6.

1128 Words
“Apa Anda tidak ingat sama sekali kalau Reno punya pacar? Mungkin Anda juga baru tahu malam itu.” Pertanyaan Wahyu itu sangat menyebalkan. Harus berapa kali kubilang kalau Reno tidak punya pacar dan tidak akan pernah. Dia punya alasannya sendiri. Aku jadi ingat akhir semester kelas 2 kami saat di SMP. ●●● Sore menjelang malam, kulihat Reno dalam posisi telungkup, sedang fokus mencoret kertas sambil mendengar musik dari headphone. Tidak ketinggalan sebotol besar s**u sapi di dekatnya. Kertas berserakan memenuhi kamar minimalis itu, bahkan sampai menutupi tuts piano di pojok ruangan. Ini masa sibuknya, karena kami akan mengadakan konser amal bulan Juli nanti. “Kau sedang apa?” Aku merutuki pertanyaan konyol barusan. Dia menoleh dan menatapku datar. “Kau buta?” Dia kembali mencoret kertas. Aku menyesal bertanya. “Tidak ke tempat kursus musik?” Reno menatapku kesal. “Kau bodoh ya? Kalau aku pergi latihan, tidak mungkin sekarang ada di kamar.”  Ya Tuhan... Aku hanya mencoba mengobrol dengannya. Memilih pergi dari jendela, tapi dia malah menghentikanku dengan kalimat aneh. “Tetap diam di sana! Inspirasiku sedang berkeliaran di ruangan ini. Kalau kau pergi, nanti dia ikut keluar.” “Aku, kan, sudah menutup jendelanya kembali. Jadi inspirasimu tidak mungkin bisa keluar,” protesku. “Ya sudah pergilah!” bentaknya. Aku tersenyum melihat sifat Reno yang satu itu. Kembali aku berdiri di dekat jendela sambil bertopang dagu di atas lipatan tangan. Aku suka menatapnya berkutat selama  dengan tumpukan kertas, lalu mendengarkan alunan pianonya. Kalau mood sedang baik, biasa Reno memintaku ikut bernyanyi. Ya, hanya dari jendela. Tidak pernah dia mengizinkanku masuk ke kamarnya. Dia bilang inspirasinya tersebar di lantai dan seluruh ruangan, jadi aku bisa mengahancurkan jika menginjakkan kaki di sana. Padahal dia juga berjalan pakai kaki. “Milk?” Aku terkadang memanggilnya begitu saat hanya berdua. “Apa?” Dia tidak menoleh sama sekali, tetapi melepas headphone-nya. “Tidak ada. Hanya ingin memanggilmu saja.” Aku tertawa melihat wajah kesalnya. Senyumku menghilang kala mengingat kejadian kemarin. Seorang perempuan dari kelas sebelah menyatakan cinta kepada Reno dan ditolak. Ketika melihat gadis itu, rasanya aku juga ingin menyatakan cintaku. Hari ini aku memantapkan niat untuk melakukannya, namun sangat takut. Bagaimana kalau dia menolakku? Kemudian aku berpikir, mungkin lebih baik begini saja. Tanpa menyatakan cinta sekalipun, sudah cukup menyenangkan bersama Reno. Tanpa menyatakan cinta sekalipun, aku bisa menghabiskan waktu bersamanya. Tanpa menyatakan cinta sekalipun, dia selalu ada untukku. “Kau bisa demam.” Dia tiba-tiba saja sudah berdiri di depanku sembari menyodorkan jaket. Aku menolak jaketnya. “Aku kuat. Jadi, tidak akan mudah sakit.” Dia mengambil tanganku dan memaksa mengenakan jaket. “Kau lemah. Kau pikir sehat, tapi nantinya malah sakit. Kau selalu begitu. Merepotkanku.” Reno tersenyum dan memukul pelan kepalaku dengan kepalan tangan kirinya. Curang! Aku tidak bisa kesal dengan kalimat terakhirnya karena senyum manis itu. Walau terlihat dingin, sebenarnya dia sangat perhatian. Pipiku jadi terasa panas, perut mulas dan jantung berdetak lebih cepat dari normalnya. Begitu saja, aku kembali mengingat semua perlakuannya kepadaku selama ini. Mengingat ketika dia memberiku payung, sementara dia berlari di tengah hujan. Mengingat ketika dia memberikan jaketnya padahal dia sendiri butuh. Mengingat ketika dia memberikan punggungnya saat aku terjatuh dari ayunan. Mengingat dia yang selalu menemani saat aku sakit. Mengingat ketika dia memukul teman sekelas demi membelaku. Aku selalu bergantung kepadanya. Yah, ternyata aku memang sangat menyukai Reno. Aku manarik bagian bawah baju Reno sebelum dia menjauh dari jendela. “Ada yang ingin kukatakan.” Aku menunduk, menatap keramik hijau lumut. Aku memang egois. Selama ini aku selalu bersama Reno, tapi aku ingin lebih lama lagi dengannya. Aku ingin Reno. Dia orang yang istimewa bagiku, dan aku juga ingin menjadi yang istimewa baginya. Aku mengepalkan tangan dan menatap langsung iris cokelatnya. Aku sangat gugup. Kutatap lagi lantai, lalu kembali menatap Reno. “Aku menyukaimu, Milk.” Reno sangat terkejut. Mulutnya sedikit menganga, mata terbelalak. Dia bungkam. Apakah dia menolakku? Aku semakin mencengkeram jaket Reno yang kukenakan. Mataku mulai perih. “A-Aku mungkin tidak berbakat seperti gadis hebat di tempat kursusmu.” Aku menghapus air mata di pipi, tapi air mataku mengalir lagi. “Aku memang mudah cemburu dan labil.” Suaraku semakin bergetar. “A-aku juga egois, ceroboh dan sangat bodoh. Tapi aku...” Aku menutup wajah dengan dua tangan, isakku semakin tak tertahankan. Masih sesenggukan, aku bilang, “Aku ingin kau jadi pacarku.” Terdengar Reno tertawa, dia menoyor kepalaku lagi. “Kau memang bodoh.” Aku mendongak. Melihat Reno tersenyum, aku memilih berlari dari jendela. Dia menolak dan menertawakan kebodohanku. Aku sudah kehilangan Reno, tidak akan bisa bersama dengannya lagi. Mana ada lelaki yang tetap berteman baik dengan perempuan yang ditolaknya. Aku duduk di taman depan rumahku dan mengeluarkan tangis sepuasnya. Saat duduk membenamkan wajah di lutut, kusadari Reno menemani dalam diam. Setelah kurang lebih setengah jam aku menangis, dia bilang, “Aku tidak akan pacaran sebelum jadi pianis terkenal.”  “Kau sangat tidak menyukaiku ya? Aku ingin lebih dari sahabat, Milk.” “Ya. Aku tidak menyukaimu, karena kau sangat merepotkan. Entah bagaimana hidupmu tanpaku.” *** Hidupku kacau, Milk. Wahyu berdeham, mengembalikanku ke ruang interogasi. “Bisakah Anda ulangi lagi rangkaian kejadian yang tadi Anda katakan?" "Lagi?" tanyaku. "Ya. Coba ceritakan lagi." Aku kembali menceritakan semua yang masih menempel di kepala, tapi tidak memaparkan ingatan tentang di Sungai itu.  "Baiklah, itu saja yang perlu kami tahu. Anda bisa keluar sekarang. Kalau ada ingatan terbaru tentang kejadian malam itu, Anda bisa mengunjungi kantor polisi atau menghubungi saya.” Dia memberiku kartu namanya yang berisi nomor telepon, alamat rumah dan email. Mereka merapikan peralatan dan memasukkannya ke tas, kemudian bergantian menyalamiku, mengatakan cepat pulih. Aku keluar ruangan, langsung memeluk Juna. Dia mengusap-usap kepalaku dalam diam. "Kita pulang sekarang?" Aku mengangguk dalam dekapannya. *** [Malam. Kamarku.] “Sebaiknya kau benar-benar istirahat.” Juna menggiringku tiduran di ranjang. “Kau ingat sesuatu?” Aku menggeleng. “Kau akan membantuku menyelesaikan kasus ini, kan?” Dia mengerutkan dahi. “Apa maksudmu? Kau ingin menyelidiki?” “Tentu saja. Pembunuh itu membunuh sahabatku dan secara tidak langsung membunuh Mama juga. Kau pikir aku akan tinggal diam dan menunggu polisi bekerja?” Dia mengembuskan napas kuat, seolah sangat lelah. “Kau diawasi. Seorang polisi berkacamata yang memakai kemeja hitam selalu berjaga selama kau koma. Kudengar, kalau kau juga akan diikuti mulai sekarang.” “Aku tidak peduli. Biarkan saja dia melakukan tugasnya. Aku juga perlu melakukan tugasku. Jangan harap aku jadi penurut setelah koma.” Dia mengeluarkan kelingking. “Berjanjilah kau akan selalu mengatakan segalanya kepadaku.” Aku tersenyum, menautkan pula kelingkingku. “Aku janji.” Aku tahu Juna tidak akan membiarkanku bertindak sendirian, dan dia sadar tidak bisa mencegahku melakukan ini. Aku mengambil kertas dan pulpen di nakas, menuliskan informasi yang kudapat hari ini. Rahdila dan hasil rekaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD