Gabriel

1015 Words
Itu membuatku tergiur. Sejak tadi aku mulai kedinginan dari area bawah badanku dan gemetaran. Namun, aku tidak mengenal wanita ini. Bukankah canggung berada di rumah orang asing yang baru kau temui beberapa menit? “Oh, maaf. Namaku Gabriel Bellanova. CEO perusahaan furniture Kanada, Jacklyn.” Wanita itu menyodorkan kartu nama yang kuterima dengan mulut terbuka. Tulisan ‘CEO’ terpampang dengan tebal di sana, di bawah namanya. Aku berseru kagum begitu dia terkekeh. “Bagaimana? Apa kau masih mencurigai kalau aku akan berbuat jahat? Padahal aku hanya ingin memiliki teman minum teh di rumah semenjak suami dan anakku tinggal jauh,” gumamnya. Sekilas, dia terdengar merajuk. Mungkin dia berkata jujur. Ah, baiklah. Tidak ada salahnya menemani seorang wanita kesepian untuk minum teh bersama. “Baiklah, Mrs. Gabriel. Kurasa aku butuh teh hangat.” Rautnya menjadi cerah. Dia menggeser mendekat, berpayung bersamaku. “Mari lewat sini.” Sambil berjalan bersisian di tengah hujan yang semakin deras dan terpaan angin yang menggigit, aku tercenung heran. Pertama, dia terlalu ramah. Aku belum pernah bertemu CEO sebelumnya, jadi aku tidak tau apakah mereka semua ramah atau tidak. Namun, untuk ukuran seseorang yang sekedar bertukar salam di kereta wanita ini sangat baik. Beruntung sekali anaknya memiliki ibu dengan hati sehangat dia. Kedua, di mana pengawalnya? Bukankah orang-orang penting selalu membawa satu-dua pengawal kemana pun mereka pergi? Mrs. Gabriel bahkan menaiki kereta. Ke mana mobil Lamborghini atau Ferarinya? Apa dia juga orang yang tidak memerlukan barang mahal untuk menunjukkan status? Ah, terlalu banyak pertanyaan membuatku pusing. Kami memasuki area pemukiman, di mana rumah-rumah di sini dipagari rumput tinggi dan pohon di dalamnya. Beberapa rumah terlihat modern, beberapa juga masih berhiaskan bata merah dengan kesan vintage. Tonggak besi hijau dengan tulisan The Elms st. Berada di sisi kiri aspal, bahkan guyuran hujan serta waktu membuat beberapa bagiannya mulai menghitam karena karat. Si pembawa payung menuntunku untuk berbelok ke kiri, ke jalur setapak yang lebih kecil. Ada palang tulisan Holly Orchard. Rumah di sisi jalan itu semuanya bertembok bata merah dengan halaman yang luas. Kaki kami terus berjalan sampai di ujung jalan. Ada lahan kosong yang tidak terurus, dibatasi oleh tembok bata tinggi dan pagar hitam berkarat. Kami berdua berhenti di sana. “Ini rumahmu?” tanyaku sambil menunjuk lahan kosong dibalik pagar itu. Lahannya memang luar biasa luas, di ujung sana terdapat barisan pohon. Namun, tidak ada rumah di dalam. Mataku tidak mendapati tembok bata atau tembok beton di sana. Manik toscanya mengilat penuh misteri. Seperti menantikan reaksiku. Aku mengerut dahi. “Kita tidak bisa berteduh di sini, Mrs. Gabriel.” “Coba pikir lagi.” Pikir lagi apa? Sudah jelas di dalam tidak ada atap atau ruangan di sana! Tangannya yang dibalut sarung tangan bordir tembus pandang sepergelangan meraih pintu pagar lalu mendorongnya. “Ayo masuk.” Aku mengikutinya karena tidak mau basah-basahan. Melewati pagar hitam tinggi tua, masuk ke dalam, lal menutupnya kembali. Kami berbalik, seketika aku mengentakkan napas sambil menyalang pada rumah besar mode victoria di depan sana. Saking terkejutnya, aku sampai mundur dan berpegangan pada pagar. Mrs. Gabriel memayungiku, dia cekikikan. “Bagaimana?” “Bagaimana apanya?” Suaraku tercekat, tanganku mengulur menunjuk rumah besar beserta pekarangan yang dirawat dengan baik di sekitar kami dengan gemetar. “I-ini semua apa?” seruku. “Aku akan jelaskan semuanya kalau kita sudah di dalam. Kalau kau sangat penasaran, mari kita segera masuk,” ajaknya. Aku takut untuk melangkah maju, tapi tangannya sudah menarikku. Tidak ada rerumputan tinggi tidak terawat yang semula kulihat di dalam. Mereka digantikan oleh pohon-pohon bonsai setinggiku di berbagai tempat di halaman depan yang basah karena tangisan dari awan. Rumah bergaya abad 18 berdiri kokoh, didominasi hitam dan cokelat tua yang gelapnya hampir serupa. Aku merasa ditarik ke masa lalu, ketika masyarakat London masih bepergian dengan kereta kuda, para wanita memakai gaun dengan rok mengembang, penuh percaya diri berjalan di bawah payung berenda, dan para pria dengan jas berekor sedang menggoda beberapa gadis yang bertuburak mata dengannya. Aku sudah menduga akan menemui ini di Stratford-upon-avon, tapi aku tidak menyangka akan benar-benar masuk ke dalamnya. Mrs. Gabriel dengan gaun hitam ketat berpundak mengembang menguncupkan payung begitu kami ada di landasan di depan pintu. Dia mengetuk pintu empat kali. Terdapat lampu jingga yang digantung di kedua sisi pintu, sinarnya memberikan sedikit kehangatan yang kubutuhkan. Pintu terbuka, seorang laki-laki dengan tubuh tinggi, tidak terlalu berotot berada di baliknya, melirikku dan wanita itu bergantian. “Moirai! Lalu, siapa ini?” Matanya yang hitam gelap menelisikku dari atas ke bawah. Dia lebih terlihat seperti orang-orang Asia, dengan garis wajah halus dan mata yang tidak berkelopak. Pipinya agak gemuk, rambut hitamnya berponi menutupi alis. “Apa Levine ada di dalam?” “Ya, dia sedang merokok.” “Bagus,” ucap Mrs. Gabriel sambil menjentikkan tangan. Aku mendelik. “Jadi ini bukan rumahmu?” seruku setengah emosi. Dia mendorongku masuk, melewati si laki-laki Asia. Aroma kayu dan asap tipis langsung menyusup ke indra penciumanku. Bagian dalam diselimuti oleh kayu berwarna cokelat yang sedikit lebih terang dari pada di luar. Lampu gantung tua ada di tengah ruangan, menerangi dengan sinar jingga kekuningan. Ada sofa kulit di area samping koridor pintu, karpet antik berwarna cream yang cantik di bawahnya. Ruangan ini terlihat antik dan mewah. Di sofa tengah, seorang laki-laki yang nampak berumur dua puluh lima-an sedang duduk melipat kaki, menyesap tembakau dari pipa rokok kecil dan panjang. Rambutnya hitam legam bergelombang, bagian depannya menutupi mata. Laki-laki itu memakai kemeja putih yang membentuk bahu lebar dan tubuh kekarnya, serta celana kain hitam. Dia tidak menoleh atau melirik. Moirai mendorongku sampai duduk di sofa panjang, cukup dekat dengan orang yang kuduga sebagai pemilik rumah. Setelah kami berdua duduk, dia baru melihat kami bergantian. “Siapa dia?” Tanpa berbasa-basi, dia menunjukku dengan pipa di tangan kanannya. Matanya sama sekali tidak terlihat. “Takdirmu,” balas Mrs. Gabriel. Aku akan tertawa kencang jika atmosfer tidak mendadak terasa berat. Wajah laki-laki itu mengerut, dia menyisir rambut depannya ke belakang, menunjukkan sepasang manik biru ke abu-abuan yang ganjil. Dia terlihat sangat tidak suka pada penjelasan Moirai soalku. Karena tatapan tajam bak tombak darinya, aku menoleh ke Mrs. Gabriel. “Sebaiknya aku pergi.” “Oh, tidak, tidak, tidak. Dean sedang membuat teh untuk kita, sebaiknya kau minum dulu.” Levine berkata. “Ini rumahku, kalau kau lupa.” “Kau anakku, kalau kau lupa,” tukas Mrs. Gabriel. Mataku menyalang pada Levine yang menyesap pipa rokok. Dia anaknya? Sebenarnya berapa umur nyonya ini kalau anaknya sudah sebesar itu? Wanita itu sama sekali tidak terlihat begitu tua! “Sudah waktunya, Levi. Aku sering menceritakan padamu soal ini setiap tahun, ‘kan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD