23. Get Married

1125 Words
“Jadi, gadis ini keponakannya Alvaro?” Lusi mengerutkan keningnya melihat Erina yang terkejut. Ia memergoki temannya itu tengah menggendong gadis kecil pada saat dirinya hendak keluar ruangan. Dan alangkah terkejutnya melihat Erina yang terduduk sembari memeluk gadis kecil. “Iya, Lusi. Tapi, kamu jangan bilang siapapun. Aku tidak ingin membuat mereka salah paham,” jawab Erina sembari meringis pelan. “Aiya, bagaimana bisa ada di sini?” “Aku tidak tahu, tapi sewaktu Cherry belum tidur, dia sempat bilang kalau orang tuanya ada di sini.” "Yah, aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Jika demikian, kita menunggu di sini. Saya juga tidak bekerja, jadi santai saja." Erina mendelik terkejut. Sebenarnya, kalau Lusi ada di sini bisa gawat. Apalagi sampai melihat kedekatannya dengan Jenia. Tidak, ini tidak bisa dibiarkan. Ia tidak akan bisa menjelaskan bagaimana ekspresi Lusi nanti. “Tidak bisa!” “Ha? Kenapa Erina? Aku juga tidak ada pekerjaan hari ini.” Lusi mengerutkan keningnya bingung sekaligus curiga. Bahkan gadis itu sempat menyipitkan matanya penuh selidik. "Ah, aku hanya tidak menginginkannya jika Cherry terkejut melihatmu. Karena dia bisa melihatku sebagai orang asing." “Hmm … begitu, ya. Ya sudah tidak apa-apa. Aku mau keluar dulu.” Lusi pun beranjak dari tempat duduk, membuat Erina mengikuti arah pergerakannya bingung. “Mau kemana?” "Entah bagaimana, aku hanya bosan di dalam sini tanpa bekerja apa-apa." "Anda telah mengisi liburan?" "Tidak, tapi aku hanya satu menit. Jika ada, silakan hubungi saya." “Baiklah. Hati-hati di jalan, Lusi. Kalau ada waktu luang nanti, aku akan menghampirimu.” Lusi mengacungkan jempolnya sembari tersenyum senang, lalu membalikkan tubuhnya melenggang pergi meninggalkan Erina bersama dengan gadis kecil yang ia tahu namanya adalah Cherry. Sedangkan Erina hanya diam sembari menjaga Cherry yang terlelap. Namun, ia sama sekali tidak melihat tanda-tanda Jenia datang. Padahal ini sudah cukup lama, apa wanita anggun itu tidak menyadari anaknya hilang? Dengan bosan, Erina pun menyangga kepalanya sembari menatap jam dinding berwarna putih yang terletak tepat di depannya, lebih tepat di sisi tembok sebelum pintu evalator berada. Sesekali ia melirik Cherry yang asyik terlelap tanpa terusik sedikit pun. Tak lama kemudian, suara ketukan heels dengan lantai terdengar cukup keras seiring langkah wanita itu seperti gelisah. Dan Erina pun langsung menegakkan tubuhnya sembari melihat penasaran siapa yang datang. Dan benar saja, Jenia terlihat panik sekaligus gelisah sembari memainkan ponselnya dan sesekali menelpon. Sementara Erina yang melihatnya bingung, karena wanita anggun itu tidak kunjung melihat keberadaannya yang bersama Cherry. “Kak Jenia!” panggil Erina cukup keras membuat Jenia langsung menoleh. Lalu, setengah berlari Jenia menghampiri Erina dan melirik ke arah samping gadis itu dan ternyata ada Cherry di sana. Tanpa aba-aba Jenia langsung menghampiri Cherry dan memeluknya erat. Ia sangat-sangat takut melihat Cherry hilang tadi. "Ya ampun, Cherry!" kata Jenia penuh lega dan mudah tersenyum. Erina tersenyum tipis, ia memang sempat terkejut melihat Cherry yang berjalan sendirian, namun sekarang ia tahu kalaa gadis kecil itu ternyata hilang dari radar orang tuanya. Mungkin karena hari ini ramai juga, jadi pantas saja mereka berpisah. Jenia menoleh ke arah Erina. “Xie xie, Erina. Aku hampir saja pingsan melihat Cherry hilang di sini. Karena aku tidak tahu harus berkata apa dengan ayahnya.” "Tidak ada, Kak. Cherry ada di sini bersama Erina," balas Erina sambil tersenyum tenang. "Iya. Aku bersyukur ada kamu di sini, Erina." Erina mengangguk singkat. “Ngomong-ngomong Kakak sedang apa di sini?” “Aku sedang menyewa pengacara untuk perjanjian dengan salah satu kolega Dzaky,” jawab Jenia sembari meletakkan tas selempangnya, lalu menidurkan Cherry lagi di sisi mereka dengan bantalan sofa yang berukuran kecil. “Wah, berarti Kakak sering ke sini?” “Bisa dibilang seperti itu.” Keduanya pun terdiam sesaat sampai tiba-tiba Wang Junkai datang bersama Lusi sembari membawa map berwarna biru miliknya. Erina yang melihat kedatangan mereka berdua pun spontan bangkit, membuat Jenia menatap dirinya bingung, lalu tersenyum tipis melihat sesosok lelaki paruh baya yang menghampiri Erina. “Hampir saja saya mengumumkan kehilanganmu di seluruh kantor kalau tidak cepat-cepat bertemu dengan Lusi,” sinis Wang Junkai menatap Erina yang meringis pelan. “Du bu jie, Presdir Wang,” balas Erina menunduk dalam, membuat Lusi yang melihatnya cukup prihatin. (Maafkan aku) “Tidak apa-apa, saya mencarimu hanya untuk membicarakan masalah kemarin. Ini keputusan para direksi untuk keringanan yang diberikan kemarin.” Wang Junkai menyerahkan map pada Erina dan langsung disambut oleh gadis itu. Lalu, tatapan Wang Junkai beralih pada sesosok wanita yang tidak asing di ingatannya. Ia seperti mengenal wanita itu, tetapi entah dimana. “Ni hao, Presdir Wang. Saya Jenia yang waktu itu menyuntikkan dana di sini,” ucap Jenia sembari bangkit dan mengulurkan tangan memperkenalkan diri. Karena ia tahu Wang Junkai mengingatnya, tetapi ragu untuk mengatakan. Seketika Wang Junkai tersenyum lebar dan menyambut uluran tangan Jenia semangat. “Ni hao! Saya pikir setelah kerja sama kita berakhir tidak akan bertemu lagi, tapi ternyata takdir selalu bertentangan.” Jenia tersenyum tipis dan melepaskan jabatan tangan itu, lalu kembali duduk memeluk tubuh mungil Cherry yang masih terlelap. Karena hari ini tidak ada pekerjaan lagi, ia pun memutuskan untuk menunggu anaknya sampai terbangun sendiri. Wang Junkai kembali menghadap ke arah Erina yang terlihat membaca kontrak pembaruan dengan seksama. Bahkan tulisan sekecil apapun tidak luput dari penglihatannya, karena ia tidak ingin dipermainkan oleh hukum, maka ia harus memeriksanya terlebih dahulu sebelum membubuhkan tanda tangan yang sah. “Setelah ini, kontrak kerjaku tetap seperti kemarin atau ada pertambahan tahun, Presdir Wang?” tanya Erina mengangkat kepalanya menatap Wang Junkai yang masih setia di posisinya. “Ada pertambahan tahun. Kalau sebelumnya hanya kontrak lima tahun, sekarang diperbarui menjadi sepuluh tahun. Apa kamu sanggup? Kalau tidak, kita akan memperbarui lagi dengan kontrak yang sama sebelumnya.” Erina terdiam sesaat sebelum kembali melanjutkan perkataannya. “Untuk hitungannya tetap mulai dari awal?” “Tidak. Perhitungan akan jatuh pada saat kamu tanda tangan kontrak.” “Baiklah. Aku terima kontrak sepuluh tahun itu,” ucap Erina mantap dan mulai menorehkan tanda tangannya. Karena ia akan bekerja di sini selama sepuluh tahun ke depan, yang artinya ia akan menikah di umur kepala tiga. Sedangkan Lusi yang mendengar perbincangan mereka pun tersenyum tipis. Walaupun batinnya sedikit iri mendengar pembaruan kontrak kerja Erina yang jauh lebih lama daripada sebelumnya. Namun, ia juga tidak bias apa-apa, karena ia sendiri telah bekerja di sini jauh lebih lama daripada Erina. Jika Lusi iri dengan Erina, lain halnya dengan Jenia yang justru tersenyum senang. Ternyata, gadis itu memiliki semangat kerja yang tinggi sampai diperpanjang kontrak kerjanya. Akan tetapi, ada yang membuat hatinya sedikit tidak rela, yaitu Erina tidak akan bekerja di kantor miliknya. Karena kontrak sepuluh tahun itu membuat Erina terjebak dalam situasi yang sulit menikah, dan ia tidak ingin menjadi penghalang bagi gadis itu. “Berarti kamu akan menikah di umur kepala tiga, Erina?” tanya Jenia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD