin Mas Ibra nggak?" godanya pada perempuan berjilbab itu. Salwa menaikkan alisnya tanda tak mengerti. "'Kan sebelum tidur, Mas Ibra udah doa semoga Mas bisa hadir di mimpi kamu," gombal Ibra yang mendapat lemparan bolpoin dari arah belakangnya. "Aw, s**t! k*****t, saiap yang lemparin kepala gue barusan." Ibra mengusap pelan kepalanya dan berbalik ke belakang menghadap meja Haris. Tapi bukan wajah haris yang ia lihat melainkan bos baru yang dipindahkan dari kantor cabang Surabaya. "Kenapa, Ibra?" Suara tegas itu menyapa gendang telinga pria yang hanya diam tak berkutik di kursinya. "Siapa yang kamu bilang k*****t?" tanya Kenzo menatap Ibra tajam. Salwa diam tak berani berkutik seraya melanjutkan pekerjaannya. Haris dan Rina berusaha menahan agar tidak tertawa keras mendapati Ibra yang tak berani berkutik di hadapan Pak Kenzo. "A.. anu, Pak."Ibra menjawabnya dengan terbata-bata. "B-bukan siapa-siapa kok, Pak. Saya tadi bilang perfect, Pak, bukan k*****t. Bapak salah dengar mungkin." "Jadi maksud kamu saya tuli?" Kenzo masih tak mengendurkan tatapan tajamnya. Memuat nyali Ibra menciut. "Allhohuyarrobbi." Ibra mendesah dalam hati. "Salah lagi," gumamnya kemudian. "Apa?" "Enggak, Pak. Enggak. Saya nggak bilang apa-apa kok," sahut Ibra cepat takut membuat Pak Kenzo semakin marah. "B-bukan maksud saya ngatain bapak k*****t, tapi..." "Jadi kamu ngaku kalau tadi bilang kampret." "Pak, ya Alloh. Saya nggak sengaja. Sumpah!" "Kalau begini aja kamu jadi sering nyebut" sindir telak Kenzo. Ibra hanya meringis pelan. "Perusahaan ini menggaji kamu bukan buat teriak-teriak dan ngobrol-ngobrol ya? Kurang kerjaan kamu, sampai punya waktu luang buat ngobrol kaya gini. Apa perlu saya kasih tambahan kerja lembur seperti kemarin?". "Ma'af, Pak Kenzo, kerjaan saya sudah banyak, Pak. Bapak tidak perlu menambahnya lagi." Ibra berdiri dan sedikit membungkuk, tanda ia sedang meminta maaf. "Untuk kalian semua! Saya tidak ingin hal ini terjadi lagi untuk kedepannya. Saya harap kalian sudah cukup dewasa dan cukup tahu, mana waktu yang tepat untuk ngobrol dan mana waktu yang tepat untuk bekerja." Kenzo memberikan ultimatum seperti biasanya. "Baik, Pak," jawab serentak lima orang pegawai yang ada di ruangan itu. Selesai dengan briefing dadakan, Kenzo berjalan tegas menuju ruang kerjanya yang terletak di ujung ruangan. Meninggalkan para pegawainya yang tanpa sadar menghembuskan nafas lega.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD