Masih canggung, kikuk dan tak nyaman. Tentu saja, asing bagi keduanya yang baru bertemu. Tak ada perkenalan, mereka saling tatap tak mengerti sebelum berdiri di pelaminan.
Sebagai putra tertua, Adrian hanya memenuhi permintaan kedua orang tuanya. Menjadi suami pengganti, cadangan sementara dalam pernikahan settingan. Namun, ternyata jauh lebih dari sekadar berdiri di resepsi pernikahan.
Dia kira sederhana, selesai resepsi maka peran usai. Namun, ayahnya mengeluarkan ultimatum sepihak, mereka harus bersama sampai Dirga ditemukan. Siapa yang bisa memberikan sangkalan?
Tak ada penolakan, pria itu lebih memilih patuh. Membawa Noi serta, tinggal di rumah yang memang dibeli atas nama Dirga. Hidup berdua sementara sebagai pasangan pura-pura yang baru saja menikah.
“Kalian harus tinggal bersama sampai k*****t itu ditemukan, entah dalam keadaan hidup atau tinggal nama. Kamu boleh pergi dari sisi Eunoia jika kondisi adikmu jelas. Kalau dia pulang dalam keadaan selamat, silakan langsung pergi. Namun, kalau terpaksa kembali dalam keadaan tak bernyawa, tunggu sampai masa berkabung selesai.” Kalimat tegas ini diberikan dengan sangat jelas, sama sekali tanpa meminta persetujuan keduanya.
Begitulah ayahnya, selalu bersikap semau sendiri. Tanpa kompromi atau menimbang bersama, tak ada yang protes. Ibunya pun mendukung, memilih menjaga nama baik keluarga dengan terus melanjutkan peran palsu.
Hingga pagi ini belum ada kabar, bertanya pada Noi tentu bukan perihal bijak. Wanita berkabung memiliki emosi labil, semalam saja sudah mengeluarkan air mata. Pasti berat berpura-pura baik-baik saja ketika sedang terluka sekaligus bingung.
Seharusnya para orang tua lebih peduli pada wanita itu, tak mungkin dia sedang baik-baik saja saat ini. Bagaimana jika ternyata Dirga melarikan diri bersama perempuan lain? Ada banyak praduga dalam diam, Adrian memilih menganalisis tanpa bersuara.
Tak ada yang bisa ia lakukan, cuti diperpanjang hingga dua minggu. Sang ayah yang datang sendiri ke kantor, mengatakan bahwa dirinya harus berbulan madu. Tentu saja semua rekan kerja mengutuk karena tidak satu pun yang diundang.
Bagaimana dia bisa mengundang ketika pernikahan tersebut merupakan acara sakral sang adik? Hanya saja, semua berubah setelah dirinya berdiri di sisi mempelai wanita. Menjadi suami cadangan saat itu juga.
[Selamat, Bos! Pernikahan diam-diam biasanya lebih erotis.]
[Pak, kapan kami dikenalkan dengan nyonya Adrian? Jangan pilih kasih, menikah tanpa berita itu artinya pengkhianatan tim.]
[Bapak menikah? Selamat!]
[Semoga rumor tentangmu hoax, aku akan tetap lega sampai kamu menjelaskan padaku. Namun, jika yang kudengar benar, lalu kita?]
Pesan terakhir yang ia baca cukup membuat tangan beralih ke kepala, Olin Early. Wanita dari direktorat tindak pidana korupsi, perempuan yang berkencan diam-diam dengannya. Sang kekasih hati tentu sudah mendengar kabar ini, tetapi dia belum bisa memberikan klarifikasi.
Nanti, setelah situasi membaik dan kabar Dirga jelas, pasti semua kembali pada tempat masing-masing. Untuk saat ini, dia akan membiarkannya tetap seperti yang ada di kepala semua orang. Sebab, sang ayah pasti kian membenci Adrian jika sampai membocorkan perihal pernikahan pura-pura tersebut.
[Baiklah, aku akan menunggu sampai kamu berbicara, pastikan jawaban dari hatimu.]
Isi pesan teks itu menarik senyum sumir, meletakkan ponsel kembali di atas meja. Namun, panggilan masuk mengurungkan niat, nama yang tak mungkin ia tolak. Atasan sedang memanggil, artinya penting.
“Iya, Pak. Adrian di sini!” Pria tersebut segera memasang sikap tegap, suara lantang nan tegas pun terdengar begitu jelas di pagi hari.
“Maaf jika ini mengganggu cuti dan bulan madumu, tapi situasi mendesak. Tato kembali beraksi, kali ini korban merupakan pasien yang dua hari lalu menghilang dari rumah sakit. Dini hari petugas kebersihan menemukannya di gorong-gorong pintu masuk tol.” Penjelasan ini cukup dimengerti, Tato merupakan buronan polisi di bawah pengejarannya.
Pembunuh berdarah dingin yang cukup sadis, selalu memasukkan pecahan kaca di mulut korban. Entah apa maksud dari pesan itu, yang jelas Adrian memang sedang memburunya. Hanya saja, belum mampu menemukan titik terang hingga kembali memakan korban.
“Baik, Pak. Saya akan segera ke TKP!” Dia mengatakannya dengan tegas, tidak peduli jika sang ayah akan murka.
“Tidak perlu, anak buahmu sudah mengurus. Mayat juga sudah diautopsi, mereka akan membawa semua barang bukti dan foto-foto di lokasi kejadian. Maaf jika ini tak nyaman, tapi bekerjalah dari rumah. Ini sudah pembunuhan ketujuh sejak akhir tahun lalu, tetap rahasiakan dari media agar tak menimbulkan kepanikan publik.” Penjelasan yang sedikit mengerutkan kening, apa arti dari bekerja dari rumah?
Apa dia harus membuat timnya berkumpul di kediaman Dirga? Adrian semakin mengutuk keadaan, bagaimana hal tersebut bisa dilakukan ketika ada orang asing di sana? Namun, menolak pun percuma.
Adrian hanya mengiyakan sebelum mematikan panggilan, menautkan alis. Pembunuhan berantai yang meresahkan, terlalu sadis dan tak berperasaan. Ada banyak sekali pembunuh, tetapi Tato ini menjadi yang paling kejam.
Mengiris simetris di kerongkongan, lalu memasukkan pecahan kaca. Dipaksa hingga merobek beberapa bagian mulut, menembus kulit pipi atau tenggorokan. Di tiga kasus lainnya bahkan ada yang sampai ke lambung.
Kemungkinan dia memasukkan pecahan kaca saat korban masih dalam kondisi hidup, sangat mengerikan setiap kali mendengar nama Tato disebutkan. Namun, tantangan tersendiri bagi Adrian untuk menerima kasus tersebut. Sang polisi tampan menjadi sangat bersemangat setiap kali mengumpulkan bukti terkait penjahat cerdik tersebut.
Ada alasan mereka menyebutnya Tato karena setiap korban akan diberi tanda dengan gambar seram di kelopak mata kiri. Hanya saja, tak sama. Berbeda satu dengan yang lain.
Jika korban ketujuh memiliki tato berbeda, artinya si pembunuh sedang menyampaikan pesan kepada polisi. Namun, Adrian belum benar-benar memahaminya. Sebab, sangat sulit mengaitkan antara pembunuhan satu dengan kasus lain.
Pintu diketuk pelan, cepat dia meletakkan kembali ponsel. Berdiri dengan meniup napas, tak mungkin menunjukkan kegalauan pada wanita yang baru ia kenal. Membukakan pintu, Noi sudah menyambut dengan senyum ramah.
Kenapa masih bisa semanis ini ketika dipermalukan oleh adiknya? Dia sedikit sulit memahami konsep pola pikir perempuan muda tersebut, agak berbeda dibanding karakter gadis kebanyakan. Jadi, Adrian harus sedikit berhati-hati dalam bersikap.
“Sarapan sudah siap, Kak.” Lirih, tapi ramah dia mengatakannya.
Adrian mengangguk pelan, keluar dari kamar. Apa lagi yang bisa ia lakukan selain mengikuti instruksi wanita itu? Masih saja belum bisa melontarkan kalimat santai, tetap canggung walau dipaksa santai.
“Emh … eh, anu ….” Adrian tampak kesulitan untuk memanggil perempuan yang berbalik badan, Noi kembali menoleh.
Kakak iparnya sedang memasang wajah bingung, ia mengerutkan kening. Menunggu penjelasan, apa yang ingin Adrian sampaikan? Pria itu terlihat sangat aneh.
“Kakak mau mengatakan sesuatu?” tanya penasaran yang tak bisa disembunyikan, tetapi tetap bersikap sopan.
Namun, Adrian masih berupaya menimbang-nimbang, antara melanjutkan bicara atau diam saja. Bingung sendiri, kenapa dirinya mendadak sangat sulit berujar? Ini seperti bukan dia yang sedang berada dalam tubuh.
“Kamu tahu pekerjaanku?” Akhirnya ia memilih berbicara, tak mungkin membiarkan Noi kebingungan dengan sikap tak jelasnya.
Adrian bukan tipikal pria yang suka dikelilingi perempuan, tetapi cukup populer di kalangan polwan. Selain itu, dia memang irit berbicara sehingga akan kesulitan jika harus melakukan obrolan berlanjut. Hal tersebut justru membuat Noi terlihat bengong.
“Kak Adrian polisi, 'kan?” tanyanya dengan hati-hati, mencoba mengingat apa yang pernah Dirga katakana terkait pekerjaan sang kakak kandung.
“Hemh!” Adrian hanya mengeluarkan suara tersebut sembari mengangguk, membenarkan apa yang baru saja Noi katakana.
“Lalu?” Noi masih belum sepenuhnya mengerti arah pembicaraan serius ini, “Apa ada masalah dengan pekerjaan terkait pernikahan palsu ini atau pacar Kakak sedang salah paham atas situasi kita?”
“Mulai nanti malam kami akan bekerja di rumah, maksudnya aku dan tim. Kamu tak keberatan?” tanya yang diawali dengan penjelasan, sedikit ragu dan penuh harap.
Noi hanya mengangguk setuju, senyum manis itu masih terus terkembang. Bagaimana dia bisa melarang saat hubungan mereka hanya sebatas ipar? Lagipula, semakin banyak orang di rumah tentu akan membuatk keduanya tidak harus bosan karena situasi canggung.
“Aku akan tetap di kamar dan keluar ketika hanya berdua.” Eunoia mengatakannya sembari menunjukkan wajah serius, benar-benar paham jika tidak boleh mengganggu pekerjaan sang kakak ipar.
“Bukan begitu,” sanggah Adrian yang terlihat masih bingung, “aku hanya takut kamu terganggu dengan kehadiran orang-orang asing di sekitar, silakan tetap beraktivitas seperti biasa. Semua rekan di kantor sudah tahu kalau kita menikah.”
“Jadi, Kakak memintaku untuk berperan sebagai istri sungguhan?” tanya Noi yang belum memahami maksud Adrian, dia jelas kebingungan sekarang.
“Jika kamu tidak keberatan.”
Noi hanya menarik satu garis simetris, mengangguk pelan. Tak mungkin dia menolak ketika pria itu menyelamatkan martabat keluarganya, apa jadinya jika Adrian tak menjadi suami cadangan di pelaminan? Dia akan ditertawakan sebagai pengantin menyedihkan, sejarah online akan mencatat dirinya sebagai tokoh viral yang ditinggalkan di hari pernikahan.
Noi berhutang budi sekaligus kesal, bagaimana pun Adrian adalah kakak kandung Dirga. Laki-laki yang membuat dirinya merasa tak berharga di hari bahagia, pergi begitu saja tanpa berita. Lalu, haruskah diam tanpa dendam? Tentu saja tidak, Noi bukan makhluk naif yang hanya akan berdoa pasrah ketika harga terluka.
Namun, membalas pada Adrian bukan satu kebenaran, pria itu bahkan tak tahu adiknya berada di mana. Sang kakak terlihat kebingungan juga. Namun, tetap saja, mata harus dibalas dengan mata.
***