Pertemuan

1177 Words
Celyn begitu terkejut melihat pesan yang di kirim oleh Kiki. Ia tidak menyangka jika Arvan membatalkan kerja sama mereka hanya karena Celyn tidak datang ke gedung Sense. Bukankah itu salah Arvan sendiri yang tidak datang tepat waktu, kenapa Celyn yang harus menanggung kesalahannya. Baru saja susana hatinya membaik karena Deril, kini harus kembali hancur karena ulah Arvan. Ia tak menyangka jika Arvan melimpahkan semua kesalahannya kepada dirinya. Celyn lalu menghubungi Kiki, mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Terdengar suara sambungan telepon yang terhubung. "Halo, Ki. Ki aku bisa jelasin apa yang sebenarnya terjadi. Aku datang ke gedung Sense jam sebelas kurang, bahkan aku nunggu pak Arvan sampai empat jam lamanya. Namun, dia tak kunjung datang," ungkap Celyn. "Dia bilang kamu tidak datang ke sana. Gimana nih, sayang banget loh. Mana dia ngambil paket yang paling mahal," oceh Kiki. "Aku akan bicara lagi dengan pak Arvan. Maaf sudah mengecewakanmu," papar Celyn. Panggilan pun berakhir, Celyn menatap layar ponselnya. Dilihatnya nama nomor Arvan yang tidak ia simpan, dengan ragu ia menekan panggilan ke nomor Arvan. Celyn menunggu panggilannya yang terhubung, ia begitu gugup akan berbicara dengan Arvan. "Halo," sapa seorang wanita dari seberang telepon. Celyn melihat layar ponselnya, dan benar itu nomor Arvan yang dua jam lalu menghubunginya. "Halo, maaf apa ini nomor pak Arvan? Saya Celyn Wo Cantika, ingin menanyakan soal kerja sama kita," jelas Celyn. "Hai, aku Mita calon istri Arvan. Jadi gimana, apa kalian bisa memenuhi apa yang kita minta?" tanya Mita. "Maaf bu, saya belum bicara lagi dengan pak Arvan perihal dekorasi serta tata letak yang di minta. Bagaimana jika kita bertemu di gedung yang akan digunakan agar memudahkan kita mengerjakan sesuai yang anda inginkan." "Oh gitu, besok aku libur. Bagaimana jika kita ketemu di gedung Sense besok saja?" "Baik bu, kalau begitu jam berapa saya harus sudah di sana?" ujar Celyn. "Jam sepuluh saja bagaimana, aku akan ke sana bersama Arvan," putusnya. "Baiklah, aku akan ke sana tepat waktu. Terima kasih atas waktunya, selamat malam," tukas Celyn mengakhiri panggilannya. Akhirnya Celyn bisa bernafas lega, ia tidak perlu berbicara dengan Arvan. Meski ia sadar akan menjadi bumerang baginya jika bertemu dengan Arvan nanti. *** Keesokan paginya Niko sudah berada di depan pagar rumah Celyn. Dengan malas ia membuka pintu pagarnya dan mempersilahkan adiknya untuk masuk. "Kak, hari ini ulang tahun ayah. Kita ke makam ayah, yuk," ucap Niko. Celyn baru ingat jika hari ini bertepatan dengan kematian ayahnya. Namun, jam sepuluh nanti ia harus menemui Mita membicarakan kerja sama mereka. Kali ini Celyn tidak akan membuat pertemuan mereka gagal dan berdampak buruk terhadap pekerjaannya. "Maaf, kakak tidak bisa ke makam ayah. Bisakah kamu mengunjunginya, tolong belikan juga bunga," ujar Celyn. "Memangnya kakak mau kemana?" tanya Niko. "Kakak harus bekerja, ada pertemuan dengan klien," jawab Celyn. "Tapi ini hari penting kak, kenapa kakak lebih mementingkan pekerjaan dari pada kematian ayah. Ini juga weekend, tidak seharusnya kakak bekerja," oceh Niko. "Kau tidak tahu dunia kerja seperti apa, yang kau tahu hanyalah uang-uang dan uang," sarkas Celyn. Ia mengeluarkan dompetnya lalu menyerahkan tiga lembar uang seratus ribu ke tangan Niko. "Pergilah, kakak akan ke sana jika urusan kakak selesai." Celyn berlalu meninggalkan Niko sembari mengendarai motor kesayangannya. Ada rasa bersalah di hatinya, tetapi dunia nyata pun penting untuk kelangsungan hidupnya. "Maafkan Celyn, ayah. Celyn harap ayah ngerti kalau Celyn sedang mencari uang untuk hidup Celyn," gumamnya. Bulian air mata meluncur bebas di pipi Celyn. Ia tak henti-hentinya menangis, meluapkan emosinya yang menyesakkan d**a. Meski ia berteriak di jalan, orang-orang tidak akan mendengar suaranya. Sepanjang perjalanan Celyn terus menangis, sampai ia tidak sadar motor yang ia kemudikan sudah sampai di gedung Sense. Celyn memarkirkan motornya, kemudian merapihkan make up-nya agar tidak terlihat sembab. Mata Celyn melihat ke sekeliling. Masih belum ada tanda-tanda kehadiran Mita atau pun Arvan. Sementara itu di tempat lain, Mita datang ke apartemen Arvan, mengajaknya untuk bertemu dengan Celyn. Mita tidak tahu jika sebenarnya Arvan sudah membatalkan kerjasama dengan mereka. "Sayang, ayo," ajaknya. "Mau kemana sayang, ini weekend. Aku ingin menghabiskan waktuku di rumah," jelasnya. "Kita harus menemui Wo untuk pernikahan kita. Aku sudah membuat janji dengan pihak sana, namanya Ce-Cece." "Cece?" ulang Arvan. "Kamu membuat janji dengan Wo mana?" sambungnya. "Itu loh, Wo yang kamu pilih kemarin. Ah iya, aku lupa. Kemarin wanita bernama Cece itu menghubungi ponselmu dan aku mengajaknya untuk melihat gedung yang akan kita gunakan," oceh Mita. Arvan mengambil ponsel, melihat panggilan masuk ke ponselnya. "Celyn," gumamnya. "Kau yakin sudah membuat janji dengan dia hari ini?" tanyanya. "Iya, aku sudah membuat janji dengan Cece jam sepuluh ini," jawab Mita melihat jam tangannya. "Astaga, ini sudah jam sepuluh lebih. Dia pasti sudah lama menunggu." Arvan lalu mengambil dompet serta kunci mobilnya. Ia berjalan keluar dari apartemennya lebih dulu, entah mengapa ia tidak ingin kembali terlambat menemui Celyn. "Sayang, tunggu!" Keduanya masuk ke dalam lift yang langsung ke basemen. Arvan berjalan lebih dulu di ikuti Mita dari belakang, mereka lalu masuk ke dalam mobil. Dua puluh menit perjalanan, mobil yang dikemudikan Arvan sampai di gedung Sense. Matanya melihat ke sekeliling dan mendapati Celyn yang sedang berjongkok sembari memainkan ponselnya. "Kamu tau wanita yang bernama Cece itu, kan?" tanya Mita, keluar dari mobil Arvan. "Namanya Celyn bukan Cece," jawab Arvan. "Tuh dia." Mita melihat seorang wanita yang sibuk dengan ponselnya. Mita berjalan lebih dulu, lalu menyapa Celyn. "Hai, Celyn," sapa Mita. "Maaf kami terlambat." Celyn mendongak, menatap seorang wanita yang berdiri di hadapannya. "Oh iya, dengan bu Mita." "Iya ... jangan panggil bu, Mita saja. sepertinya kita seumuran," tukasnya. Celyn menyunggingkan senyum, tetapi senyumnya memudar ketika Arvan berjalan ke arahnya. Hati Celyn berdesir melihat pria yang dulu dia suka kini berada di hadapannya, bersama calon istrinya. "Siang, pak," sapa Celyn kepada Arvan yang sama sekali tidak di balas olehnya. "Ayo, sayang," ajak Arvan. Celyn menghela napasnya, jelas ajakan itu untuk Mita bukan untuk dirinya. Ia pun mengikuti langkah Arvan dan juga Mita, sesekali Celyn melihat ke arah tangan Mita yang melingkar di lengan Arvan. Entah mengapa ada sedikit rasa cemburu di hati Celyn saat melihat interaksi keduanya. "Aku ingin, pelaminannya besar. Aku tidak mau harus berdesak-desakan dengan tamu undangan yang akan memberikan selamat kepadaku," ucap Mita. Celyn menulis semua yang di ucapkan Mita, tanpa ia sadari Arvan terus melirik ke arahnya. "Foto pra-wedding kita yang berukuran besar di simpan di pintu masuk," sela Arvan. "Berapa foto yang akan di pajang di depan?" tanya Celyn "Dua saja, yang lainnya kalian bisa simpan di beberapa sudut yang terlihat menarik," jawab Arvan dingin. Celyn mengangguk dan kembali mencatat semua yang kedua calon pengantin itu utarakan. "Kau sangat cantik," puji Mita. "Benarkan sayang." Ditanya seperti itu membuat Arvan gugup, sedangkan Celyn hanya menyunggingkan senyum dan kembali fokus dengan tulisannya. "Kau jauh lebih cantik," ujar Arvan. Celyn menutup bukunya lalu berkata, "Apa masih ada hal yang belum saya tulis?" "Sepertinya semua sudah kau tulis." "Baiklah, kalau begitu aku pamit. Jika ada ada tambahan atau perlu di perbaiki, silakan hubungi saya." "Terima kasih, Celyn," ucap Mita. "Sama-sama, permisi." Celyn sama sekali tak menyapa Arvan. Mita menyenggol lengan calon suaminya itu yang terlihat begitu terlihat terus mantap punggung Celyn. "Apa kau menyukainya?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD