Perlahan Alvaro merebahkan tubuh lunglai Erina ke atas kasur. Kini keduanya telah sampai di rumah milik Alvaro, karena setelah keluar dari klub tadi Erina langsung tidak sadarkan diri, membuat ia harus membawa gadis itu ke rumahnya. Sangat tidak mungkin kalau ia mengembalikannya ke asrama, bukan?
Wajah Erina terlihat damai membuat Alvaro diam-diam tersenyum dalam hati. Karena wajah itu masih sama seperti yang terakhir ia lihat. Yang berbeda hanyalah usia Erina semakin matang dan membuat tubuhnya terlihat proposional.
Alvaro pun langsung mengalihkan pandangannya dan bergegas menyelimuti tubuh mungil Erina, lalu berniat untuk pergi keluar kamar. Karena hari ini ia harus membereskan kekacauan di kantornya akibat dirinya pergi tanpa memberitahu siapa pun.
Langkah kaki lelaki itu mengarahkan pada ruang kerja yang terbuka sedikit, terlihat bayangan seseorang duduk di sana. Namun, dengan gerakan mantap Alvaro langsung membuka dan menutup kembali pintu tersebut.
“Kek, Alva cuma nyamperin Erina,” ucap Alvaro mendudukkan diri tepat di hadapan kakeknya yang menatap dirinya datar.
Kakek Wijaya menghela napas pelan, lalu menegakkan tubuhnya menautkan jemari-jemari keriputnya sembari menatap Alvaro dengan tegas.
“Iya Kakek tahu, tapi kenapa harus sampai ninggalin kantor? Kakek enggak pernah ngelarang kamu dekat sama Akira,” balas Kakek Wijaya santai, tapi tidak dengan tatapannya.
“Bukan Akira, Kek. Tapi, Erina,” ralat Alvaro sembari menyandarkan tubuhnya lelah.
Sebenarnya, Alvaro sudah mengetahui kedatangan kakeknya malam ini, karena saat di klub tadi Kakek Wijaya sempat menelpon dirinya dan mengatakan bahwa beliau telah sampai di China.
Hal itu tentu saja membuat Alvaro panik bukan kepalang, karena dirinya tengah bersama dengan Erina. Alhasil, ia pun menjelaskan semuanya terlebih dahulu daripada nanti menimbulkan salah paham.
Alvaro pun menceritakan tentang Erina termasuk kematian Kakek Hasbi yang sempat membuat kakeknya terkejut. Sebab, dari pihak keluarga Erina sendiri tidak pernah mengatakan apapun, seakan kematiannya ini ditutupi. Dan menimbulkan kecurigaan dari banyak orang setelah mengetahui beritanya.
“Jadi, persiapan kamu dalam rapat pemegang saham gimana? Dzaky baru mengabarkan Kakek kalau kamu menjadi karyawan di salah satu perusahaan cetak. Apa kamu sudah bosan menjadi seorang bos dan beralih menjadi karyawan?” tanya Kakek Wijaya sedikit menyindir, membuat Alvaro mendengus kesal.
“Kek, bukan begitu. Alva di sana cuma nemenin Erina,” jawab Alvaro tidak terima.
“Lantas, kenapa harus ditemani? Kamu juga punya tanggung jawab sendiri, Alva. Jangan sampai hanya seorang Erina, kamu menelantarkan ribuan karyawan perusahaan kita.”
Alvaro terdiam mendengar perkataan Kakek Wijaya yang kelewat kesal. Ia tahu bahwa kakeknya ini sangat memikirkan para karyawan yang masih menghidupi anak-anaknya. Namun, di sisi lain pula ia juga tidak sanggup kalau harus meninggalkan Erina sendirian di sini. Terlebih mereka baru bertemu semalam.
“Kakek paham kalau kamu ingin terus bersama dengan Erina, tapi setidaknya kamu juga pikirin bawahan kamu yang mempunyai tanggung jawab bagi keluarganya. Kalau bosnya saja seperti ini, bagaimana nasib bawahan kamu? Apa tidak kasihan melihat mereka memakan gaji yang tertunda? Kakek tidak mau sampai mendengar kamu seperti ini lagi, Alva. Kakek bukannya melarang kamu jatuh cinta, tetapi pikirkanlah akibat dari jatuh cinta kamu yang tidak berujung,” tutur Kakek Wijaya panjang lebar, kemudian beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Alvaro yang terdiam.
Sejujurnya, Kakek Wijaya juga tidak tega mengatakan itu, beliau hanya ingin kalau Alvaro sadar bahwa umurnya sudah tidak muda lagi, terlebih lelaki itu memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam mengelola perekonomian China.
Tanpa mereka sadari ternyata Erina mendengar perbincangan keduanya dari luar ruangan. Karena panasnya obrolan itu membuat gadis bertubuh mungil yang masih lengkap dengan pakaian kerjanya berdiri tepat di depan pintu. Namun, pada saat Kakek Wijaya melenggang pergi, Erina langsung bersembunyi agar tidak terlihat.
“Kenapa lo harus senekat ini, Kak?” gumam Erina merutuki kedatangannya yang mampu membuat hidup Alvaro kacau.
Setelah itu, Erina pun langsung berlari ke arah kamar Alvaro dan meraih tas selempangnya sembari bersiap untuk pergi malam ini juga. Karena ia tidak ingin membuat lelaki itu terlibat masalah lebih besar lagi.
Akan tetapi, rencana itu langsung digagalkan karena tiba-tiba Alvaro datang dan terkejut melihat Erina yang sudah terbangun.
“Lho, Na? Lo istirahat dulu, besok pagi baru gue anterin. Sekarang udah malam enggak sama tetangga kamar lo,” ucap Alvaro berlari mencegah Erina yang hendak mengambil mantel panjangnya.
Erina menggeleng pelan. “Maaf, Kak. Gue enggak mau ngerepotin lo, gue harus pulang.”
“Erina, lo kenapa?” tanya Alvaro berusaha mencegah pergelangan tangan gadis itu agar tidak memberontak.
“Lepasin, Kak!” sentak Erina kesal. Ia marah pada dirinya sendiri yang sudah berani merepotkan orang lain.
“Enggak! Kalau lo masih mau pergi enggak akan gue lepasin,” balas Alvaro tidak mau kalah, bahkan kedua tangan Erina dengan mudahnya terkunci dalam satu cekalan tangan besar Alvaro.
“Kak, please. Gue enggak mau ngerepotin lo lagi,” pinta Erina dengan nada melemah.
Sejenak Alvaro terdiam. Apakah gadis ini mendengarkan pembicaraan dirinya?
“Hei, Erina. Look at me,” panggil Alvaro melepaskan cekalan tangannya saat gadis itu dirasa cukup tenang dan menangkup wajah mungilnya sembari menatap dalam-dalam. “Lo sama sekali enggak merepotkan bagi gue. Malah kehadiran lo di sini mampu mengusir rasa kesepian gue selama beberapa tahun ini, Na. Gue mohon agar lo tetap di sini sama gue. Jangan pernah menghilang lagi. Karena gue bisa gila.”
Erina menatap Alvaro intens, mencari kebohongan di mata lelaki itu. Akan tetapi, sia-sia saja karena tidak ada kebohongan di sana, selain bersungguh-sungguh.
“Tapi, gue bukan Akira, Kak.”
Perlahan air mata sebening kristal jatuh melewati pipi mulus Erina. Gadis itu menangis tepat di tangkupan tangan yang masih Alvaro berikan. Bahkan lelaki itu dengan jelas melihat bagaimana gadisnya merasakan kesedihan sekaligus kegundahan yang selama ini dirasakannya.
“Gue enggak peduli mau lo Akira atau bukan, karena lo akan tetap ada di hati gue,” balas Alvaro mantap dan perlahan melepaskan tangkupannya, lalu menarik tubuh mungil Erina untuk masuk ke dalam pelukan hangatnya.
Sejujurnya, Alvaro masih tidak mengerti dengan masalah yang telah di lalui Erina. Akan tetapi, ia hanya ingin cerita itu keluar dari mulut gadisnya bukan dari penyelidikan orang lain.
Kalau Erina belum siap menceritakan semuanya, Alvaro akan berusaha dengan sabar untuk menunggu. Karena kebahagiaan gadis itu adalah kewajiban bagi dirinya.
Erina mulai membalas pelukan Alvaro sembari memejamkan matanya erat. Ia sangat berharap pada sang waktu agar bisa tetap seperti ini, tetapi nyatanya tidak akan pernah. Karena akan ada banyak masalah jika dirinya terus bersama dengan Alvaro Kenzi Aryasatya.