Keadaan tiba-tiba terbalik saat Naura justru tiba-tiba ikut melancarkan aksi dengan medekatkan wajahnya itu. Menjadikan Ravi yang sebelumnya hanya berniat menggoda Naura kini malah ikut panik dengan bibir mereka yang bahkan sudah menempel.
“Naura!”
Lagi-lagi panggilan nama Naura memekikkan telinga Naura.
“Kamu ngapain?”
Suara gugup itu pun kini bersamaan dengan bahu Naura yang didorong oleh Ravin. Memastikan mereka tetap pada jarak aman meski tetap saja saat ini mereka bisa dibilang saling berdekatan.
Keduanya nyaris berciuman jika saja Ravin menyambut bibir tersebut dan melumatnya. Hanya saja, Ravin yang panik itu langsung tersadar bahwa ia masih belum boleh melakukan hal seperti itu. Tidak jika memang mereka tidak memiliki hubungan apapun. Ravin tidak ingin menjadi pria yang seperti itu. Memanfaatkan perasaan wanita tanpa bisa membalasnya. Pria yang hanya peduli pada hasratnya saja tanpa memikirkan perasaan.
Walau begitu, tampaknya Naura tetap tidak menyerah. Sekali lagi dia melakukan hal yang sama. Menarik kerah Ravin dan mendekatkan wajahnya dengan memiringkan kepalanya.
“Aku menginginkanmu, Ravin!”
Bisikan lembut itu terdengar samar dari Naura, terngiang dan menggema dalam kepala Ravin besamaan dengan degupan jantungnya berpacu sangat cepat.
“Jujur, aku juga menginginkanmu, tapi aku tidak yakin dengan perasaanmu!” jawaban itu Ravin ungkapkan di dalam hatinya saja.
Saat ini Ravin sudah terlalu gugup dengan tangan Naura yang sudah menariknya, kepanikan kini benar-benar telah berbalik dan Ravin juga nyaris tidak bisa mengelak.
Sebenarnya bisa saja Ravin mendorong tubuh Naura, hanya saja ia juga tidak mungkin melakuka hal sekasar itu pada wanita manis yang kini telah mendebarkan jantungnya.
"Ba-bagaimana jika nanti bibir kita saling bersatu!" kata Ravin pelan dengan suaranya yang bergetar di saat wajah Naura benar-benar sudah menempel pada bibirnya.
Naura yang kala itu masih memejamkan matanya seketika langsung tebuka. Ia melihat bibir ranum itu terlihat begitu menggoda dan segala khayalan yang sebelumnya merasuk ke dalam pikiran Naura tentang adegan luar biasa yang sempat ia bayangkan itu kini semakin membuat Naura berdebar.
"Kalau begitu satukan saja!"
“Biarkan bibirmu dan bibirku menyatu saling melumat!”
Bibir Naura sudah maju, kedua tangannya mendekap Ravin dengan erat dan debaran jantung keduanya pun berpacu sangat cepat.
Bisa saja Ravin menolak Naura, mendorongnya agar ia terlepas dari Naura. Hanya saja, Ravin sendiri tak mengerti perasaannya ia tak bisa menolak namun juga tak berani menerima.
"Na-naura!"
"Ki-kita baru pacaran ja-jangan begini?" teriak Ravin dengan keras sebagai cara terakhir untuk menghentikan Naura.
Akhirnya mangkuk berisi whipped cream itu jatuh dan mengotori pakaian mereka berdua dengan Ravin yang sudah memejamkan matanya dan berdiri dengan menggenggam kedua tangannya seakan takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sementara itu Naura yang mendengar hal tersebut terlihat sangat bahagia, matanya bersinar terang, pipinya yang merona itu di hiasi senyuman yang lebar dan seperti kunang-kunang yang bertebaran dari setiap gerak Naura, percikan cahaya memenuhi wajahhnya.
"Benar kita pacaran?" teriak Naura yang seketika itu membuat Ravin membuka matanya.
"Kita pacaran?"
Sepertinya Ravin sendiri tidak menyadari ucapannya. Ia hanya sembarangan berucap agar bisa menghentikan aksi nekat Naura. Sebab saat itu, bukan hanya Naura yang telah berpikir kotor. Apa yang ada di dalam pikiran Ravin juga tidak kalah kacaunya. Ravin bahkan sangat ingin melumat Naura yang saat ini penuh dengan whipped ceramah manis yang menyelimuti tubuhnya. Menanggalkan satu per satu pakaian yang Naura kenakan dan melakukan segal hal yang ada di dalam pikirannya.
Sementara itu, Naura benar-benar tidak menyangka bahwa saat ini Ravin sudah mengakui perasaannya dan mulai mengatakan bahwa hubungan mereka seolah telah disahkan.
“Apakah kita benar-benar pacaran?” pertanyaan itu sekali lagi Naura utarakan, masih tidak percaya.
Mata Naura bagaikan sebuah taman bunga di musim semi kala pagi hari, bermerkaran dan berkilauan akibat embun pagi yang memantulkan cahaya mentari di saat Naura mendengar pernyataan Ravin tentang status pacarannya.
Tidak ada yang menyangka jika Ravin akan mengeluarkan kata itu untuk pertama kalinya. Hal yang membuat Naura seakan di akui, pengakuan hubungan mereka yang seolah menjadi sah dengan perkataan tersebut.
Sebab, tak terhitung jumlahnya penolakan yang terus Ravin tunjukkan kepada Naura selama ini. Begitu mendengar kata "pacaran" dunia bagaikan tiba-tiba berubah menjadi surga, angin yang semula penuh debu dan pasir bisa berubah bak hempasan kelopak bunga yang semerbak harumnya. Naura hanya terpesona dengan satu kata yang membuat dirinya diakui.
"Pacarku."
Pada akhirnya setelah mendengar Ravin mengatakan satu kata pusaka itu, Naura malah kembali menjadi tidak tahu malu. Ia memanggil Ravin sesuka hatinya.
"HHmmmm.. pacarku!"
Ravin mulai sadar kesalahan terbesarnya. Ia mulai bertekad untuk tidak sembarangan bicara lagi mulai detik itu juga. Ia harus memikirkan setiap kata yang akan ia ucapkan nantinya. Sungguh menyesal membuat Naura seperti ini, bergelayut manja dengan berulang kali memanggil Ravin dengan sebutan “pacarku.”
"Hentikan, aku geli mendengarnya!"
Meski kesal karena tidak bisa membatalkan apa yang ia ucapkan pada akhirnya Ravin hanya bisa berusaha untuk menghentikan panggilan Naura tersebut.
“Tolong jangan panggil aku pacar seperti itu!” tegas Ravin sekali lagi.
"Oh.. pacarku, geli mendengar aku panggil seperti itu, ya? Jadi apa aku harus memanggilmu S A Y A N G saja?"
Naura mengeja satu persatu huruf tersebut membuat bulu kuduk Ravin seketika merinding bagaikan mendengar sebuah mantra terkutuk.
"Amit-amiiiit!!!" teriak Ravin yang langsung meninggalkan Naura sendirian di dapur.
Naura cemberut, ia memajukan bibirnya dan dahinya mengkerut karena kesal. "Masa di bilang amit-amit?" gerutunya lagi.
Penuh kesedihan, Naura berjongkok sambil membersihkan whipped cream yang sudah tumpah di lantai tadi.
Air mata pun tumpah begitu saja dari bola mata indah yang sebelumnya bersinar cukup cerah itu, hati Naura hancur begitu saja. Ia tahu jika dirinya selama ini di tolak. Tapi, tidak dengan kata kasar seperti yang baru saja ia dengar.
“Padahal tadi baru saja aku senang. Tapi sekarang malah seperti ini!”
Naura mendekap kedua lututnya untuk meredam isakan tangisnya. Rasanya ia baru saja di ajak terbang ke langit dan Ravin malah tiba-tiba saja menghempaskan dirinya dengan sadis. Ini adalah kata kasar pertama yang baru Naura dengar dari Ravin.
"Apa aku begitu hina sampai dia bilang amit-amit!" gumam Naura sekali lagi di tengah isakan tangisnya yang semakin menjadi-jadi.
Hidung Naura pun terasa mulai mampet dan ia berusaha menarik napasnya dengan kuat. Namun sayang, hidungnya tak bisa di ajak berkompromi dan angka sebelas itu tiba-tiba turun begitu saja.
"Ihhh.. tuh kan!"
Kesedihan Naura bercampur menjadi satu. Di kala ia yang sudah di tolak mentah-mentah padahal baru saja Ravin menunjukkan persetujuannya dan di saat Naura terlihat begitu menyedihkan dengan ingus yang sudah menetes tanpa bisa lagi di tahan. Benar-benar membuat Naura merasa bahwa ia adalah seorang gadis yang sangat menyedihkan.
Saat ini, Naura tak punya pilihan lain, ia tak bisa menghentikan dirinya yang jelek dan terlihat sangat menyedihkan. Naura hanya bisa membiarkan segalanya begitu saja. Apa lagi, air mata yang menetes juga tak bisa ia hentikan. Hatinya saja bergejolak hebat, pikirannya kacau dan lagi hidung mampet yang menyebalkan itu. Semua bersatu dan hanya bisa membuat Naura pasrah dengan hidupnya yang mulai terasa semakin berat.
"Aku benar-benar menyedihkan!”
“Apa tidak ada satu saja yang bisa berjalan lancar?"
Suara pelan itu seolah mengupas segalanya, tak ada hal yang berjalan lancar bagi Naura, lamaran pekerjaannya yang lebih sering di tolak dan berakhir menjadi pengangguran yang tak punya pekerjaan, rumah kos-kosan yang juga harus segera ia bayar setelah menunggak selama dua bulan, lalu saat ini kisah cintanya yang juga sudah kandas bahkan sebelum mulai berlayar. Semua kacau dan tak ada yang berjalan dengan baik, bahkan dibalik semua itu, tak terhitung jumlahnya masalah yang harus Naura hadapi dengan keceriaan semu yang ia perlihatkan itu.
"Kenapa? Kenapa harus aku yang mengalami semua ini?"
Rasanya Naura sangat ingin bertemu dengan para pemberi takdir, menanyakan akan jalan hidup yang tidak mampu ia topang. Rasa ingin menyerah yang berulang kali membuat Naura merasa lebih baik mati saja atau tentang rasa sesak yang terkadang sangat ingin ia akhiri tanpa memikirkan dosa yang harus ia tanggung bila ia menyerah begitu saja.
Tak jarang pula, Naura merasa bahwa saat ia menyerah artinya ia sudah kalah dengan pemberi takdir itu. Naura merasa jika ia harus bisa lebih kuat dan menunjukkan bahwa ia tidak mempan dipermainkan oleh takdir. Hanya sebuah tekad kecil yang membuatnya terus terpacu, meski semua itu tentu saja belum bisa benar-benar membuat Naura memiliki motivasi untuk hidup.
Akan tetapi, terlepas dari segala benang takdir yang menjeratnya bagaikan jaring kusut yang melilit tubuhnya. Naura tak bisa memungkiri jika ia sungguh risih dengan ingus yang saat ini sudah semakin tidak terkendali.
“Ah, kenapa malah meler lagi!”
Tak punya pilihan yang lain, Naura dengan kedua tangannya yang kotor akibat whipped cream tersebut, akhirnya memutuskan untuk mengusap dengan menggunakan lengan bajunya.
Akan tetapi, tiba-tiba Ravin kembali dan menghentikan aksi Naura tersebut, sebelum seluruh whipped ceramah akan memenuhi wajahnya. Ravin pun menggunakan lengan bajunya yang sebenarnya baru dia ganti untuk menghapus ingus Naura tersebut.
"Eh??"
Tentu saja tindakan tersebut membuat Naura menatap Ravin heran tentang apa yang baru saja Ravin lakukan padahal ia baru saja berganti pakaian dan kini, pakaian itu malah penuh dengan ingus Naura.
“Maafkan aku?”
“Jangan menangis, aku tidak mau berciuman dengan wanita yang penuh ingus. Rasanya pasti asin!”
Perkataan itu tiba-tiba keluar dari Ravin. Padahal Naura saat ini masih mematung pada posisinya. Duduk di lantai dengan air mata yang tiba-tiba ikut berhenti.