11. My Partner

1127 Words
“Erina, apa kamu tahu? Bos kita mengadakan pesta di salah satu klub malam. Apa kamu mau ikut? ” Lusi datang berlarian menghampiri Erina yang baru saja meletakkan ransel besar di atas meja, lalu menatap teman sepekerjaannya dengan tersenyum kecil. “Kapan? Kenapa aku tidak tahu? ” tanya Erina berkerut bingung. “Aku tidak tahu. Bos hanya bilang kalau kita harus mengerjakan sesuatu, ”jawab Lusi sembari mendudukkan diri di atas meja memerhatikan Erina yang sedang mengerjakan komputernya. “Oh, ya sudah,” ucap Erina acuh tak acuh. “Kamu tidak ke depan dulu? Katanya ada satu pegawai baru yang melamar. Bahkan aku sendiri khawatir kalau ini akan menjadi sainganmu nanti, Na. ” "Ha? Siapa?” Erina terlihat menghentikan kegiatan mengetiknya di atas laptop, lalu mulai menatap Lusi penasaran. “Kamu lihatlah sendiri.” Setelah itu, Erina langsung melangkah ke arah lobi yang tadi dibicarakan Lusi. Ia memang datang melewati pintu belakang dan pantas saja tadi di sana terlihat sepi tidak seperti biasanya yang selalu ramai. Ternyata ada pegawai baru yang ia yakin itu adalah pria tampan. Siapa lagi? Karena tidak ada yang mampu menggerakkan karyawan di sini, selain pria tampan. “Erina, kamu dari mana saja? Kamu sekarang tidak bekerja sendiri, ”ucap salah satu karyawan sedepartemen dengan Erina yang terlihat bahagia. "Maksudmu apa?" tanya Erina semakin bingung. "Lihatlah ke depan dan kamu akan tahu maksudku," jawab gadis cantik itu sembari tertawa kecil. Erina langsung mempercepat langkahnya menuju lobi. Ia semakin penasaran dengan karyawan baru yang membuat seisi kantor gempar. Tepat saat langkah Erina menuju pintu lobi matanya langsung terpaku pada salah satu lelaki bertubuh tegap yang sangat ia kenal. Wajahnya memang tertutupi oleh masker yang masih terpakai sempurna, tetapi ia yakin kalau lelaki itu sangatlah ia kenali dalam bentuk apapun. Sekarang, Erina bingung harus berbuat apa, karena lelaki itu seakan mendapatkan sinyal dengan kehadiran dirinya. Pada saat yang bersamaan pula, Wang Junkai selaku bos dari perusahaan percetakan tempat kerja Erina pun menoleh dan tersenyum senang melihat kehadiran karyawan yang ia nanti-nantikan. “Erina, kemarilah! Kamu harus berkenalan dengan rekan kerja barumu," ucap Wang Junkai dengan wajah sumringah. Mata Erina hampir saja mencuat keluar kalau tidak segera mengerjapkan mata, lalu tersenyum kaku menatap bosnya yang jauh lebih bahagia dibandingkan dirinya yang merana. "Perkenalkan, dia rekan kerja barumu bernama Alvaro. Hari ini kamu akan mengukur segala sesuatu bersama dia. Bagaimana, Erina? Kamu sanggup, 'kan?” Erina bergerak gelisah membuat Alvaro langsung mengalihkan pembicaraan. “Tidak masalah. Biar Erina beradaptasi dulu dengan kehadiran aku. Terima kasih sudah menerima saya di posisi ini, Tuan Wang. ” Wang Junkai membalas jabatan tangan Alvaro semangat. “Aku yang seharusnya berterima kasih.” Setelah itu, Alvaro melenggang pergi bersama Erina yang mengikuti dari belakang. Memang sedikit aneh merasakan kehadiran lelaki itu di tempat kerjanya. Akan tetapi, yang membuat dirinya tidak mengerti adalah sejak kapan lelaki itu mau bekerja di sini? Bahkan ucapan mereka kemarin sama sekali tidak menyinggung pasal pekerjaan. Mereka berdua beriringan membuat beberapa pasang mata menatap bingung. Kemungkinan sedikit aneh melihat Erina yang menundukkan kepala menghindari tatapan mereka. “Eri ... Na. Selamat datang, Editor Alvaro,” sapa Lusi dengan wajah sedikit bingung, lalu tersenyum melihat kehadiran seorang lelaki di sana. Kemudian, tatapannya mengarah lagi pada Erina dan langsung saja gadis itu membawa Erina keluar dari ruangan. Sejenak Alvaro hanya menatap kepergian mereka dengan wajah bingung sekaligus penasaran. Apakah gadis itu berteman baik dengan karyawan di sini? Erina yang merasa frustasi pun hanya pasrah diseret paksa oleh Lusi. Wajahnya memang sangat penasaran, membuat ia harus memendam rasa penasarannya dalam-dalam. Karena itu pasti akan mengudang tatapan bingung dari para editor yang menjadi rekan pekerjaannya. Lusi membawa pesan itu ke arah taman kecil yang berada di samping kantor, terlihat beberapa karyawan tengah melenggang masuk membuat mereka berdua harus menyampingkan diri kalau tidak mau tertabrak. “Erina, apa kamu kenal dengan lelaki itu? Aku rasa sepertinya dia terlihat familiar,” ucap Lusi dengan tepat membuat Erina langsung mendelik. Apa jangan-jangan? “Ah, kamu salah orang pasti, Lus. Siapapun yang kamu lihat pasti akan disama-samakan dengan orang lain,” balas Erina berpura-pura biasa saja, walaupun jantungnya berdetak kencang. Ia khawatir kalau Lusi masih mengingat pembahasannya dulu perihal kakak kelas yang pernah menjadi pengisi di hatinya. “Tidak, Erina. Aku ingat betul kalau dia pernah kulihat disuatu tempat. Bahkan aku masih bisa mengingat garis rahangnya yang tegas itu," bantah Lusi dengan kepercayaan diri yang cukup tinggi. “Sudahlah. Mungkin ini hanya ingatanmu yang salah saja. Lagi pula kamu baru bertemu Alvaro hari ini, jangan disama-samakan dengan orang yang pernah kamu lihat diberbagai tempat, " balas Erina tetap mendukung agar Lusi tidak berpikir lebih lanjut. Bisa fatal akibatnya kalau gadis ini mengingat siapa itu Alvaro. “Betul juga dengan apa yang kamu katakan itu. Ya sudah kita kembali ke dalam. ” Lusi pun kembali mengajak Erina untuk berjalan beriringan di depan mata yang mulai dipadati oleh para pekerja dari kantor lain. Sebab, gedung yang mereka gunakan memang bergabung dengan beberapa kantor di atasnya. Untung saja Wang Junkai memilih untuk gedung paling dasar agar tidak membuat karyawannya kesulitan. Gedung yang menjadi tempat kantor redaksi Erina hanya memiliki lima lantai dari bawah. Tentu saja lantai yang paling tinggi adalah milik Wang Junkai sekaligus dimana percetakan itu berada. Sedangkan untuk lantai dasar sendiri hanya ada resepsionis dan beberapa editor senior yang menelaah setiap naskah masuk. Menjadi seorang editor fiksi dan non fiksi tidaklah mudah. Terlebih menghadapi beberapa penulis yang tidak mau bekerja sama. Bahkan ada pula yang tidak rela ketika naskahnya dipangkas habis-habisan oleh editor. Alhasil, percetakannya pun akan membuat naskah tersebut malag terbengkalai akibat sang penulis yang sangat keras kepala. Kini Erina dan Lusi menaiki tangga satu per satu menuju kantor redaksinya. Kebetulan sekali hari ini ada salah satu laporan yang terkenal, membuat Erina harus segera sampai di ruang kerjanya. Sebab, pada kesempatannya ini ia mendapat promosi menjadi editor khusus sang penulis tersebut. “Xingku ni, Erina!” ucap Lusi mengepalkan semangat dan mulai memasuki kantornya sendiri. Sedangkan Erina hanya tertawa geli dan mulai memasuki kantor redaksinya sendiri. Terlihat dari beberapa rekan kerjanya tengah menginterogasi Alvaro yang terlihat tidak nyaman. Lelaki itu terlihat bergerak gelisah sembari sedikit menyamping ke arah kursi miliknya untuk menghidari para manusia kepo itu. Sangat Erina yakini kalau mereka semua pasti sudah menanyakan alamat rumah Alvaro. Dengan langkah santai dan high heels yang bergemeletuk pelan di lantai, Erina mulai menghampiri meja kerjanya, lalu tersenyum menatap rekan-rekannya yang tidak mau beranjak dari sana. Padahal ia yakin kalau rekannya itu tahu di balik senyumannya ada sebuah kekesalan yang berisi. Setelah semuanya pergi, Erina mulai menghela napas kasar dan menatap Alvaro tajam. Lalu, mulai menyalakan laptop yang sedari tadi ia abaikan karena kehadiran karyawan baru. “Perkenalkan, nama saya Alvaro,” ucap Alvaro sembari mengulurkan tangan tepat di samping Erina, membuat gadis itu menatapnya sebal sekaligus kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD