Aminah yang sudah mendapatkan kunci cadangan, bergegas menuju kamar putri semata wayangnya. Wanita tambun itu pun segera memutar kunci dan menekan gagang pintu hingga pintu itu terbuka.
Namun tiba-tiba ...
“ASTAGA, LEHAAA!!!!”
“AAAAAAA!!!!”
Aminah terkejut setengah mati melihat kondisi putrinya dengan posisi tidur tidak biasa. Tidur dengan posisi telentang dan mengang-kang. Be-ha yang nyaris terlepas dan bagian bawah hanya di tutupi pengaman segi tiga tipis dan seksi.
Juleha pun tiba-tiba terkejut tatkala mendengar teriakan ibunya yang subhanallah menggelegar mengalahkan bunyi guruh. Wanita itu seketika terduduk dan berteriak seraya memegangi dadanya.
Aminah yang latah secara spontan menyambar sebuah sepatu yang berdiri manis disamping pintu. Ia mengambil sepatu itu dan melemparnya dengan sangat kuat hingga tepat mengenai kepala Juleha.
“Aawwhh ... Mam—.” Belum selesai Juleha berbicara, ia keburu pingsan.
Aminah panik. Ia segera menutup pintu kamar putrinya rapat-rapat seraya menguncinya dari dalam. Aminah mendekati Juleha dan mendapati sebuah benjolan besar bersarang di jidat putrinya. Hak sepatu polisi milik Juleha yang keras sekeras kehidupan ini, mendarat manis tepat di atas jidat gadis itu. Hal itu membuat kening Juleha benjol, merah, berdarah dan ia pun pingsan.
Aminah mengambil selimut dan menutupi tubuh putrinya dengan selimut.
“Leha, Bangun Leha ... haduh, kok gini aja lu udah pingsan sih?” Aminah mengguncang tubuh putrinya, namun tubuh itu tidak juga bangun.
Wanita tambun itu pun bangkit dan berjalan menuju tumpukan kain kotor milik putrinya. Ia mengambil sepasang kaos kaki dan menggoyang-goyangkannya di atas hidung Juleha, tidak lama gadis itu pun sadar.
“Nah, akhirnya lu bangun juga. Lagian, lu ngapaian tidur telan-jang seperti ini, ha? Lu memangnya habis ngebayangin ape, ha?” Aminah terus mengerutu tanpa ada rasa bersalah karena sudah membuat kening putrinya bengkak. Ditambah lagi, bau kaos kaki itu melekat kuat di hidung putrinya.
“Mami ngapain sih lembar aku pakai sepatu. Sakit tahu nggak? Ini lagi, ueekk ... Mami mau bunuh aku?” Juleha merajuk. Ia berkali-kali menyeka hidungnya.
“Halah! Lu sok-sokan ngambek segala. Benjolan kayak gini doang mah kecil. Biasanya juga lebih parah dari ini dan lu biase-biase aje.” Aminah meledek putrinya seraya mencibir.
Netra Juleha tiba-tiba tertuju pada sebuah benda bulat yang tergantung di dinding kamarnya. Jam dinding itu menunjukkan pukul tujuh pagi.
“Astaga ... mami ini sudah jam berapa? Bakal di hukum lagi ini.” Juleha segera menyibak selimut yang membalut tubuhnya yang nyaris telan-jang. Ia tanpa segan, langsung berjalan tergopoh-gopoh menuju kamar mandi.
Aminah hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah laku putri semata wayangnya. Juleha yang sedari kecil memang lebih banyak berteman dan bergaul dengan laki-laki, menjadikan pribadinya maskulin seperti ini. Edo yang juga kala itu sangat amat mengharapkan bayi laki-laki, selalu memperlakukan putrinya seperti jantan.
Setelah merenung sesaat, Aminah pun keluar dari kamar putrinya dan berjalan menuju lantai satu, tepatnya ruang makan.
Di atas meja makan besar yang terbuat dari kayu jati asli dengan ukiran-ukiran khas betawi, sudah tersedia beberapa jenis makanan untuk sarapan keluarga kecil itu. Makanan yang terhidang di atas meja makan bukan seperti makanan untuk tiga orang, melainkan untuk tujuh orang.
Lho kok bisa? Bukankah Aminah hanya punya satu putri dan satu suami? Jangan-jangan ia menyimpan suami yang lain di dalam lemarinya? Hahaha ...
Tenang gaess, Aminah sama sekali tidak menyimpan suami cadangan di mana pun. Walau pun Edo selalu nyeleneh, tapi Aminah begitu setia dan mencintai suaminya itu. Edo pun juga demikian.
Jadi untuk apa makanan sebanyak itu? Apakah asisten rumah tangga Aminah yang berjumlah tiga orang, satu tukang kebun, satu satpam, juga ikut makan bersama di satu meja makan bersama mereka?
Bukan, makanan yang tersedia di sana bukan untuk para pegawai di rumah Aminah yang kalau dijumlahkan memang tujuh orang penghuni rumah itu saat ini. Lalu makanan itu untuk siapa? Untuk Brewok dan Kucai?
Enggaklah, Brewok dan kucai nggak makan makanan seperti itu. Brewok dan Kucai sukanya daun-daun segar, sesekali makan bunga melati campur menyan (eh, kok serem ya).
Kembali lagi ke pertanyaan tadi, lalu makanan segitu banyak untu siapa? Ayo tebak untuk siapa?
YAP!
Makanan-makanan itu semuanya untuk sang pemilik rumah yakni AMINAH. Jadi jangan heran kalau tubuh Aminah memang subur dan makmur. Sepaten apa pun obat diet yang ia konsumsi, tetap tidak akan mempan dan bereaksi di tubuh Aminah.
Bahkan wanita itu pernah satu kali melakukan operasi pengangkatan lemak. Hebat, keluar dari rumah sakit berat badan Aminah langsung menghilang sebanyak dua puluh kilo. Tapi bertahan hanya dua bulan saja, setelah itu naik lagi dua puluh lima kilo, hahaha ...
Beruntung wajahnya masih sangat cantik, kencang dan tidak terlalu tembem. Jadi kalau dibawa foto selfi tanpa anggota tubuh, Aminah tak ubahnya bak pinang dibelah dua dengan Juleha, cantik dan memesona.
Setelah menatap semua makanan yang mengugah selera itu, Aminah pun duduk di salah satu kursi. Ia terus menatap makanan-makanan itu tapi beum menyentuhnya sama sekali. Bagaimana pun nyelenehnya sikap Aminah, untuk urusan makan, ia tetap menomor satukan tata krama. Ia akan menunggu suami dan putrinya terlebih dahulu, baru mereka semua akan makan bersama.
Tidak lama, Edo pun datang setelah berkencan dengan Brewok dan Kucai.
“Mah, mana si Leha?” tanya Edo seraya mengambil posisi duduk tepat di sebelah istrinya.
“Tadi lagi mandi.” Aminah menjawab sementara matanya masih menatap makanan-makanan yang sudah di tata dan di plating sedemikian rupa.
“Jagalah mata kau itu, Ma. Macam tak pernah sajanya kau makan makanan seperti ini.” Edo bersungut seraya menyeruput teh hangat yang memang sudah disediakan untuknya.
“Memang mamah belum pernah makan makanan seperti ini. Ini namanya masakan Jepang. Kemarin mama habis browsing di internet, lalu mama suruh Inem dan Susi memasaknya.”
“Halah! Kau ini, Ma. Biasanya makan nasi tambah telur rebus sambal terasi, sudah berasa di surganya, Kau. Ini sok-sokkan minta makanan jepang segala. Bagaimananya kalau tidak enak atau tidak cocok di lidah kita.” Edo kembali menggerutu sebab ia tidak biasa makan makanan seperti yang terhidang di meja makannya saat ini. Walau mereka termasuk keluarga yang kaya raya dari lahir, namun untuk urusan makan, tetap saja seleranya biasa saja.
“Pah, bu Wiwik itu orangnya parlente. Seleranya tinggi, Pah. Sebagai calon besannya, kita juga harus menyesuaikan diri dan selera dengan bu Wiwik.” Aminah berkata serius.
“Terserah kau’lah, Ma. Kalau nanti tak enak menurutku, aku akan suruh Inem atau Susi masak nasi goreng saja. Lebih pas rasanya diperutku ini.” Edo menggoyan perutnya yang tak kalah buncit dari perut istrinya. Tapi tubuh Edo tidak tambun seperti tubuh Aminah.
Tidak lama, Juleha pun datang. Tanpa duduk apalagi membaca bismillah, gadis yang sudah mengenakan seragam polisi itu segera menyeruput s**u hangat yang sudah disiapkan di atas meja makan itu untuknya.
“Leha, lu duduk dulu, napa. Duduk yang cantik dan berdoa dulu sebelum makan dan minum. Lu kayak kagak diajarin agama aje ye.” Aminah kembali menggerutu.
“Sorry, Mi. Udah nggak sempat.” Juleha segera berlalu setelah menghabiskan segelas s**u hangat. Akan tetapi, Juleha tetap tidak lupa menyalami ke dua orang tuanya dengan takzim seraya mencium pipi ke dua orang tuanya.
“Leha berangkat dulu, Assalamu’alaikum ....”
“Wa’alaikumussalam ...,” jawab Edo dan Aminah secara bersamaan.
“Pa, sampai kapan Juleha akan bersikap seperti itu. Harusnya dulu mamah masukin dia ke pesantren, bukan ke SMK.” Netra Aminah tampak menerawang.
“Halah! Lagak kau itu, Mah. Macam kau yang alim saja. Kutanya sama kau, adanya tadi kau salat subuh, ha?” Edo menatap istrinya, serius.
Aminah cengegesan, “Lupa, Pa.”
“Lha? Bagaimananya anakmu bisa alim sementara mamaknya saja tak ingat Tuhan.” Edo mulai mengambil piring dan mengalihkan pandangannya menatap beberapa jenis makanan yang sama sekali tidak membuatnya berselara.
“Lha, emangnya papa sendiri bagaimana?” tembak Aminah seketika.
Edo kembali menatap istrinya, “A—aku ....”
“Lha, itu? imamnya saja seperti itu bagaimana istri dan anak mau taat juga? Harusnye papa dulu yang berubah. Nanti juga anak istri akan ngikut.” Aminah membuang muka. Ia juga mulai mengambil piring dan menuang beberapa jenis makanan ke dalam piringnya.
Edo terdiam. Sesaat ia berpikir jika apa yang dikatakan istrinya itu ada benarnya. KTP ke duanya memang Islam, akan tetapi jarang melaksanakan rukun Islam. Sejenak, ada rasa yang menyesak di dalam jiwa Edo selaku imam dan kepala rumah tangga.
Pria itu kemudian memakan makanannya dengan cepat lalu segera beranjak ke taman belakang rumahnya, menatap brewok dan kucai dan mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Aminah—istrinya.
“Brewok, Kucai ... klean ini taat tidak sama Tuhan klean. Aku ini kok durhaka sekali ya sama Tuhan-ku. Ingin rasanya aku ini kek orang-orang itu, tapi malas sekali rasanya. Ah, sampai kapanlah ya aku seperti ini.” Edo mengajak kambing-kambingnya berbicara.
MBEEEKKK ...
MBEEEKKK ...
Kambing-kambing itu seakan menjawab pernyataan Edo.
“Alamak! Ngertinya klean ini apa yang aku ucapkan tadi? Klean balas pulanya ucapanku.” Edo terpelongo menatap ke dua kambingnya.