"Makan ini dan berhentilah menangis, karena senyummu jauh lebih manis dibandingkan kuenya!"
Kata-kata itu terngiang dalam benak Naura. Sebuah kunci awal perasaan Naura untuk Ravin yang saat ini setengah mati berusaha untuk di dekati oleh Naura.
Lebih tepatnya sekitar seminggu yang lalu, Naura mampir ke sebuah kafe yang tak jauh dari rumahnya. Kafe yang sejak awal buka memang kerap menarik pandangannya, walau nyatanya Naura tak pernah mengunjungi kafe tersebut. Namun, rumor yang mengatakan jika makanan manis yang tersedia di kafe itu sangat nikmat membuat Naura si pecinta makanan manis itu akhirnya tergoda untuk mengunjungi kafe tersebut.
Akhirnya Naura benar-benar mengunjungi kafe tersebut dan memesan beberapa menu kesukaannya. Namun, sayang saat Naura sudah memesan makanan tersebut dan menunggu cukup lama untuk makanan itu sampai, tiba-tiba saja pegawai kafe tersebut malah mengatakan jika salah satu menu yang ia pesan sudah habis. Padahal Naura sudah mengonfirmasi menu tersebut beberapa kali sebelum ia benar-benar memesan menu tersebut.
"Bukankah tadi katanya masih ada, choco lava itu!"
"Waktu aku memesannya kalian tidak mengatakan jika stoknya sudah habis. Aku sudah bertanya beberapa kali dan jawaban kalian choco lavanya masih ada. Tapi sekarang, tiba-tiba kalian bilang sudah tidak ada lagi!"
Rasa kecewa menyelubungi Naura kala itu, mungkin jika sejak awal pegawai di kafe tersebut mengatakan bahwa choco lamanya tinggal sedikit dan menawarkan untuk mengecek kembali persediaan choco lava tersebut, mungkin Naura tidak akan kecewa seperti ini.
Sungguh mengecewakan bahwa Naura malah tidak bisa mendapatkan makanan yang ia inginkan. Tetapi, meski Naura tidak bisa membendung perasaannya yang sedih karena tidak mendapatkan makanan yang ia sukai itu, Naura cukup tersentuh dengan pegawai yang saat ini meminta maaf berulang kali pada Naura.
"Baiklah mau bagaimana lagi jika memang tidak ada choco lavanya."
Nada kecewa memang terdengar jelas dari Naura. Namun, Naura memang tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Walau sebenarnya ada sedikit rahasia kecil tentang arti choco lava tersebut bagi Naura yang membuat Naura sangat ingin memakannya saat ini.
Sejujurnya pegawai itu juga pasti merasa tidak enak dengan Naura, apa lagi kesedihan dan kekecewaan itu terlihat nyata dari Naura. Tapi, Naura yang berusaha berbesar hati itu pun tetap berusaha untuk menenangkan sang pegawai dan meminta sang pegawai tersebut mengganti menu dengan sebuah cake coklat saja.
Pegawai itu sekali lagi meminta maaf pada Naura dan langsung pamit untuk menyiapkan pesanan Naura. Sedangkan Naura yang sekarang tenggelam dalam perasaannya itu kini malah semakin terlihat berkaca-kaca, memancarkan kesedihan yang membuat iba siapa pun yang melihatnya.
"Padahal aku sangat menginginkannya. Aku sangat ingin memakan choco lava saat ini. Aku harus memakannya jika memang ingin memperbaiki hatiku!"
Bola mata Naura semakin berkaca-kaca, ia benar-benar terlihat akan menangis.
Hal seperti ini bukan hal aneh bagi para pegawai kafe tersebut. Tidak jarang memang ada yang datang ke kafe itu khusus untuk memesan menu kesukaan mereka saja dan ketika menu itu habis, kesedihan dan kekecewaan juga kerap mereka perlihatkan.
Memakan camilan memang menjadi sebuah hadiah kecil untuk diri sendiri dan terkadang juga menjadi hadiah bagi orang lain. Sepotong rasa manis dari camilan itu akan menyembuhkan luka yang mungkin terasa pahit. Alasan yang sama pula bagi Ravin untuk memulai kafenya itu. Ravin ingin menebar segala kebaikan dari sepotong manis menjadi penyembuh lara hati yang rapuh.
Kejadian yang sama pula dengan Naura, ia benar-benar terlihat sangat sedih saat tidak mendapatkan menu yang ia inginkan. Tanpa tahu bahwa sebenarnya Naura memiliki sebuah ritual sendiri bila ia sedang dalam keadaan yang pahit, Naura akan memakan choco lava itu untuk menghibur hatinya.
"Aku baru saja dimarahi karena tidak lulus tes. Kalau aku tidak makan choco lava itu, rasanya aku tidak sanggup menahan semuanya."
Sudah pasti, air mata itu pun menetes begitu saja. Bersama rasa pahit dan sedih serta kekecewaan yang menjadi satu. Naura benar-benar sudah menangis di meja kafe tersebut. Menatap ke arah meja yang kosong dengan air mata yang jatuh setetes demi setetes. Walau isakan itu Naura tahan segenap hatinya. Tapi, Naura benar-benar tidak bisa membohongi siapa pun di meja itu bahwa saat ini ia sedang menangis.
Sementara itu, Ravin yang baru selesai dengan urusan dapurnya dan hendak melihat situasi di dalam kafe itu tak sengaja melihat Naura yang menangis di meja paling sudut pada kafenya tersebut, dan Ravin pun bertanya pada sang pegawai tentang apa yang baru saja terjadi pada Naura sehingga pandangan semua orang mengarah sedih pada Naura.
Bukan pula hal yang aneh saat ada yang menangis di dalam kafe tersebut, namanya juga tempat umum terkadang suka ada saja yang terjadi. Terkadang bisa menjadi tempat pertengkaran, tempat kencan, tempat seseorang untuk melakukan pendekatan cinta, bahkan ada pula yang putus di sana. Tapi, biasanya pandangan mata para pegawai kafe tidak seperti ini. Sedangkan pada Naura, mereka menatap penuh dengan kesedihan dan rasa bersalah yang tentu saja membuat Ravin langsung bertanya tentang Naura.
"Ah, itu Pak. Tadi nona itu memesan choco lava, tapi ternyata persediaannya sudah habis. Dia kecewa dengan saya karena saya tadi kurang teliti dan kurang bersikap baik pada tamu kita!"
Pegawai yang mengakui kesalahannya itu ikut merasa sedih. Ia menundukkan kepalanya dan meminta maaf juga pada atasannya itu. Kejadian seperti ini memang terkadang terjadi, sehingga Ravin tidak ambil pusing dengan hal tersebut. Pegawai kafenya juga bisa berbuat salah. Apa lagi jika hari sudah semakin redup dan toko sudah mendekati jam tutup. Mereka yang sudah kelelahan bekerja terkadang memang sedikit melakukan kesalahan.
Begitu mendengar apa yang terjadi, hati Ravin pun ikut tersentuh dengan apa yang dialami oleh Naura.
"Apa dia sangat suka kue buatanku sehingga dia bisa terlihat sedih seperti itu?"
Ravin yang kala itu masih memandang lekat ke arah wanita yang menangis sambil menundukkan kepalanya itu benar-benar tersentuh. Tangisan itu seakan membangkitkan kembali tekad Ravin atas tujuannya untuk membuat kafe tersebut yaitu, memberikan kebahagiaan dari sepotong rasa manis yang ia buat segenap hatinya itu.
Tak ingin membuat Naura kecewa, Ravin pun berniat untuk memberikan sebuah choco lava pada Naura. Ravin kembali ke dapurnya dan ia mengambil salah satu kue yang telah ia siapkan untuk siapkan untuk adiknya Nara. Ravin mengambil choco lava yang sebelumnya memang sengaja ia sisihkan untuk Nara dengan beberapa kue lainnya yang juga sengaja ia buat.
"Nara pasti tidak masalah jika aku mengatakan membagi sepotong choco lava tersebut pada tamu kafe yang menangis!"
"Dia pasti bangga padaku yang baik hati ini!" gumam Ravin penuh percaya diri yang saat itu mengharapkan pujian dari kebaikan yang ia lakukan.
Begitulah akhirnya Ravin mengantarkan langsung choco lava tersebut pada Naura dengan rasa percaya dirinya yang tinggi.
"Selamat sore!" sapa Ravin dengan senyuman cerahnya dan hanya disambut tatapan heran dari Naura.
"Ah, maaf. Apa tangisanku mengganggu tamu yang lain?"
Naura kala itu berpikir jika ia mungkin saja sudah membuat sulit usaha orang lain dengan tingkah kekanak-kanakannya itu.
Akan tetapi, Ravin malah semakin tersenyum lebar sambil menggelengkan kepalanya.
"Makan ini dan berhentilah menangis, karena senyummu jauh lebih manis dibandingkan kuenya!"
"Ini gratis dariku. Ini seharusnya aku berikan untuk adikku yang sakit, tapi aku bisa memberikannya kue yang lain, jadi makanlah dan tersenyumlah lagi. Karena senyumanmu lebih manis dari kuenya!" ucap Ravin dengan suara lembut dan senyumannya yang hangat.
Debaran jantung tiba-tiba menerpa Naura, seakan ada badai petir yang menyambar tanpa aba-aba. Ledakan petasan yang seakan menari-nari di hati Naura. Apa yang Ravin lakukan itu bak oasis di tengah gersangnya hati Naura.
Bagaikan jarum jam yang berhenti berputar, Naura merasa jika hanya tinggal ia dan Ravin saja yang ada di kafe tersebut. Ramainya suara yang ada di kafe tersebut seketika terdengar samar saat itu juga.
Sosok Ravin yang terkena pancaran sinar lampu terlihat begitu mempesona. Terlebih lagi, celemek yang Ravin kenakan dengan noda cream yang masih melekat terlihat semakin menggemaskan di mata Naura. Seketika itulah ia memutuskan jika apa yang ia rasa itu adalah sebuah wujud dari cinta.
"Benar, ini pasti cinta!"
Sejak pertama kali melihat Ravin saja ia sudah mengaggap hal tersebut adalah cinta. Meski sebenarnya ia sama sekali tidak mengerti arti dari cinta yang sesungguhnya.
"Baiklah, meski sebelumnya cinta pertamaku adalah kecoak, dan membuatku cinta bertepuk sebelah tangan selama ini. Sekarang aku bisa jatuh cinta dengan benar pada seorang pria yang tampan."
Bukan sesuatu yang aneh mengapa Naura menganggap jika cinta pertamanya adalah seekor kecok. Bukan karena cinta pertamanya adalah pria yang tidak tahu diri seperti kecoak yang menjijikan. Bukan pula karena cinta Naura yang bertepuk sebelah tangan sehingga ia menamakan pria tersebut sebagai seorang kecoak.
Hanya saja, perkataan dari sahabat Naura yang membuat Naura memercayai hal konyol itu hingga saat ini.
"Cinta itu adalah ketika detak jantungmu bahkan menembus gendang telinga, ia berdebar, dan membuat tubuhmu merasakan gertaran lembut, tersengat listrik yang disebut dengan cinta."
Akibat mempercayai hal tersebut, Naura langsung menyadari jika satu-satunya yang bisa membuat jantungnya berdebar sampai saat ini hanyalah seekor kecoak yang sering tiba-tiba terbang mendekat padanya.
Sejak saat itu, ia meyakini jika satu-satunya yang bisa membuat jantungnya berdebar hanyalah kecoak. Cinta yang kerap ia anggap sebagai kelainan saat ia harus menerima bahwa debaran jantungnya itu hanya untuk seekor kecoak saja.
Sedangkan saat ini, untuk pertama kalinya Naura merasakan debaran jantungnya pada seorang pria. Benar-benar sosok manusia, pria yang tampan.
Pertama kalinya untuk Naura merasakan debaran yang unik pada pria yang tersenyum hangat menyodorkan sebuah choco lava cantik untuknya dengan tulus. Bukan seekor kecoak tebang yang selalu membuatnya menjerit tiap kali kecoak itu mendekati dirinya. Saat ini, hanya Ravin lah membuat debaran unik yang melebihi debaran yang Naura rasakan pada sang kecoak.
Sejak saat itu pula, Naura menetapkan hatinya untuk Ravin serta bertekad akan masuk ke hati Ravin dan menempati seluruh ruang di hati Ravin tak peduli dengan apa pun yang harus ia lakukan untuk mendapatkan Ravin, Meski dengan cara yang perlahan dan manis.
Pada kenyataannya semua hal yang harus Naura tempuh bukanlah jalan yang mudah. Tak mudah bagi Naura jika ingin mengisi hati Ravin dan menempati singgasana hati Ravin tersebut. Sebab ada hal lain yang memenuhi hati Ravin yang akan sangat sulit untuk di geser posisinya.
Adalah Rana Ravinda Edrea atau biasa dipanggil Ravin, ia sangat mencintai kembarannya Nara Lovata Edrea. Ia bahkan menjadi seorang koki dan membangun banyak cabang restoran, kafe dan toko kue di dalam dan di luar negeri dengan alasan adiknya yang sangat menyukai makanan terutama makanan manis.
Kedekatannya dengannya dengan sang adik kerap membuat semua orang iri. Mereka terlahir bersama, tumbuh bersama, dan seolah akan selalu bersama selamanya.
"Pokoknya aku harus selalu berada di sisi Nara, sampai kapan pun itu!"
Begitulah sikap Ravin yang selalu mengedepankan Nara di banding apapun, termasuk dirinya sendiri.
Meskipun Nara bersikeras untuk membiarkan Ravin melepaskan dirinya dan lebih fokus pada diri Ravin sendiri. Tapi, Ravin sama sekali tidak mau melepas Nara. Sebab rasa bersalah Ravin yang pernah mengkhianati Nara membuatnya justru semakin terobsesi pada adik kembarnya itu.
Walau demikian Nara merasa jika Ravin sudah terlalu over protektif padanya. Selain karena ingin lepas dari Ravin, Nara juga merasa jika Ravin sudah cukup menjaga dirinya dengan baik dan tak ingin membuat Ravin terus terjebak dengan rasa bersalahnya.
Semua itu akhirnya mendapatkan titik terang bagi Nara saat seorang gadis tiba-tiba muncul di kehidupan Ravin.
Adalah Naura gadis ceria yang kini terus menerus mengikuti Ravin tanpa jeda. Ia mengikuti kemana pun Ravin pergi dengan seluruh energi yang Naura miliki itu untuk bisa menerobos masuk ke hati Ravin.
"Ayolah, suapi aku. Kenapa kamu hanya menyuapi Nara, padahal di cake itu sebenarnya yang tertulis adalah Naura!"
Sudah pasti, Ravin tercengang dengan sosok wanita tidak tahu malu yang mengikutinya bahkan sampai rumah itu.
"Heh, makhluk aneh. Kamu sebenarnya siapa sih?"
Tentu saja, meskipun bertubi-tubi perkataan Ravin yang bernada tinggi tersebut dilontarkan. Naura sama sekali tidak sakit hati, di mata Naura, Ravin justru terlihat sangat menggemaskan.
"Meski dia membentakku. Tapi, dia tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar. Dia juga bahkan menyediakan minuman dan piring untukku. Benar-benar pria yang menggemaskan," benak Naura yang mendapati jika setidaknya ia memiliki kesempatan untuk bisa menyusup sedikit demi sedikit ke hati Ravin.
Sudah pasti sikap ramah yang Ravin coba tutupi itu, membuat Naura semakin tidak bisa melepas Ravin begitu saja.
"Heh, sudah aku bilang aku pacarmu!" jawab Naura sambil tersenyum lebar ke arah Ravin.
"Tidak, itu tidak sah," teriak Ravin dengan lantang.
"Pokoknya kamu pacarku!"
Keributan itu terus terjadi di atara Ravin dan Naura yang sama-sama tidak mau mengalah atas argumen konyol mereka. Membuat Nara hanya tinggal menunggu siapa yang akan memenangkan pertengkaran konyol itu untuk kali ini.
"Jadi, bagaimana jika aku membuat hubungan kita benar-benar menjadi resmi?" teriak Naura yang kini sudah membuat Ravin terpojok hingga ke pintu kulkas.
"Apa perlu kita ciuman sekarang!" desak Naura lagi yang kini sudah mendekatkan wajahnya pada Ravin.
"Tidaaaaak!!!" teriak Ravin yang langsung mendorong wajah Naura dengan tangannya dan lari menjauh dari dapur.
Sementara itu Nara yang memerhatikan hal tersebut, menyadari jika baru pertama kali ia melihat kembarannya Ravin kewalahan dengan sikap dari seorang wanita.
"Selamat datang kakak ipar!" ucap Nara tiba-tiba mengabaikan tatapan Ravin yang terkesan-heran, menatap Nara dengan bola mata besarnya dan mulut yang menganga cukup lebar.
"Kamu bilang apa tadi Nara? Kakak ipar?"
"Apanya yang kakak ipar!" teriak Ravin lagi yang tiba-tiba kembali menyembul dari balik pintu dapur.
Nara tersenyum lebar, ia benar-benar merasa jika Naura adalah wanita yang tepat untuk Ravin saat ia melihat Ravin kewalahan dengan tingkah Naura. Nara pun meraih kedua tangan Naura dan memegangnya dengan semakin erat.
"Aku mendukungmu, kakak ipar!" ucap Nara lagi yang kini membuat senyuman kemenangan terukir di wajah Naura.