BAB 8 – Bertemu Frans
Julia Shasmita alias Juleha, kembali mengemudikan motor besarnya menuju kantor kepolisian di Kebayoran Baru. Ia mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi karena takut terlambat.
Beruntung, baru saja Juleha memarkirkan motornya, bel untuk apel pagi baru berbunyi. Gadis itu selamat hari ini.
“Leha, lu kemana aja?” bisik Alexa yang sudah bersiap mengikuti apel pagi.
“Biasa, ketiduran,” jawab Juleha, datar.
“Ketiduran mulu lu ah ....” Alexa mendengus, kesal.
“Mau gimana lagi, gue mimpi indah terus soalnya, hahaha ....”
“Cint, nanti pulang dinas kita mampir ke kafe dulu ya, ada banyak hal yang mau gue omongin sama lu,” bisik Juleha lagi di sela-sela apel pagi.
“Sstt ... nanti aja ngomongnya, gue nggak mau kena hukum lagi seperti tempo hari.” Alexa mencoba menghindari percakapan dengan Juleha. Juleha hanya bisa menurut karena ia juga tidak mau mendapatkan hukuman lagi.
Jam istirahat siang.
Juleha dengan muka masam berjalan menuju meja Alexa yang tengah sibuk memeriksa berkas-berkas laporan dari masyarakat terkait beberapa kasus kejahatan.
“Kamu kenapa mukanya masam begitu,” tanya Alexa yang mulai mengemasi berkas-berkas itu, pasalnya ia juga butuh istirahat dan makan siang.
“Aku dapat tugas berbahaya lagi,” gerutu Juleha seraya menyeruput jus naga yang ada di atas meja Alexa. Juleha dan Alexa kalau berada di kantor atau di tempat formal, akan merubah cara bicara mereka menjadi lebih santun dan yang pastinya menjaga image masing-masing dong.
“Berbahaya sih berbahaya, tapi minuman aku mengapa kamu habiskan juga.” Alexa hanya bisa bengong menyaksikan gelas yang semula masih berisi jus naga lebih dari setengah kemasan, kini hanya tersisa beberapa tetes saja.
“Membayangkannya saja sudah membuatku haus, apa lagi kalau sudah menjalankan misi itu. Mungkin sepuluh galon air mineral tidak akan cukup untuk melepaskan dahaga ini,” sungut Juleha seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
“Kenapa nggak minum aja air se sumur,” balas Alexa dengan wajah kesal.
“Enak saja, memangnya aku ini sapi gelondong yang dikasih minum air se sumur, hehehe ... Dah ah, kita makan siang dulu yuks. Cacing-cacing dalam perut aku mulai demo.” Juleha memegangi perutnya.
“Makanya, cacing-cacing itu juga harus kamu kasih makanan begizi, jangan junk food terus.”
“Nggak mau ah, nanti mereka malah keenakan, terus kerjaanya kawin dan produksi anak berlebihan. Alhasil nanti perut aku dijadikan tempat kondangan dan tempat me-sum melulu, hahaha ....”
Alexa seketika memukul kepala Juleha dengan tumpukan kertas yang ada di hadapannya, “Otak kamu tu perlu diservis kayaknya. Banyak spare part yang sudah berkarat.”
“Sayangnya susah nyari Spare partnya, limited edition, hahaha ....” Juleha terkekeh seraya memegang kepalanya dengan ke dua telapak tangannya.
Alexa juga tersenyum memerhatikan tingkah nyeleneh sahabatnya itu. Juleha memang nyeleneh akan tetapi sangat baik dan perhatian. Juleha juga merupakan pribadi yang sangat menyenangkan.
Alexa pun bangkit, di susul Juleha. Mereka berdua pun berjalan menuju salah satu kantin yang terdapat di area kantor milik pemerintah itu.
Ya, author nggak salah’kan? Bukan’kan kepolisin juga termasuk kantor pemerintahan? Hehehe ...
Karena asyik mengobrol dan tidak memerhatikan jalan serta bagian depan, tiba-tiba Juleha menubruk tubuh seseroang.
BRUK!!!
“Sorry ... sorry ... aku nggak sengaja.” Juleha menyatukan ke dua telapak tangannya seraya menunduk. Sejenak kemudian, ia pun mengangkat kepalanya dan melihat sosok pria yang ia tabrak barusan. Julehan pun ternganga.
“Ka—kamu? Bukankah kamu yang ketemu kemarin di mall?” Juleha mengernyit seraya menunjuk wajah pria tampan dan gagah yang ada di hadapannya.
“Kamu Julia’kan?” Sang pria juga terkejut melihat sosok cantik yang ada di hadapannya.
“Ka—kamu ... Kamu Frans? Ternyata kamu polisi juga? Dinas di mana?” Juleha seketika bersikap sopan dan jaga image.
Alexa hanya bisa merengut seraya berdiri di belakang Juleha. Wanita itu bersedekap seraya menahan perutnya yang mulai keroncongan.
“Aku yang kaget lho, nggak nyangka ternyata kamu polisi juga. Kamu dinas di sini?” tanya Frans tanpa menjawab pertanyaan Juleha.
“Iya,” jawab Juleha seraya senyum-senyum mesem. Ternyata cewek maskulin itu bisa senyum-senyum mesem juga. Author sendiri juga nggak nyangka, hahaha ...
“Mau pergi makan siang?” tanya Frans yang memiliki nama lengkap Frans Banuarga.
“Rencananya sih.”
“Mau bareng?” tawar Frans.
“Boleh deh, boleh ... tapi sekarang ya, soalnya aku udah laper dan tugas-tugasku juga numpuk. Kalau kelamaan ntar bisa nggak selesai kerjaan aku.” Alexa yang sedari tadi berdiri di belakang Juleha tiba-tiba menyela begitu saja.
“Hei, kamu temannya Juleha yang waktu itu’kan?” Frans juga menyapa Alexa, “Ternyata kalian berdua sama-sama polisi, hebat!”
Alexa memamerkan senyum terindahnya, Frans juga membalas dengan senyuman. Sementara Juleha menatap keduanya dengan tatapan penuh amarah.
“Sudah, kalian nggak usah saling tatap-tatapan begitu. Si jab-lay ini, Ups ... maaf, maksudnya Alexa ini sudah menikah dan punya satu anak. Suaminya seorang tentara, hebat’kan?” Juleha seketika menjelaskan sebelum terjadi sesuatu yang tidak ia inginkan.
“Owh, jadi Alexa sudah menikah? Aku kira masih gadis lho, masih cantik soalnya ....” Hati Juleha seketika mendidih ketika Frans memuji sahabatnya itu.
“Kalau kamu sendiri bagaimana, Julia?” Frans balik bertanya ke arah Juleha.
“Aku ini masih jom—.”
“Sebentar lagi ia juga akan menikah. Julia sudah dijodohkan sama orang tuanya dengan pengusaha berlian yang kaya raya.” Alexa tiba-tiba kembali menyela dan menyungging senyum sinis ke arah sahabatnya.
Kali ini, Juleha benar-benar mendidih. Andai saja ini bukan di area perkantoran, ia pasti sudah mencakar-cakar Alexa.
“Benarkah, Julia?” tanya Frans seraya menatap wajah Juleha.
“Baru juga rencana, belum benar-benar menikah’kan? Lagi pula aku dijodohkan bukan atas kemauan sendiri,” jawab Juleha seketika.
“Ah, sudah ah ... aku benar-benar lapar. Kita ke kantin dulu, nanti kita lanjutkan lagi ngobrol-ngobrolnya.” Alexa seketika menarik lengan Juleha.
“Frans jadi ikut’kan?” tanya Juleha yang tengah diseret paksa oleh Alexa.
Frans dengan sikap cool dan bersahaja, mengangguk. Pria itu pun mengikuti Juleha dan Alexa.
Siang itu, mereka bertiga habiskan dengan berbincang ringan seputar pekerjaan dan berita-berita kriminal yang tengah viral baru-baru ini.
***
Sore sudah menjelang. Alexa dan Juleha bersiap untuk pulang. Mereka berdua pun membereskan berkas-berkas hasil pekerjaan mereka di meja dan ruangan masing-masing yang memang terpisah sekitar dua puluh meter.
Dulunya mereka satu ruangan dan satu divisi, namun akibat adanya revisi pembagian tugas, Alexa dan Juleha pun terpaksa berpisah walau masih dalam satu gedung perkantoran. Namun demikian, mereka tetap saja tidak bisa terpisahkan secara total. Juleha dan Alexa bagaikan pinang tidak terbelah.
Juleha lebih dahulu menghampiri Alexa di ruangannya, “Cint, lama banget sih?” tanyanya seraya menekan bokongnya dengan kasar di kursi yang terdapat hadapan Alexa.
Alexa menarik napas panjang, “Huft ... banyak sekali berkas laporan kejahatan yang masuk minggu-minggu ini,” pungkas Alexa seraya terus mengemasi tumpukan berkas yang ada di atas mejanya.
“Kamu mah enak hanya ngurusin berkas, lha aku? Harus terjun langsung ke lapangan untuk menghadapi para penjahat itu. lebih bahaya tugas aku dong, Cint ....” Juleha bersungut dan mengangkat kaki kirinya ke atas paha kanannya.
“Itu resiko jadi jomlo, hahaha ....” Alexa terkekeh.
Ya, Alexa memang benar. Sebenarnya ke dua polwan itu memiliki prestasi dan kemampuan bela diri yang setara. Hanya saja, Alexa bisa menolak pekerjaan berbahaya itu lantaran dirinya sudah memiliki seorang balita. Ia tidak ingin mengambil resiko yang akan membuat putrinya teraniaya nantinya. Terlebih saat ini, Aurella—putri Alexa—sudah kehilangan perhatian dan kasih sayang seorang ayah lantaran suami Alexa harus berjuang mempertaruhkan nyawa di perbatasan demi menjaga keamanan negaranya. Tugas yang memang sangat mulia, akan tetapi terpaksa harus mengorbankan banyak jiwa, terutama jiwa putri semata wayang mereka.
Sementara Juleha? Selain jomlo, ia juga merasa senang dan tertantang dengan tugas berbahaya sebagai salah satu bagian dari Badan Inteligensi Negara. Juleha merasa jiwa maskulinnya semakin keluar dengan melakukan pekerjaan itu.
“Yap! Sudah selesai. Kita berangkat sekarang?” tanya Alexa yang sudah selesai membereskan semua berkas pekerjaannya.
“Ayok!” jawab Juleha mantap. Ia pun bangkit dan segera berlalu menuju parkiran, tempat ia memarkir motor besarnya.
Berbeda dengan Juleha, semenjak menikah dan memiliki anak, Alexa lebih nyaman mengendarai motor matic ketimbang motor besar yang juga ia punya. Mereka membeli motor besar itu secara bersama-sama ketika uang gaji mereka sudah terkumpul untuk membeli motor impian mereka berdua.
Walau Alexa dan Juleha berasal dari keluarga berada, namun mereka berdua sama-sama enggan menggunakan uang ke dua orang tuanya untuk membeli barang-barang yang begitu mereka idam-idamkan, contohnya motor besar dengan tipe, merk dan warna yang sama. Sayangnya, motor milik Alexa lebih banyak tidur saat ini. Hanya sesekali motor itu dipakai oleh keponakannya yang tinggalnya tidak jauh dari rumah Alexa. Atau ketika suami Alexa pulang, suaminyalah yang sering menggunakan motor bersejarah itu.
Suaminya berkali-kali menyuruh Alexa untuk menjual motor itu, namun Juleha tetap saja enggan. Ia tidak mau menjual motor bersejarah yang sudah menemaninya semenjak ia pertama kali masuk ke kepolisian.