Part 10

1635 Words
    Jemari tangan Devan bergerak gelisah di atas meja, menghentak dengan tak beraturan menandakan ia sedang memikirkan suatu masalah yang cukup pelik. Entah itu masalah kantor atau bukan tak ada yang tahu kecuali dirinya sendiri. Sudah dua hari mereka kembali dari Jogja. Kini keduanya sudah kembali terlibat dengan urusan kantor yang tak 'kan pernah ada habisnya. Devan melihat jam dinding, sudah waktunya makan siang. Sejenak ia berpikir apakah ingin makan siang dengan Crisy atau membiarkan gadis itu makan dengan temannya. Akhirnya, Devan pun memutuskan untuk menghubungi Crisy.     “Begitu, ya. Oke, Beb. Have nice lunch,” ucap Devan mengakhiri panggilan teleponnya. Sekarang raut wajah Devan berubah kesal. Crisy mengatakan sudah di luar dengan Rio dan beberapa rekan kantor. Karena kebetulan mereka juga sedang meninjau lokasi untuk launching program yang sedang berlangsung. Crisy sedang ada di Blok M. Plaza. Sejenak setelah menimbang, Devan pun bangkit hendak menyusul kekasihnya. Namun, langkahnya terhenti ketika pintu terbuka tanpa diketuk menampilkan sosok Raiza dan seorang wanita.     “Hai Bos, how is you're day?” Wanita itu melempar senyum teramat manis pada Devan. Devan pun melakukan hal yang sama, ia berjalan mendekat dan memeluk sang wanita. Jangan lupakan cipika-cipiki di pipi sang wanita.     “Sedang liburan, atau merindukanku, heum? Kenapa tak mengabari kalau mau pulang ke Indo jadi aku bisa jemput.”     “Masih ada gue,” celetuk Raiza yang sudah duduk di sofa. Wanita itu pun menoleh pada Raiza.     “Kakak benar, lagi pula kamu terlalu sibuk. Aku nggak mau ganggu.” Wanita itu pun turut mendudukan dirinya. “By the way, mana pacarmu, Dev? Kak Za bilang kamu sudah punya pacar. Cantik nggak? Harus lolos seleksiku, lho ya.”     “Nggak kalah cantik darimu. Sangar juga, jangan sampai kalian bertengkar nanti.” Devan kembali melangkah menuju meja tamu setelah tadi sempat mendekati mini box. Sambil membawa tiga kaleng minuman dingin yang ia ambil dari sana, kemudian ikut duduk dan melonggarkan dasinya.     “Aku suka kamu selektif,” ujar sang wanita. Setelah itu membuka kaleng Pepsi hingga keluar bunyi mendesis, baru meneguk isinya.     “Itu karena kamu mematok kriteria terlalu sempurna,” sahut Devan setelah meletakkan kaleng minuman yang baru saja ia teguk hingga hampir tandas.     “Eh, tapi mana dia?” tanya Raiza, melihat jam tangan ia pun mengerutkan dahi. “Kalian nggak makan bareng? Ini jam makan siang, lho.”     “Cris sedang di Blok M. Plaza sama Rio dan rekannya yang lain. Meninjau lokasi lounching ECV.” Raiza manggut-manggut mendengar jawaban sahabatnya.     “Who is Rio?” tanya wanita di sebelah Devan. “Sejak tadi di mobil, Kak Za terus menyebut nama Rio.”     “Rio Dewantara, sepertinya bakal jadi orang ketiga. Dia tampan dan cukup untuk membuat Crisy terkesan setiap harinya,” jawab Raiza.     Sementara Devan mendengkus. “Lo kira aktor Rio Dewantara, dasar suka mengada-ngada. Nama sebenarnya Rio Prayaksa. Teman Crisy sejak SMP, tapi sudah punya pacar dan Cris cukup akrab dengan pacarnya.” Devan menjelaskan. Sejenak bangkit menuju meja kerjanya.     “Kupesankan makan siang, ya. Kalian sudah makan apa belum?”     “Belum, kami datang justru mau menjemputmu buat makan siang bareng.”     Langkah Devan terhenti, memutar arah ia kembali pada Raiza dan Valeri, adik Raiza satu-satunya.     “Ya sudah kalau gitu, ayo makan. Aku sudah lapar banget. Baru aja tadi mau nyusul Cris ke blok M.”     Raiza dan Valeri bangun hampir bersamaan. Sejenak Valeri memungut kaleng bekas minum sang kakak dan Devan baru membuangnya ke tempat sampah. “Jadi ke Blok M, nih? Yakin?” tanya gadis itu sambil melangkah sejajar dengan Devan. Ia tersenyum menggoda. Devan menoleh sang gadis sebentar sebelum masuk ke dalam lift menyusul Raiza.     “Nggak usah, terserah kamu aja mau makan di mana?”     “Oh, really? Bagaimana dengan Crisymu itu.”     “Kan tadi sudah kubilang dia sudah makan bareng temannya. Lain kali aja kalian kukenalkan.” jawab Devan.     “Ya, ya, ya ... asal aku nggak dikata pelakor aja,” cibir Valeri. Sementara Devan tersenyum tipis.     Tak berselang lama, mereka sudah keluar lift. Melangkah melewati lobi menuju parkiran. Valeri minta Devan untuk membawanya ke restaurant Italy yang dilihatnya tadi, di ujung jalan Tamrin, sekitar dua puluh lima menit dari kantor Devan. Awalnya Devan pikir Raiza akan ikut makan bersama mereka, tapi ternyata Raiza malah pergi membiarkannya makan berdua. Raiza bertolak menuju Blok M Plaza karena ingin bergabung dengan team kerja di sana. Lagi pula ia masih cukup kenyang.     Setelah memacu kendaraan cukup cepat, Raiza pun sampai. Memarkirkan kendaraan dan menguncinya dengan aman, barulah ia menelpon Crisy menanyakan keberadaannya. Masuk melalui lobi, Raiza mengambil jalur kiri menuju salah satu restaurant seafood yang dikatakan Crisy. Sejenak berdiri di ambang pintu, ia pun menemukan sosok gadis itu yang menunggunya.     “Yang lain mana? Kok sendirian?” tanyanya.     “Sudah pada bubar.” Crisy melihat jauh ke belakang Raiza. Raiza pun menoleh ke arah yang sama, sebelum menarik kursi untuk duduk.     “Cari Devan? Dia nggak akan datang, sedang makan siang bareng Valeri.”     Crisy menoleh, memandang Raiza penuh tanya. Sementara Raiza malah tak acuh, asik memerhatikan daftar menu. Lalu mengangkat tangan memanggil salah satu waiter. Pemuda itu menyebutkan daftar pesanannya dengan lancar, tak lupa Raiza juga menawarkan sesuatu pada Crisy. Karena gadis itu baru habis makan siang, jadi ia hanya memesan ice cream.     “Valeri itu adikku,” ucap Raiza tanpa diminta. Sejurus kemudian melirik Crisy lewat ujung matanya sembari memahami reaksi alami Crisy. Berharap Crisy akan cemburu, tetapi tampaknya sia-sia. Crisy bergeming tak acuh. Pelayan pun datang dengan seluruh pesanan Raiza dan semangku ice cream avocado untuk Crisy. Raiza memasukkan suapan pertamanya sebelum kembali bercerita.     “Dulu, Devan sangat menyukai Valeri. Tapi sayangnya, Valeri hanya menganggap Dev sebagai kakak. Yah, kami sudah cukup akrab sejak kecil.” Sejenak Crisy menengadah, melirik Raiza guna mencari kejujuran dari penuturan pemuda di depannya.     “Terus?” Sekedar reaksi spontan, Crisy memberi tanggapan agar Raiza tak terlalu garing dalam bercerita, karena tak akan ada yang merespon selain dirinya.     “Ya begitulah, Dev akhirnya pacaran dengan orang lain. Namun, tak pernah bisa bertahan lama. Mungkin masih terjebak rasa dengan Valeri,” lanjut Raiza bercerita sambil terus melanjutkan acara makannya.     Crisy meletakan sendok ice creamnya pada suapan ketiga, kemudian memandang remeh pada Raiza. “Karena masih terjebak rasa pada adikmu, atau karena adikmu jadi pengganggu hubungan mereka? Pernyataanmu terkesan sedikit ... ambigu.”     Raiza terdiam, sendoknya yang berisi makanan menggantung di depan mulut, tersenyum miring sesaat baru memasukkan suapan berikutnya. “Kamu tahu, aku sedikit tersinggung dengan ucapanmu. Valeri itu adikku, kau menempatkannya seolah ia seorang pelakor. Padahal nyatanya tidak. Itu terjadi karena Dev memang nggak bisa berpaling dari Valeri.”     Crisy menyendok kembali ice cream di mangkoknya. Entah kenapa percakapan mereka malah semakin menegangkan. Dalam hati rasanya ia ingin mencabik makhluk sok benar di depannya. Setelah memasukkan beberapa suapan terakhir, Crisy kembali menatap Raiza penuh perlawanan.     “Entahlah, Pak Raiza. Sayangnya aku tak bersimpatik dengan ceritamu. Menurutku kalau memang Valeri tak memiliki rasa apa pun pada Dev, ia harusnya menyingkir. Jangan berada di tengah-tengah hubungan mereka. Atau jangan-jangan Valeri terlalu percaya diri dengan menganggap Devan tak akan pernah berpaling darinya? Hingga ia bisa melakukan tarik ulur pada perasaan Devan. Kesimpulannya hanya dua, Valeri memang sengaja mau jadi pengganggu, atau Valeri memang menyukai Devan namun enggan menjilat ludah sendiri karena sudah terlanjur menolak Devan.”     Raiza terdiam, merasa terpojokkan oleh gadis di depannya. Ia berusaha mengatur napas agar tak terlihat sedang tersulut emosi. Setelah beberapa detik kemudian Raiza pun mengulas senyum penuh makna. “Kamu tahu, kata-katamu terlalu tajam sebagai wanita. Aku takut Devan tak akan tahan denganmu dan memilih meninggalkanmu. Sebaiknya kamu belajar bersikap sebagai pe—”     “Seperti Valeri?! Sayangnya aku bukan tipe orang yang berbelit-belit. Ujung-ujungnya terjebak dalam kepalsuan. Terima atau tidak beginilah aku.” Crisy meletakkan selembar uang di atas meja, mengambil tasnya lalu berdiri.     “Terima kasih atas waktu dan ceramahnya, Pak Raiza. Maaf aku permisi dulu, masih ada banyak pekerjaan yang menunggu.”     Raiza terdiam memandang kepergian Crisy. Semua perkataan Crisy tadi seakan menyentil dan mengusik hatinya. Mungkin karena ini pertama kalinya ada seseoang berani berkata begitu blak-blakan di hadapannya, bahkan itu tentang adiknya sendiri.     Sesaat ia tersenyum tipis. Memasukkan makanan ke mulutnya, ia bergumam pelan, "Aku tak percaya Devan bisa menaklukkan gadis itu."     Sekilas ia melihat tabiat Crisy sedikit mirip dengan adiknya, tetapi karena pembiacaraan mereka barusan, Raiza malah menilai kalau Crisy lebih gila, dan lebih blak-blakan ketimbang adiknya. Crisy memiliki sikap terbuka dan spontanitas tak seperti perempuan timur pada umumnya. Ia malah terlihat seperti gadis western yang sangat bebas mengemukakan pendapatnya.     "Devan cukup bijak tak mempertemukan mereka berdua atau sebuah perang dingin bisa saja terjadi." Kembali Devan bergumam. "Sekarang Valeri akan benar-benar kena batunya."     Setelah itu, Raiza pun memesan es cream seperti yang dipesan Crisy dan mulai memakannya dengan senyuman iblis terpatri di wajahnya. Hatinya sedikit bergetar setiap mengingat perkataan Crisy tadi. ***     Sementara itu Devan tengah menikmati makan siangnya dengan Valeri. Meski ada sedikit rasa khawatir akan apa yang dilakukan Raiza, ia mencoba meredamnya. "Semua akan baik-baik saja," ungkapnya dalam hati.     "Devan, habis ini kita jalan-jalan, ya." Suara Valeri mengusiknya, menyadarkannya dari lamunan. Devan pun tersenyum dan mengangguk.     "Apa pun untukmu. Katakan kamu mau ke mana, akan kuantar ke mana pun yang kau inginkan."     "Ah, benarkah?" girang Valeri. "Jadi selama aku di Indonesia aku ingin kamu jadi pemanduku, ya ... aku tak mau dipandu oleh petugas Travel J yang lain."     "Tapi ... bagaimana dengan program baruku?"     "Biarkan Cris itu dan Kak Raiza yang mengurusnya. Pokoknya aku ingin selama di Indonesia, kamu menemaniku ke mana pun, atau aku akan marah padamu."     Devan pun menghela napas, ia menarik hidung Valeri dengan gemas. "Baiklah Tuan Putri, selama kamu di Indonesia, kamu adalah tamuku. Jadi apa kamu juga akan menginap di rumahku?"     "Kau menawarkan sesuatu yang menyenangkan. Aku akan meminta izin pada Kak Raiza agar bisa menginap di rumahmu."     "Dasar, bilang saja kamu modus. Nggak boleh, anak gadis harus tetap tidur di rumah kakaknya."     Valeri memanyunkan bibirnya. "Bilang saja kamu akan membwa gadis itu ke rumahmu, dan tak ingin aku mengganggu, 'kan."     Devan terkekeh, lalu memakan maakan siangnya. "Sudah, aku bahkan belum bertemu dengannya hari ini, jadi cepat makan, karena aku mau berkencan dengannya."     "Hei, kamu milikku hari ini, hingga beberapa minggu ke depan, jadi jangan coba-coba ingkar janji."     Devan kembali menghela napas. Ini akan jadi sedikit sulit baginya, tetapi ia tetap menyetujuinya. Langkah awalnya telah berhasil dan ini adalah konsekuesninya. "Baiklah, kita lihat saja nona-nona, apa yang akan terjadi setelah ini," gumamnya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD