Part 9 - Negosiasi Batal

1136 Words
Part 9 - Negosiasi Batal “Benarkah pernikahan diundur?” Selena menatap perempuan di hadapannya dengan pandangan takjub. Kedatangannya seperti malaikat penyelamat hidupnya yang nyaris hancur berantakan jika dirinya tak muncul. “Ah, syukurlah!” Betapa lega perasaan Selena mendengar pernikahan tersebut diundur. “Terus saya bagaimana?” Alana terdiam sejenak, mengingat momen pertemuannya dengan lelaki yang akan menjadi suaminya. Bayangan kehidupan yang menyedihkan tergambar jelas olehnya. Bagaimana dirinya jika nanti menikahi lelaki menyedihkan itu. Dulu Justin begitu luar biasa. Tampan dan memesona. Mata abu-abu perak yang sering ia impikan. Sejak dulu Alana mendambakan dirinya, meski Daniel yang justru menaruh perhatian lebih padanya. Untungnya berkat kemampuan negosiasi ayahnya, ia berhasil menjerat Justin dalam pertunangan. Hubungan mereka dilandasi bisnis. Meski begitu Alana begitu bahagia mendengar ia akan menikahi bujangan paling luar biasa di kalangan pengusaha. Sayangnya, Justin begitu dingin terhadapnya. Berulang kali Alana diacuhkan olehnya. Meski begitu ia tak menyerah. Hingga satu kata terakhir Justin melukai harga dirinya. Alana ingat dengan jelas ucapan tajam dan dingin yang ditujukan Justin padanya. “Aku menikahimu cuma karena bisnis Alana. Jadi jangan harap kau mengharapkan lebih. Kau wanita menjijikkan bagiku.” Alana terluka saat itu. Menangis sejadi-jadinya. Saat itu hanya Daniel yang ada di pikirannya. Lelaki itu menjadi pelariannya. Memuaskan hasratnya yang tak terlampiaskan. Menghabiskan waktu bersama. Meski begitu, selesai memadu cinta semalam. Alana menyesal telah melepaskan mahkotanya untuk Daniel. Mahkota yang seharusnya ia berikan pada Justin calon suaminya. Sekali lagi, Alana berkubang dalam tangis penyesalan. Daniel menghiburnya seperti biasa. “Jangan kau sesali apa yang terjadi antara kita semalam, Al. Semua itu terjadi karena kau sendiri yang melemparkan tubuhmu padaku. Jadi, anggap saja kita tidak pernah melakukannya. Lagipula Justin juga tidak akan peduli jika kau sudah tidak perawan sekali pun!” Alana hanya bisa menangis meratapi dirinya yang tak suci sejak malam itu. Ia pun memungut pakaiannya yang berserakan. Merias kembali wajahnya. Betapa terkejutnya ia saat membuka pintu kamar hotel dan menemukan Justin telah tiba di sana dengan tatapan dingin dan marah. Tanpa mendengar penjelasan Alana, Justin berbalik pergi meninggalkan gadis itu yang berusaha mengejarnya namun gagal. Tak disangka setelah peristiwa itu, sebuah berita duka terdengar. “Mobil Tuan Justin menabrak separator jalan dan terguling,” teriak salah seorang pelayan di rumahnya dengan wajah panik. Alana yang saat itu baru tiba di rumah mewahnya langsung berlari pergi menuju rumah sakit. Betapa terlukanya ia saat melihat kondisi Justin dan kritis. Kedua matanya tertancap serpihan kaca mobil yang pecah tertembus pagar sisi jalan. Sekujur tubuhnya penuh luka serta berlumuran darah. Untuk beberapa jam, Justin mengalami koma hingga tim medis harus segera mengoperasi dirinya. Melepaskan besi yang tertancap di tubuhnya dan mengobati luka di kakinya yang juga parah terhimpit mobil. Alana bersama keluarganya bergantian menunggu Justin tersadar dari koma setelah operasi yang dilakukannya selama berjam-jam. “Syukurlah kondisi pasien sudah mulai stabil. Di sudah melewati masa krisisnya.” Dokter Richard menjelaskan pada mereka sesaat setelah keluar dari ruang operasi. “Apa dia sudah sadar, Dok?” tanya Alana, cemas. “Untuk saat ini pasien masih dalam pengaruh obat bius. Tapi mungkin tiga atau empat jam lagi, pasien sudah bisa sadar. Kita doakan saja,” ujar Dokter Richard sambil pamit pergi ke ruangannya. Justin memang sadar keesokan harinya. Alana serta keluarganya begitu bahagia mendengar calon menantu kesayangan mereka sudah sadarkan diri. “Bagaimana kondisinya, Dokter?” tanya Fredick mewakilkan keluarga Justin yang tak sempat kembali untuk menengok putranya karena mereka tak bisa meninggalkan pekerjaan mereka saat ini. Mereka menitipkan perawatan Justin pada keluarga Alana. Sehingga Fredick harus memberikan berita terkini tentang kondisi putra mereka. “Kondisinya sudah mulai stabil. Pasien sudah merespons dengan baik. Namun ada hal yang harus kami sampaikan pada keluarga pasien.” “Apa itu Dokter?” “Pasien akan selamanya mengalami kebutaan dan lumpuh.” “Apa?” Mereka tercekat mendengar berita mengejutkan tersebut. “Ba-bagaimana bisa?” Fredick tercekat. “Serpihan kaca mobil merobek syarat matanya. Korneanya terluka sangat dalam. Dipastikan pasien tidak akan bisa melihat lagi untuk selamanya.” “Apa tidak ada yang bisa Dokter lakukan untuk menyembuhkannya?” “Untuk saat ini kami belum bisa memberikan kepastian tindakan apa yang akan kami ambil selanjutnya. Untuk saat ini fokus utama kami adalah menyelamatkan pasien. Terlebih kondisi pasien saat datang sudah sangat kritis.” “Bagaimana dengan kakinya Dok? Apa dia juga akan lumpuh selamanya?” tanya Alana memotong pembicaraan mereka berdua. Dokter Richard hanya mendesah sebelum akhirnya gelengan kepalanya menjadi ketukan palu bagi mereka semua khususnya untuk Justin yang sejak tadi telah sadarkan diri dan diam-diam mendengarkan percakapan mereka. “Tulang kering kakinya retak dan rusak. Kami tidak bisa mengobatinya. Untung saja kami tidak harus mengamputasi kakinya. Meski begitu ia tetap akan sulit berjalan. Mungkin tongkat dan kursi roda bisa membantunya bergerak.” Vonis dokter membuat Alana frustrasi membayangkan hidupnya akan berakhir menyedihkan. Bayangan menjadi istri Justin hancur seketika. Ia yang depresi mengalihkan rasa frustrasinya dengan menemui Daniel secara berkala. Bercinta dengan lelaki itu berkali-kali, melampiaskan gelisahnya. Tentu saja Daniel menyambut gadis itu dengan tangan terbuka. Hanya dirinya yang bersuka cita melihat Justin terpuruk dalam kegelapan abadi. *** “Alana apa-apaan kamu!” Setibanya di rumah, Alana justru mendapat makian dan cacian dari ayahnya yang terkejut mendengar berita pengunduran rencana pernikahan putrinya. “Apa sih Papa? Aku baru datang sudah dimarahi?” Alana membalas membentak ayahnya yang sering kali bersikap kasar padanya walau secara verbal. “Apa maksudmu mengundur pernikahanmu, hah?” Fredick membentaknya lagi. Kali ini suaranya dua oktaf lebih tinggi dari sebelumnya. “Harusnya kamu percepat pernikahanmu, bukannya malah meminta mengundurnya lebih lama.” “Aku cuma minta waktu tiga bulan untuk menyiapkan diriku.” Alana berusaha menjelaskan alasannya supaya lelaki itu mengerti kondisinya. “Pokoknya minggu ini juga kau harus menikah dengannya. TITIK!” “Papa!” Ia mengeluhkan sikap otoriter papanya. Meski sering dimanja tapi Alana membenci sikap papanya yang diktator seperti ini. “Kau tahu kondisi keuangan perusahaan kita sudah sekali kritis, Alana. Menikah dengan Justin adalah satu-satunya cara menyelamatkan hidup kita dari jurang kemiskinan.” “Kenapa kau bebankan itu padaku? Utang perusahaanku kenapa harus aku yang menanggungnya?” keluh Alana dengan mata berkaca-kaca. “Lho, bukankah dari awal kau yang minta bantuan Papa supaya bisa menikahi Justin?” Fredick bingung melihat ekspresi wajah putrinya yang penuh kesedihan. “Itu ‘kan dulu sebelum Justin buta dan lumpuh. Sekarang ... hiks ... Alana tidak mau menikah dengan lelaki yang tidak berguna itu.” Ia pun tak kuasa menahan tangisnya. Fredick melihat putrinya lalu memeluknya. “Maafkan Papa, ya? Tapi Papa mohon kali ini saja tolong Papa. Selama ini Papa selalu berusaha berikan yang terbaik untukmu. Jadi sekarang tolong berkorbanlah untuk Papa.” Melihat permohonan yang diucapkan papanya dengan lembut itu membuat Alana sulit menolaknya. “Ya ... Sayang? Mau ‘kan menikah dengan Justin?” Tak punya pilihan ia akhirnya menyanggupinya. “Iya, Papa. Aku akan menikah dengannya!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD