Pemandangan Dubai

1577 Words
Di Dubai pukul 20.00. Di apartemen mewah milik Adrian. Kak Adrian masih terlihat membereskan barang barangnya. Dan Aku berjalan dengan langkah ringan menuju balkon apartemen. Melihat pemandangan malam yang sangat indah. Langit seakan tersenyum menyambutny. Dan sekarang aku merasuk angin yang mulai masuk ke dalam pori-pori kulitku. Gedung-gedung pencakar langit ini benar-benar mengagumkan. Mereka seakan berlomba menunjukan siapa hang paling tinggi dan bagus. Bahkan aku bisa melihat awan yang begitu dekat dengan tanganku. Aku membalikkan badanku. Ke dua tanganku mencengkeram pagar besi yang melingkar di belakangnya. Aku menatap ke arah kakakku, dari tadi bukanya dia segera membereskan barang-barangnya. Tetapi mata itu terus menatapku. Sepertinya dia tahu, apa yang aku rasakan. Tapi, Aku tidak perduli. Lagian. Dia tidak akan tahu gimana perasaanku saat ini. Kakakku masih saja terus memperhatikan aku yang sedang melamun sendiri di balkon. Wajahnya dia terlihat begitu datar. Dan penuh dengan penyesalan. Ia melihat wajah kakak yang berbeda dari biasanya. Aku mengerutkan kening. Mengamati wajah kakakku. Hingga dia bangkit dari duduknya. Berjalan menghampiriku. Kak Dion tertunduk, ia menghela napasnya berkali-kali. Saat berdiri tepat di sampingku. "Ada yang aneh, ya?" tanyaku. Mengerutkan keningku semakin dalam menunggu jawaban dari laki-kaki yang masih saja diam di Ddeoannha.. Kak Dion masih saja diam. Dia bahkan tidak menunjukan wajah bahagianya di depanku. Entah apa yang salah pada dirinya. "Kak, ada apa? Kenapa kakak jadi gugup begitu." ejekku. Sembari tertawa kecil. Kak Dion berdiri tepat di sampingku. Ia memegang pagar balkon. Sesekali ke dua mata itu melirik ke arahnya. "Raisa.. Maafkan kakakmu ini." ucap kak Dion. Semakin membuatku bingung dengannya. Apa sebenarnya yang di sembunyikan darinya? "Maaf, untuk apa?" tanyaku bingung. "Semua salah kakak. Dan memang kakak yang salah." Dion tertunduk wajahnya terlihat penuh dengan penyesalan. Aku megerutkan keningnya untuk ke sekian kalinya. Aku bingung dengan apa yang di katakan kakakku ini. Entah segan apa yang merasukinya membuat dirinya tiba-tiba berubah jadi aneh. Dan kenapa dia minta maaf padaku. Padahal dia tidak pernah salah. Tetapi, entah apa ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. "Maaf? Maaf untuk apa?" tanyaku semakin bingung. Dion menatap ke arahku. Ke dua mata itu menunjukan kesedihan ayang amat dalam. Sepertinya dua benar-benar menyesal. Tapi menyesal untuk apa? "Udah, deh. Kak. Jangan bercanda sekarang. Aku tidak mau ada prank di sini." gerutuku. Mencoba melangkah pergi. Aku mencoba untuk tetap berpikir positif. Dan sepenuhnya tidak mau menyalahkan kakakku "Raisa tunggu dulu. Apa kamu tidak ingin tahu. Kenapa Arga meninggalkanmu?" ucapan Dion seketika menghentikan langkahku. Aku tertunduk sejenak. Mendengar nama Arga membuat hatiku mulai terombang-ambing lagi untuk melupakannya. Aku menelan ludahku susah payah. Ke dua tanganku meremas jahitan lurus celana yang aku pakai. "Maksud kakak apa?" tanyaku tanpa menoleh ke belakang. Aku tidak tahu apa alasan kak Dion. Tapi, entah kenapa telingaku rasanya tidak mau mendengar lagi apa alasannya. Bagi dia Arga hanya masa lalu sekarang. Tidak ingin membahasnya lagi dan lagi. "Maaf, kan. Aku Raisa. Karena semua salah kakak. Dan kakak yang memulai penyakit ini lebih dulu." "Penyakit apa?" "Kakaklah yang membuat kamu berpisah dengan Arga. Dan sekarang, kakak akan jelaskan semuanya padamu." jelas kak Dion. Aku terdiam, menautkan ke dua alis tebalku. Gimana bisa kakakku bilang seperti itu. Pikiranku langsung curiga padanya. Aku tahu, dia pasti sedang bercanda, kan. Aku menoleh cepat. "Jangan bilang kakak yang mempengaruhi Arga untuk pergi meninggalkanku." tajamku. Aku tak kuasa lagi meneteskan air matanya. Melihat wajah kakakku sekarang penuh dengan penyesalan. Aku tidak menyangka jika semua adalah ulah kakakku. "Iya…" jawabnya lirih. Hatiku terdiam. Rasa sakit kecewa mulai merasuki diriku. "Enggak! Itu, gak mungkin, kan. Kamu kakakku. Dan tidak mungkin kamu menyakiti adikmu sendiri, kan." ucapku. Menggelengkan kepala berkali-kali. Sembari berjalan beberapa langkah ke belakang. "Iya. Raisa. Memang semuanya salahku. Dan semua yang di lakukan Arga saat ini karena aku." Dion memegang ke dua bahuku. Tubuhku seketika lemas. Aku tidak percaya dengan apa yang di katakan kakakku. Aku memejamkan ke dua mataku rapat. Merasakan tetesan butiran kristal perlahan membasahi pipiku. "Kak…" Aku menarik napasku dalam-dalam. Mencoba untuk berpikir positif. Dan menganggap apa yang di katakan kakakku semuanya bohong. "Aku mohon, jangan cerita apa-apa lagi. Jika kakak cerita semuanya. Aku takut, aku akan marah pada kakak. Dan aku tidak mau marah, dan kecewa pada kakak. Karena kakakku adalah orang yang paling mengerti aku selama ini." Dion mencoba tersenyum, menarik tubuh mungilku. Memeluknya sangat erat, dia mengusap lembut rambut panjangku. Menenggelamkan wajahku di dadanya. "Aku tahu, kamu sangat mencintai Arga. Tapi aku tidak mau jika kamu terus di sakiti olehnya. Dia tidak mencintai kamu tulus. Dia hanya mempermainkanmu, Raisa" belaian lembut jemari tangan kakakku membuatku merasa sangat tenang. "Dan, dia juga bilang jika hanya menginginkanmu sebagai adik. Bukan pacar atau istrinya. Jadi aku melakukan itu semua demi kamu." kak Dion menyeka air mataku dengan ibu jarinya. "Iya… Aku tahu, kak. Gimana rasanya aku di permalukan di depan semua orang." ucap Raisa. Mencoba tersenyum. Di cubitnya pipiku yang menggemaskan. Dion mengusap ujung kepalaku. Memberikan kecupan di keningku. "Sekarang, kamu istirahat." ucap Kak Dion padaku. "Baiklah! Tapi aku belum menyelesaikan semuanya. Lihatlah, barang-barangku masih berantakan." "Biarkan aku yang bereskan nanti." saut kakak ku. Aku tersenyum tipis. Mencoba memikirkan lagi ucapan kakakku itu. Dia terlihat membingungkan. "Tidak usah, kak. Aku bisa bereskan semuanya sendiri. Harusnya kakak yang tidur. Besok kakak harus pergi ke kantor. Banyak pekerjaan kantor yang sudah menunggu, kakak." ucapku dengan nada sedikit mengejek. "Kamu yakin?" tanya kak Dion. Dan spontan aku menganggukkan kepalaku pelan. "Udah, sekarang kakak pergi ke kamar sana. Ini kamar wanita. Memangnya kakak mau tidur di sini." kataku, mendorong punggungnya keluar dari kamarku. "Baik adikku yang tersayang. Sekarang, kamu tersenyum dulu. Baru aku akan pergi." kata kak Dion. Aku menarik sudut bibirku, mencoba tersenyum paksa. Meski dalam hati tidak bisa tersenyum. Tapi, demi kakak aku selalu ingin terlihat tersenyum di depannya. "Sekarang, kamu istirahat saja. Besok kita bereskan bersama." "Iya.. Iya.. Kak, udah sana pergi." kataku, aku terus melayangkan sebuah senyuman pada kakak. Dan segera menutup pintu kamarku raoat-rapat. Mendengar suara hentakan kaku berjalan menjauh dari kamarku. Aku menghela napas lega. Menyandarkan punggungku di balik pintu. "Apa yang di katakan Arga tadi padaku? Dia mencintaiku? Kenapa? Kenapa dia bisa cinta padaku? Di saat dia sudah menikah dnegan wanita lain?" aku mulai bimbang. Senyuman yang semula terukir indah di bibirku. Hanya dalam hitungan detik. Tangisan merenggut senyumku. Aku segera berlari kecil, menjatuhkan tubuhku di atas ranjang. Berbaring tengkurap menyembunyikan wajahku di balik bantal putih. Aku menangis sejadi-jadinya. Hanya karena tak mau kakak mendengar tangisanku. Aku hanya bisa menyembunykan tangisan ini. "Arggg… " teriakku mengepalkan tanganku erat. Memukul ranjang berkali-kali. Meluapkan emosi hati yang membekas seluruh jiwaku. "Aku benci dengan Arga. Aku benci dnegan kehidupanku." teriakku di balik bantal putih yang masih setia menutupi wajahku. Aku membalikkan badanku cepat. Air mata sudah memenuhi semua wajahku. Batal yang semula putih kini di penuhi dengan air mataku. Aku menggigit bibir bawahku. Menahan rasa sakit yang masih membekas. "Arga bilang cinta. Di saat aku sudah ingin melupakannya. Tapi, jika dia cinta padaku. Harusnya dia tidak menikah dengan wanita lain. Harusnya dua menikah denganku." pekikku. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku akan segera mulai kuliah. Dan aku harap bisa menekukan lagi penggantinya. Keesokan harinya. Aku sudah terlihat rapi dengan celana jeans panjang. Dan baju lengan pendek. Di badu dengan blazer panjang yang menutupi tubuh sampai lututku. Meski cuaca terlihat oanas. Aku milih pakai blazer merah. Aku berjalan cepat mendekati kakakku. Menyambutnya dengan senyuman pagi yang terasa manis. Meski hati terasa pahit. "Pagi kak…" sapaku, memeluk tubuh kak Dion. dan duduk di kursi. Sarapan pagi sudah di hidangkan oleh kakakku. "Satu roti panggang sarapan hari ini. Akan jadi arti jika aku di masakin kakak" ledekku. "Kamu juga harus belajar masak." ucap Dion. "Enggak… Aku mau selalu di masakin, kak Dion." "Kalau kamu sudah menikah nanti. Siapa yang masakin kamu nanti." Aku terdiam sejenak. Menikah? Kata itu seperti kata keramat baginya. Gimana bisa aku menikah dengan orang lain. "Oh, ya. Nanti pulang kuliah aku akan kenalkan kamu dnegan teman kakak juga di sini. Sekaligus boss kakak. Dia masih belum punya pasangan." "Terus apa hubungannya denganku, kak?" "Sapa tahu kamu minat." goda Dion. Sembari tertawa kecil. Aku menghela napasku kesal. "Aku sudah dewasa kak. Bisa memilih pasangan sindir." jawabku sedikit jutek. "Tapi jangan salah pilih seperti yang lalu." sindir kak Dion. Aku memutar mataku malas. "Tenang saja. Tidak akan!" ucapku. Segera bangkit dari duduk. Meraih beberapa potong roti. "Udah, ayo berangkat kak. Aku tidak mau di hari pertamaku kuliah. Aku telat!" ucapku penuh semangat. "Iya, bawel." --- Pov Dion. "Ansel." panggilku melihat sosok laki-laki tampan yang kini mulai berjalan mendekatinya. "Hai… Dion. Kenapa kamu lama sekali? Gimana keadaan adik kamu sekarang? Dia baik-baik saja." tanyanya. Aku tersenyum tipis. Menepuk bahunya. "Dia sekarang tinggal bersamaku. Tapi, dia masih kuliah. Padahal aku tadi ingin sekali mengenalkan kalian. Tapi, dia tidak mau. Mungkin tinggal tunggu waktunya saja mempertemukan kalian." ucapku sembari tertawa kecil. Aku menatap Ansel, terlihat bingung. Nengerutkan keningnya. "Memangnya kamu mau menjodohkan aku dengan adikmu." candanya di balas dnegan tawa kompak. Membuat suasana di ruangan itu terdengar gaduh. Mungkin memang benar. Aku lebih suka jika dia pacaran dengan Ansel. Aku melihat tatapan mata Ansel selalu serius jika bersama dnegan wanita. Berbeda dnegan Arga. Yang hanya bisa menyakiti adikku. "Kenapa kamu diam." Aku mulai tersadar dari lamunanku. Saat tangan Ansel menepuk bahuku. "Jangan melamun. Atau kamu memikirkan jodoh adikmu." canda Ansel. "Kalau soal menikah. Aku tidak tahu lagi. Karena aku tidak mudah jatuh cinta. Dna belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Dia aku takutnya malah nyakitin adikmu nanti. Apalagi wanita itu hatinya lembut."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD