bc

Six Of Alphabeth

book_age12+
505
FOLLOW
2.7K
READ
family
friends to lovers
brave
confident
drama
no-couple
highschool
first love
friendship
school
like
intro-logo
Blurb

SMA Pancasila punya dua pentolan. Mahesa si anak kelas dua belas, dan Bara si anak kelas sebelas. Semua siswa tahu bagimana keduanya tak pernah akur. Keduanya selalu terlihat bermusuhan dan saling menantang. Bara membenci Mahesa, itu yang ia rasakan saat pertama kali bertemu dengan laki- laki itu, dan kini keduanya terlibat pusara konflik dengan Ayra dan Lara si anak baru kelas sepuluh, juga Ciara si ketua osis, siswi paling pintar di sekolah itu.

Ini cerita tentang cinta, persahabatan, dendam, sakit hati, rasa bersalah dan segala rasa yang seharusnya tak mereka rasakan. Tentang berjuang menjadi yang paling tangguh demi menghilangkan sakit hati, atau menjadi yang paling ikhlas demi sebuah kata maaf.

Inilah cerita putih abu- abu mereka.

chap-preview
Free preview
CHAPTER SATU
            Matahari masih mengintip malu- malu saat jalanan sudah tampak ramai. Anak- anak sekolah memadati angkutan umum, juga trotoar, beberapa lagi memadati jalanan dengan motor dan mobil yang tumpanginya.             Senyum merekah di bibir mereka. Tak peduli tampilan mereka tampak memalukan. Karena dilakukan bersama- sama, atribut MOS yang tampak aneh itu sama sekali tak mengurangi semangat mereka menyambut hari baru. Anak- anak berseragam putih biru itu memasuki kawasan SMA Pancasila. Mereka siap menyambut tahun ajaran baru sebagai seorang anak SMA. Kebahagiaan mereka membuncah karena merasa selangkah lebih dewasa.              Koridor lantai satu sudah penuh oleh anak- anak MOS yang belum dibagi ruang kelasnya. Mereka bergerombol, berkenalan dengan anak- anak lain, menatap gedung lantai tiga sekolah mereka yang tampak kokoh, atau membicarakan beberapa kakak osis yang mulai terlihat di lapangan. Mata mereka semua memindai sekeliling. Menatap dengan cermat sekolah impian mereka.   ***               Lara memperhatikan wajahnya di cermin, hanya sekilas, karena ia sangat membenci benda yang memantulkan gambar dirinya itu. Ia hanya memastikan bahwa kini ia benar- benar terlihat memalukan. Pita warna- warni di kepalanya, kalung dengan bandul- bandul permen. Ia mengalihkan pandangannya dari cermin lalu melihat ke bawah, kaos kaki belang- belang sukses membuat penampilannya seperti badut. Belum lagi topi kerucut yang masih harus ia pakai di kepalanya saat sampai di sekolah nanti.             "Laraaaaaaa." Suara melengking itu masuk ke gendang telinganya. Ia tersadar lalu menyambar tasnya di atas meja belajar menghampiri pintu, menekan handle dan membukanya pelan. Seseorang laki- laki dengan atribut serupa dirinya berdiri di depannya. Laki- laki itu menatapnya jengkel.             "Lo tuh ya, kalau nggak diteriakin di depan kamar, pasti nggak bakal keluar. Nggak lihat ini udah jam berapa?" Keluh Kamal dengan kesal, ia sudah menunggu hampir lima menit dan membunyikan klakson di depan pagar, tapi orang yang ia tunggu tidak juga keluar hingga akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.             "Bawel." Sentak Lara. Ia langsung menarik tangan Kamal keluar rumah. Bagaimanapun, Kamal ada benarnya, kalau mereka tidak segera berangkat, mereka bisa telat dan itu bisa menjadi masalah besar. Tidak ada anak yang mau telat di hari pertama MOS.             Motor Kamal membelah jalanan yang pagi itu tampak macet. Lara meruntuk di jok belakang dan melirik jamnya sesekali. Ia bergerak gelisah di belakang Kamal yang tengah berusaha menyalip dari berbagai sisi.             “Lo sih, lama.” Rutuk Kamal saat mendengar Lara tak henti- hentinya menggerutu pada jalanan padahal mereka tak akan mengalami kemacetan seandainya berangkat lebih pagi.             Motor Kamal berhasil masuk ke SMA PANCASILA. Tapi, seperti dugaan mereka, lapangan itu sudah penuh oleh barisan anak- anak baru seperti mereka. "Gawat, Ra, beneran telat kan kita." Kata Kamal setelah memakirkan motornya di parkiran.             Lara membuka helmnya dan memberikannya pada Kamal. Ia menarik napas kasar lalu memperhatikan barisan yang terpisah itu. Barisan kanan diisi oleh anak perempuan sedangkan barisan kiri diisi oleh anak laki- laki. Di depannya, ia bisa melihat seorang kakak OSIS tengah berorasi.             "Lo ke kanan ya, gue ke kiri. Nunduk- nunduk, biar nggak ketahuan. Ambil barisan paling belakang." Kata Kamal. Lara mengangguk tanda mengerti. Setelah berjabat tangan, mereka berpencar. Satu ke kanan dan satu ke kiri.             Lara memperhatikan sekeliling. Sebenarnya ini bukan hal baru baginya. Waktu di SMP, ia sudah terkenal suka bolos di tengah- tengah pelajaran. Tapi masalahnya, ini sekolah baru, ia belum mengenal tempat- tempat aman sehingga butuh perhitungan besar untuk bisa menyelinap ke barisan paling belakang.             Ia bersembunyi di balik pohon, lalu ke belakang mobil. Setelah memastikan tidak ada yang bisa dijadikan tempat untuk menyembunyikan diri dan ia harus langsung berjalan ke barisan belakang, ia menarik napas panjang, memerhatikan keadaan sekitar sampai benar- benar aman.             "Telat ya?" Suara terdengar dari belakangnya.             Lara mengangguk. Ia tidak menoleh, malah balas menjawab. "Lo telat juga?" katanya, masih melihat sekeliling. Tatapannya terfokus pada salah satu OSIS yang tengah berpatroli di barisan belakang. Ia bertekad menunggu satu orang itu, kalau sudah tidak ada, ia akan langsung berlari sambil menunduk dan menyelinap ke barisan belakang. Beres. Gampang. Katanya dalam hati.             "Iya." Suara itu menyambutnya.             "Laki- laki di sebelah kiri, lo ngapain di sini? Ini kalau mau masuk barisan perempuan." Katanya saat menyadari bahwa suara yang ada di belakangnya adalah suara laki- laki.             "Gue di sini patroli. Mau nangkepin anak- anak yang telat." Seketika itu juga Lara tersentak. Ia terdiam hingga akhirnya memberanikan menoleh.             Seringai dari kakak kelas itu menyambutnya. Laki- laki itu bertubuh tegap dengan kulit kuning langsat dan rambut yang di sisir rapi. Pita merah yang ada di pergelangan tangannya menunjukkan bawah laki- laki adalah salah satu anggota OSIS.             "Telat?" katanya dengan sorot tajam yang siap mencabik- cabik Lara. Lara mengangguk, tapi sama sekali tidak menunjukkan raut wajah bersalah.             "Mau ke depan sendiri apa gue seret?" katanya dengan nada dingin. Tidak menjawab, Lara langsung berjalan ke depan. Ia melangkah mantap dan membuat mata kakak OSIS itu terbelalak. "Bukannya di jawab dulu." Ia mendesis lalu mengejar langkah gadis itu.             "Siapa yang suruh baris di sana?" Teriaknya saat Lara baru saja memenuhi barisan paling belakang.             "Ya memang saya disuruh baris di mana lagi? Ini kan sudah barisan anak perempuan." jawabnya dengan nada datar.             "Maju sana ke depan. Depan mimbar." sentaknya. Beberapa anak mulai mengalihkan padangannya. Puluhan pasang mata itu mulai mencari sumber keributan dan menghujam keduanya dengan berbagai macam tatapan.             "Nggak mau ah, di sana nggak ada barisan. Masa saya baris sendiri." Kata Lara tanpa takut.             Laki- laki itu bertolak pinggang lalu maju selangkah lebih dekat. "Itu karena cuma kamu yang telat. Buruan maju." Kata- kata terakhir diucapkan dengan keras. Membuat Lara mundur satu langkah dan membuatnya sadar bahwa semua mata kini menghujam sosoknya.             Lara tidak punya pilihan lain. Setelah menatap kakak kelas itu dengan kesal sambil berdecak, ia maju ke depan. Ia berdiri dalam posisi siap di depan mimbar, di depan ratusan anak- anak baru seperti dirinya. Membuat Kamal yang melihat langsung menepuk jidatnya. Kamal lebih beruntung karena tidak ada OSIS yang berpatroli di belakang sehingga ia dengan mudah menyelinap ke barisan.             Bisik- bisik itu langsung terdengar. Ada yang menatapnya kasihan, ada juga yang cekikikan. Setelah Ciara si ketua OSIS selesai memberikan sambutan, barisan dipisahkan. Laki- laki digiring ke lapangan di belakang sekolah sementara perempuan tetap di tempat.             Malangnya, semua osis perempuan ternyata bertugas mengurus anak laki- laki, begitupun sebaliknya.             "Ini yang telat enaknya kita apain?" seru Bara pada Dimas. Sementara barisan lain sudah mulai sibuk dengan kegiatannya. Lara menatap keduanya dengan yang saling menyeringai seperti macan yang baru saja mendapatkan mangasa. Lara sudah menghela napas, ia tahu bahwa laki- laki itu tidak akan melepaskannya dengan cuma- cuma. Seperti kegiatan MOS pada umumnya, laki- laki itu mungkin akan mengerjainya.             "Lalat." Ia membaca karton yang tergantung di leher gadis di depannya. Para OSIS memang menyuruh juniorr- juniorr itu menuliskan nama hewan dengan huruf depan yang sama dengan namanya, sementara nama asli mereka ada di balik karton.             "Dimas, dipanggil Ciara. Buruan." Dimas menoleh ke asal suara. Salah satu OSIS menatapnya dan mengisyaratkan dirinya untuk ikut dengannya menemui ketua OSIS di lapangan belakang sekolah.             "Lo yang urus deh." katanya sambil menepuk pundak Bara dan berlari menjauh.             Bara tersenyum lalu menatap gadis di depannya baik-baik. "Lalat, itu kan hewan jorok. Kenapa nggak pilih hewan lain sih." Laki- laki itu melipat kedua tangannya di depan d**a lalu menatap Lara yang wajahnya tampak tak terintimidasi oleh tatapannya.             "Suka- suka saya dong, Kak." Jawabnya enteng.             "Lo nggak sopan banget, ya, sama Kakak kelas." Bara berdecak, ia mulai berpikir untuk memberikan pelajaran pada gadis di depannya. Lara membalasnya dengan tampang cuek. Dulu, dia pentolan di SMP. Semua orang takut sama dia karena Lara bandelnya nggak kira- kira. Dia langganan diceramahin guru, selalu punya alasan untuk masuk ruang BP sampai ruang kepsek. Yang jelas, Lara selalu sukses membuat guru- gurunya darah tinggi karena terlalu sering berurusan dengannya.             "Lo sekarang pergi ke setiap kelas dua belas, mintain tanda tangan guru yang lagi ngajar." Katanya. Kalimat itu masuk ke gendang telingan dan kedua mata gadis itu langsung menajam.             "Nggak mau, ah. Itu namanya ganggu jam belajar, Kak." Katanya, tidak berusaha memelas sama sekali.             "Eh, yang senior itu siapa? Lo apa gue?" gertaknya. Lara diam, ia bersumpah akan memberi pelajaran pada laki- laki di depannya nanti.             "Nih." Laki- laki itu memberikan selembar kertas. "Tulis nama gurunya yang jelas. Gue cuma kasih waktu lo setengah jam. Kelas dua belas ada di lantai empat."             Lara menerima kertas itu dengan kasar, lalu menatap laki- laki di depannya yang mengulum senyum karena merasa menang. Ia lalu melirik gedung berbentuk U itu dan memandang ke lantai empat yang tampak sepi.             "Buruan." Suara itu menyentak dan membuat Lara langsung balik badan.   ***               Mahesa berdiri di depan pintu yang satu daunnya terbuka. Ia melirik ke dalam melalui jendela. Bu Ami, guru matematika kesayangannya sudah mengoceh di depan kelas. Ia melirik Iras, teman sebangkunya yang duduk di bangku paling belakang. Dan setelah melihat tidak ada celah untuk masuk ke dalam tanpa ketahuan, ia terpaksa mengetuk pintu itu pelan. Tak butuh waktu lama untuk mendapat tatapan tajam dari bu Ami. "Kamu siapa?" tanya bu Ami dengan kilatan tajam. Seisi kelas terkikik dan mengulum senyum. Mahesa menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu dengan senyum tanpa dosanya, ia masuk dan berdiri di sebelah gurunya. "Sekarang, mau alasan apa lagi? Ban motor kamu bocor? Kehujanan? Seragam belum di gosok? Kesiangan? Ada buku yang ketinggalan? Bantuin nenek- nenek nyari alamat? Atau nganterin pembantu kamu ke pasar dulu." koor tawa kontan membahana mendengar rentetan kata- kata bu Ami yang sepertinya sudah sangat hapal alasan- alasan tak masuk akal Mahesa. Mahesa tersenyum kecil. Belum sempat menjawab, pintu kembali di ketuk.             Wajah Lara terlihat di ambang pintu. Gadis itu tersenyum kaku saat merasa masuk di waktu yang tidak tepat.             "Ngapain kamu?" bentak bu Ami secara tidak sadar. Lara menelan ludahnya secara relfleks saat mendengar sentakan guru perempuan itu. Jantungnya tiba- tiba berdegup kencang.             "Ibu jangan galak- galak dong." Mahesa memerhatikan gadis di depannya dan membaca karton yang tergantung di depan dadanya. "nanti lalat takut." Suara gemuruh tawa kembali menguar. Membuat Mahesa garuk- garuk kepala karena merasa menyesal, gadis di depannya pasti malu karena wajahnya kini sudah memerah.             "Kenapa lalat, sih? Jorok banget. Kayak nggak ada hewan lain aja. Landak gitu kek yang lucu." Usul Mahesa.             "Siapa yang nyuruh kamu komentarin dia?" Penggaris bu Ami mendarat di pundak Mahesa. Laki-laki itu mengaduh. "Duduk kamu." Perintah bu Ami.             Mahesa tidak mau melewatkan kesempatan itu. Setelah melirik gadis di depannya sekilas. Ia langsung berjalan meninggalkan bu Ami dan duduk di kursinya.             "Kamu ngapain di sini?" tanya bu Ami lagi. Kali ini dengan nada yang sedikit lebih rendah. Dia memang suka terbawa emosi kalau berhadapan sama Mahesa dan bisa berakibat ke yang lainnya juga.             "Ehm... gini bu, saya disuruh mintain tanda tangan guru yang lagi ngajar di kelas dua belas." Jawabnya dengan nada terbata- bata.             "Siapa yang nyuruh?" tanya bu Ami.             Lara seketika itu juga menyesal. Kenapa ia tidak bertanya dulu, siapa senior yang menyuruhnya tadi.             "Saya belum kenalan, Bu." Anak- anak kelas itu cekikikan melihat kepolosan Lara. Suara helaan napas terdengar dari bu Ami.             "Yang lain nggak ada yang minta tanda tangan."             "Saya tadi telat, Bu, jadi dikasih hukuman." Jawab Lara pelan.             "Kamu lihat tuh, cowok itu." Ia menujuk Mahesa dengan penggarisnya. Lara ikut menatap Mahesa lekat- lekat. Laki- laki itu mengedipkan sebelah matanya lalu tersenyum pada Lara. "Dia juga sering telat. Jangan sampai kamu jadi Mahesa versi cewek ya." Guru itu mengambil lembaran dari tangan Lara dan membubuhkan tanda tangan di satu kotak kosong yang tersisa. Lembaran itu berpindah tangan. Tapi Lara sadar ada yang kurang. Belum ada nama di sana.             "Maaf, bu, nama Ibu siapa?"             "Bu Ami Saraswati. Guru matematika paling cantik di SMA Pancasila." Kata Mahesa dengan suara keras. Membuat yang lain tertawa sementara bu Ami menahan kesal.             Lara langsung mencatat lalu permisi keluar. Dan bu Ami kembali ke fokusnya dan kembali melanjutkan pelajaran sempat tertunda.   ***               Lara bergegas menunruni tangga dan berlari kembali ke lapangan. Kali ini barisan anak- anak MOS ada di lapangan samping, duduk berbaris di bawah pohon karena lapangan utama sudah terik oleh matahari. Sebagian di sana dan sebagian lagi sudah masuk ke kelas. Lara menghampiri kakak OSIS yang tadi menyuruhnya. "Nih." katanya sambil memberikan lembaran itu ke laki- laki di depannya.             Bara tersenyum. Tapi tidak juga mengembalikan Lara ke barisan yang seharusnya. "Kamu ikut ke barisan laki- laki yang ada di lapangan belakang, ya. Saya malas lihat kamu." katanya dengan raut wajah menyebalkan. Lara melotot. Kalau tidak ingat bahwa yang di depannya ini senior, Lara pasti sudah menghantam tulang selangka laki- laki itu.             Lara menyeberangi lapangan utama untuk sampai di lapangan kecil yang ada di belakang. Di sana ia menghadap salah satu seniornya.             "Misi, ka. Saya disuruh ikut barisan laki- laki." Katanya pada seorang gadis. Gadis itu, Ciara si ketua OSIS menatapnya dengan tatapan bingung.             "Lho, siapa yang menyuruh?"             Dan sekali lagi, Lara merasa begitu bodoh karena lupa menanyakan nama laki- laki menyebalkan itu. Gadis itu berdecak, "Saya lupa, Ka, belum kenalan."             Lara bisa melihat Kamal yang ada di barisan paling depan. Laki- laki itu menatapnya dengan tatapan kasihan "Yaudah, kamu balik lagi. Tanyain dulu siapa yang nyuruh kamu ke sini. Dan pastiin kalau dia anggota OSIS." kata Ciara. Bahu Lara melemas, membayangkan dirinya harus kembali melewati lapangan utama yang besar dan panas.             Lara melangkah gontai meninggalkan barisan anak laki- laki. Ia menyusuri lapangan yang terik untuk kembali menemui laki- laki itu.             "Kak, nama Kakak siapa?" teriaknya saat masih jauh. Bara menengok dan melihat Lara berjalan pelan menghampirinya.             "Kenapa ke sini lagi?"             "Mau tanya nama Kakak siapa? Di sana nggak ada yang mau terima." Katanya dengan nada ngos-ngosan. Wajah gadis itu sudah memerah dengan peluh yang membanjiri keningnya.             "Oh, Bara. Bilang Bara yang nyuruh." Katanya. Lara mendesis dan menatap Bara dengan sinis. Gadis itu kembali menjauh dan entah untuk keberapa kalinya melewati lapangan utama yang panasnya mungkin bisa untuk goreng kerupuk.             "Bara, Kak, Kak Bara yang nyuruh saya gabung di sini." Katanya saat kembali pada Ciara. Ia mengatur napasnya di depan Ciara yang merengut kesal.             "Dia lagi, dia lagi. Kamu balik sama dia. Kalau dia nggak mau terima kamu. Suruh ngadep Ciara, gitu."             "Hah?" Lara bersumpah akan memberi pelajaran untuk Bara kalau aktifitas MOS sudah selesai.             Kali ini, Lara butuh waktu lebih lama untuk sampai di kumpulan anak perempuan. Kakinya sudah pegal dan tenggorokannya kering. Ia yakin ia akan pingsan kalau di suruh kembali ke barisan anak laki- laki.             "Lho, kok balik lagi?" tanya Bara.             "Suruh balik ke sini. Kalau kak Bara nggak mau terima, suruh ngadep sama kak Ciara."             "Oh." Mata Lara membulat. Setelah ia bolak -balik karena ulah laki -laki itu, bisa-bisanya dia cuma bilang 'Oh'.             "Yaudah, kamu ikut baris sana." Lara menahan geram sambil menatap Bara sinis.   ***               Anak- anak mulai di bagi dalam beberapa kelompok. Satu persatu anak- anak itu berbaris rapi dan berjalan pelan menuju ruang kelas. Lara melangkah dengan gontai. Ia sudah kehabisan tenaganya sedangkan kegiatan MOS masih akan berjalan sampai sore.             Langkah Lara berhenti saat sebuah tangan membentang menghalangi jalannya. Lara menengadah dan melihat Bara berdiri di depannya. laki- laki itu mengisyaratkan barisan di belakang Lara untuk berjalan mendahuluinya.             Lara berdecak lalu melirik sinis Bara yang tampak tak puas karena telah mengerjainya. Selama MOS berjalan, laki- laki itu selalu ada di dekat barisannya, seakan- akan tak ingin melepaskan Lara sebagai mangsanya.             “Apa lagi, sih, Kak?” tanya Lara dengan nada menahan geram.             “Jalan yang benar. Badannya ditegakin. Jangan loyo gitu. Topi sama dasinya dibenerin.” Kata Bara. Ia melihat gadis di depannya menghela napas. Tangannya bergerak untuk membetulkan letak dasi dan topinya. Gadis itu mulai menegakkan tubuhnya dan mengambil posisi siap lalu melangkah dengan mantap hingga dengan sengaja menginjak kaki Bara yang langsung melontarkan sumpah serapah padanya.             Lara meneliti satu pesatu ruang dan sampai pada ruang tempat kelompoknya. Ia melongok ke dalam dan menyadari bahwa ada anak- anak laki juga di sana. Ia meneliti sekeliling hingga akhirnya menemukan Kamal di salah satu meja. Pria itu melambaikan tangan padanya.             Lara bergegas masuk saat mendengar derap langkah di belakangnya. Ia menghampiri meja Kamal dan meminta laki- laki di sebelahnya untuk menyingkir.             “Gue kan udah duluan di sini. Lo aja yang cari kursi lain.” Laki- laki itu tampak tak mau mengalah pada Lara. Keduanya sudah menjadi pusat perhatian di kelas itu.             Lara menghela napas. Ia tidak menyangka hari MOS pertamanya akan seberat ini. ia melangkah ke belakang lalu mengambil paksa tas laki- laki itu lalu melemparkannya ke salah satu kursi kosong yang ada di sana.             Anak lelaki itu baru saja hendak marah pada Lara saat terdengar pintu di gedor dengan sangat keras. Semua pasang mata itu teralihkan oleh tiga orang kakak OSIS yang memasuki ruang kelas. Lara duduk di kursi yang baru saja dikosongkan, tepat di samping Kamal. Matanya menatap Bara yang baru saja masuk dan menatapnya dengan tatapan sinis.             Bara melihat apa yang baru saja Lara lakukan. Ia tahu bahwa  gadis itu akan menjadi lebih menonjol dibandingkan anak lainnya. Gadis itu seperti tak punya rasa takut dan ia yakin, urusannya dengan gadis itu tak hanya akan berhenti saat MOS selesai.             Salah satu kakak OSIS memberikan materi tentang peraturan di sekolah itu. Dua orang OSIS lainnya menunggu giliran untuk memberikan materi lainnya.             Lara yang sudah sangat lelah menatap kakak OSIS di depannya dengan tatapan malas. Ia beberapa kali menguap dan mencoba menahan kantuknya.             “Ra, jangan tidur.” Bisik Kamal saat melihat Lara sudah menumpu wajahnya di atas kedua tangannya yang ia taruh di atas meja.             “Gue capek, Mal.” Kata gadis itu sambil memejamkan matanya.             “Ya, tapi jangan sekarang juga. Nanti aja, bentar lagi istirahat.” Kamal menatap cemas pada Lara matanya mulai terpejam.             “Ra…Ra…” Kamal menyenggol lengan Lara saat melihat Bara mendekat dan berdiri di samping gadis itu.             Laki- laki itu menatap Lara yang tak juga tergugah oleh bisikan teman sebangkunya. Bara menarik napas lalu menggebrak meja dan membuat Lara terlonjak, juga seisi kelas yang kaget.             “Sekolah bukan tempat untuk tidur.” Kata laki- laki itu. Lara mengucek- ngucek matanya dan menatap Bara sambil berdecak. “keluar sana.” Sentak Bara. Tanpa pikir panjang, Lara berdiri dan melangkah keluar kelas tanpa sepatah katapun.             Bara ternganga, begitu juga dengan seisi kelas. Kamal menatap gadis itu dengan tatapan cemas. Bara mengikuti langkah gadis itu dan terpaku saat melihat gadis itu melenggang santai menyusuri lorong.             “Berhenti!!!” Bara sedikit berteriak.             Langkah kaki Lara memelan lalu berhenti. Ia menoleh pada Bara yang berjalan cepat dan berdiri di sebelahnya.             “Pergi ke taman. Bersihin semua sampah yang ada di sana.” Perintah Bara yang langsung membuat Lara mendesis kesal. Padahal ia baru saja ingin mencari UKS dan berharap bisa memejamkan matanya sebentar di ruangan itu. Tapi ia tahu bahwa laki- laki yang kini tengah menatapnya tajam tak akan sebegitu mudahnya melepaskannya.             Keduanya saling menatap dengan bias kekesalan yang begitu kental. Lara bersumpah ia akan memberi perhitungan pada laki- laki di depannya setelah proses MOS selesai. Lara menatap bola mata serupa jelaga di depannya baik- baik. Ia tetap menjaga mimik wajahnya. Ia bahkan tak merasa terintimidasi dengan tatapan penuh permusuhan yang dilontarkan Bara.    TBC LalunaKia

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

DENTA

read
17.1K
bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook