Erina melangkah tanpa arah dan tujuan. Ia hanya mengikuti langkah kakinya kemana pun mengarah pergi. Hingga tanpa sadar gadis itu terhenti di sebuah pintu yang tertutup rapat, sedangkan di dalamnya ada dua sosok yang berperang dingin.
Lalu, dengan santainya gadis itu memanjat menaiki jendela dinding yang dibawahnya terdapat sepetak tempat untuk meletakkan beberapa jenis tanaman. Sepertinya, Erina sudah tidak bisa membendung sikap bar-barnya ini. Walaupun sudah bertahun-tahun lamanya ia memendam kebiasaan itu, ternyata masih sama saja.
Kemudian, Erina pun menduduki alas tersebut dengan kaki yang menggantung cukup tinggi. Karena gadis itu tepat menduduki lantai ke-3 dari 5 lantai yang menjadi tempat kantornya berada.
“Alva, lo enggak harus bersikap begini hanya untuk mengawasi Erina.”
Tiba-tiba Erina mendengar suara dari balik tembok yang kini menjadi sandarannya. Tentu saja ia cukup terkejut mendengar suara yang amat familiar itu ada di sini. Bahkan mengaitkan dirinya dengan perihal Alvaro yang bekerja sebagai karyawan biasa.
“Kak, gue enggak mau debat lagi sama lo. Ini keputusan gue, baik atau enggak akan gue jalanin sepenuh hati.”
Erina mengerutkan keningnya bingung mendengar suara Alvaro yang tiba-tiba ada di sini. Sejak kapan lelaki itu pulang? Mengapa ia tidak melihatnya sepanjang hari?
“Astaga, Alvaro! Harus gimana lagi gue ngomong sama lo.”
Setelah itu, terdengar suara sepatu hak tinggi yang mulai menjauh. Sepertinya sang wanita itu marah dan melenggang pergi. Sedangkan Erina hanya mengangkat alis kanannya bingung, namun ia sama sekali tidak bersuara apapun.
Sementara itu, masih ada sesosok lagi yang terdiam di lorong perusahaan sembari memijat pangkal hidungnya lelah, lalu mulai merogoh ponselnya yang berada di dalam saku jas.
Tidak lama kemudian, suara deringan ponsel Erina terdengar, membuat gadis itu terkejut dan buru-buru melihat pelaku yang sudah merusak suasana. Dan alangkah terkejutnya, di sana terdapat nama Alvaro.
Sayup-sayup lelaki itu mendengar sebuah suara yang berasal dari luar lorong, dan itu mengarah pada jendela yang sedikit terbuka. Tanpa pikir panjang, Alvaro langsung menghampiri jendela tersebut melihat ke arah bawah.
Namun, belum sampai tatapannya mengarah ke bawah, tiba-tiba suara Wang Junkai mengejutkan lelaki itu.
“Presdir Alva, bisakah Anda ikut saya sebentar? Ada yang ingin saya sampaikan,” ucap Wang Junkai bernada sopan.
Alvaro mengalihkan perhatiannya dan memasukkan ponsel ke dalam saku jas, lalu melenggang pergi meninggalkan Wang Junkai yang masih setia di tempat.
Keduanya pun melenggang pergi meninggalkan Erina yang masih menahan napasnya terkejut. Karena hari ini hampir saja ia terciduk menguping, ralat mendengar pembicaraan Alvaro dan Jenia.
Erina pun menyembulkan kepalanya sedikit, lalu menatap sekeliling lorong dan waspada. Setelah itu, ia kembali terduduk lemas sembari memegang jantungnya yang berdetak lebih cepat.
“Masih untung lo enggak keciduk, Erina,” gumam Erina memejamkan mata sembari menyandarkan tubuhnya di tembok. Ia masih tidak menyangka akan tertangkap basah seperti tadi.
Di sisi lain, Alvaro pun duduk tepat di hadapan Wang Junkai. Keduanya memang tampak tidak akrab, tetapi memiliki hubungan yang cukup baik.
“Apa yang ingin dibicarakan, Presdir Wang?” tanya Alvaro mulai membuka percakapan sembari mengendurkan simpulan dasi yang mengencang.
Wang Junkai terlihat mengubah posisi duduknya sembari berdeham pelan. “Begini Presdir Alva, saya ingin mengajukan kontrak kerja sama lagi seperti dulu. Agar hubungan kita semakin baik.”
Alvaro menatap Wang Junkai serius. Tidak ada wajah jenaka lagi yang ia tampilkan, selain kerutan dahi yang cukup dalam saat lelaki paruh baya itu mengutarakan permintaan padanya.
Sudah cukup lama perusahaan Aryasatya tidak pernah bekerja sama lagi dengan perusahaan lain. Mungkin bisa dibilang Aryasatya adalah perusahaan terbesar di Kota Shanghai, karena perusahaan raksasanya tepat berada di sana. Sedangkan cabang tersebar di beberapa kota, maupun luar negeri, termasuk Indonesia yang mengembang sekolah milik pribadi.
“Bukannya hubungan kita semakin membaik setelah saya masuk ke dalam perusahaan Anda dan menjadi karyawan paruh waktu?” Alvaro mengangkat alis kanannya yang tebal itu dengan wajah bingung sekaligus mengejek. Dalam artian, lelaki itu sedikit tidak suka saat Wang Junkai mengutaran permintaannya.
“Bukan begitu masalahnya, Presdir Alva. Tapi, setelah saya pikir-pikir, apa tidak sebaiknya kita melanjutkan kontrak yang sempat berakhir.”
Alvaro tersenyum gamang mendengar perkataan Wang Junkai. Tentu saja ia ingat bagaimana kontrak itu bisa berakhir.
“Apakah perusahaan Anda tidak cukup besar, Presdir Wang?” tanya Alvaro sedikit mengintimidasi.
Wang Junkai terdiam sesaat. Sebab, bekerja sama dengan perusahaan raksasa milik Aryasatya tidaklah mudah. Terlebih ia mengajukan sendiri, bukan diajukan oleh Alvaro. Dahulu Wang Junkai memang sempat bekerja sama. Namun, tidak berlangsung lama. Karena ia memang sempat berlain hati untuk menangani keuangannya.
“Presdir Wang, dengarkan saya!” ucap Alvaro menegakkan tubuhnya sembari terus menatap Wang Junkai. “Sebenarnya, saya tidak ingin berbasa-basi lagi karena ini memang sudah menjadi keputusan yang mutlak. Sebaik apapun perusahaan Anda, itu tidak akan mengubah presepsi saya sebagai pembisnis ulung. Jikalau Anda memang benar-benar ingin bekerja sama, maka bekerja samalah dengan kedua kakak saya, Dzaky dan Jenia.”
Alvaro beranjak bangkit sembari mengancingkan jas hitamnya, lalu mulai melepaskan dasi yang meliliti leher tegasnya.
“Oh ya, satu lagi. Saya datang bukan untuk menjadi partner Anda.”
Setelah itu, Alvaro melenggang pergi dari ruangan, ia berniat untuk menemui Erina. Namun, sebelum itu ia harus berganti pakaian terlebih dahulu, sebab ia sendiri tidak ingin menyusahkan Erina akibat dari kemalasannya ini.
Di sisi lain, Erina yang baru saja beranjak pergi dari balkon pun langsung menemui Lusi. Tentu saja ia ingin melarikan diri dari Alvaro yang tiba-tiba datang. Akan tetapi, niat tersebut sepertinya tidak dikabulkan oleh Sang Pencipta, karena tepat di depan pintu ruangannya terdapat Alvaro yang berdiri tegak.
“Mau kemana, Na?” tanya Alvaro tersenyum lebar, lalu menatap bingung pada Erina yang terlihat membereskan pelaratan kerjanya.
“Ada urusan,” jawab Erina singkat dan hendak melewati lelaki itu, tetapi dengan cepat Alvaro mencekal pergelangan tangannya, membuat tubuh kecil Erina terhenti.
“Bukannya hari ini lo bebas?” Alvaro mengerutkan keningnya bingung.
Erina membalikkan tubuhnya sembari melepaskan cekalan tangan Alvaro yang masih mengencang, seakan ia adalah barang berharga yang sangat-sangat dijaga.
“Kak, jangan begini,” lirih Erina menunduk dalam.
Perlahan Alvaro melepaskan cekalannya dan menatap Erina bingung. Apakah dirinya berbuat salah kemarin? Rasanya tidak.
Erina yang baru saja tersadar dari perkataannya tadi pun langsung mengubah ekspresi secepat kilat. Ia tidak ingin terjebak pada perasaan masa lalu yang sangat menyiksa dirinya, termasuk Alvaro sendiri.
“Maaf, Kak. Aku ingin bertemu Lusi sebentar,” ucap Erina tersenyum singkat dan melenggang pergi dari hadapan lelaki berwajah tampan yang masih kebingungan.
Sedangkan, Alvaro tadi sempat menangkap raut wajah Erina yang merasa ... tersakiti? Ada apa dengan gadis itu? Apakah terintimidasi seperti kemarin?
“Lo kenapa, Na?” tanya Alvaro pelan sembari menatap punggung kecil perlahan menghilang dari balik pintu yang tertutup.