River dengan cepat membungkam bibir yang berteriak lebih lama darinya. Dia menyeret tanpa membiarkan tangan yang menutupi lepas. Bukan lebih masuk ke ruangan penelitian, justru dia membawa keluar dari sana agar apa yang dilakukannya tidak ketahuan.
River menjerit saat tangannya digigit dengan kuat. Dia langsung menahan rasa sakit agar suara mereka tidak menimbulkan keributan.
"Apa kau berubah menjadi nyamuk setelah digigit puluhan dari mereka?" ucap River, mengusap-usap tangannya yang sakit.
"Salahmu sendiri membuka baju di depan mataku."
Rana mengalihkan pandangan dari d**a pria yang masih bertelanjang. Dia tidak tahu kalau pria bertubuh kurus ini memiliki bentuk tubuh yang bagus di balik pakaian. Dibandingkan itu, ternyata yang asli lebih menggiurkan dari apa yang dilihatnya ketika menonton televisi.
Apa yang dipikirkannya saat ini? Rana menggeleng-gelengkan kepala, menyingkirkan pemikiran anehnya. Sekarang bukan waktunya untuk terpesona.
River melihat bajunya yang baru setengah perjalanan, masih berada di lengan. Jika ingin berganti pakaian, seharusnya dia melepaskannya, akan tetapi melihat keberadaan Rana membuat dia mengenakannya kembali.
"Bagaimana aku tahu kalau kau akan masuk ke ruanganku?" River berjalan menjauhi tempat penelitian dan berkata lagi, "Lalu, untuk apa kau muncul malam-malam begini? Di saat semua orang sudah terlelap?"
Rana mengikuti langkah yang menuju dapur itu. Dia tidak mengatakan apa-apa sampai melihat River menuangkan air minum. Lantas, dia duduk pula di sana dan meraih air yang disodorkan padanya.
"Aku tidak bisa mempercayai siapa pun di tempat asing ini. Saat aku duduk di depanmu juga masih sama. Entah bagaimana aku bisa sampai ke tempat yang begitu aneh, pastinya dunia ini jauh berbeda dari duniaku. Selama berhari-hari, aku tidak menemukan orang yang bisa dikenali. Semua didominasi oleh teknologi dan mereka yang aku temui lebih banyak memiliki bentuk aneh dengan fisik robot. Apa aku berada di zaman yang begitu canggih saat ini? Aku sudah menyerah untuk mengakuinya sebagai mimpi."
"Kau berkata tidak percaya pada siapa pun di sini, lalu kenapa bercerita panjang lebar padaku?"
"Itu ... karena aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin kembali ke duniaku. Brad Pitt seorang diri sekarang dan aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku meski pemilik kafe sangat pemarah."
River mengerutkan alis, sedikit tersungging senyuman di bibir. "Brad Pitt?"
"Bukan hal penting untuk dibahas. Yang terpenting sekarang, bagaimana aku bisa kembali ke duniaku?"
River menghela napas panjang, sedikit bingung bagaimana untuk menjelaskan. "Dunia ini bernama Stardust."
"Stardust?"
River menganggukkan kepala. "Kau mau mendengar ceritaku?"
Rana memperbaiki duduknya, seperti sedang bersiap-siap akan sesuatu yang besar. "Aku pikir ini akan terdengar gila."
"Manusia terancam mengalami kepunahan karena sibuk mengembangkan ide-ide brilian agar dapat menciptakan masa depan lebih cerah. Mereka digantikan oleh populasi makhluk buatan yang semakin hari semakin berkembang pesat. Sekarang adalah tahun dua ribu delapan puluh sembilan, di mana keseimbangan mulai diperhatikan. Mereka berbondong-bondong menciptakan manusia buatan yang dapat hidup layaknya orang normal di masa lampau, bahkan membuat akademi khusus yang bertujuan penciptaannya."
"Itu benar-benar gila! Siapa yang bisa menciptakan manusia? Aura saja harus mengalami kehamilan untuk melahirkan seorang bayi."
"Tapi di dunia yang teknologinya serba canggih, tentu tidak akan berpikir demikian. Mereka sudah biasa menciptakan inovasi."
"Dengan kata lain, kami terdampar di tahun dua ribu delapan puluh sembilan?"
"Aura berkata bahwa kalian berasal dari tahun dua ribu dua puluh dua. Jadi, seharusnya memang begitu."
"Itu sangat jauh!" Rana berseru tidak percaya. "Kalau begitu, kami berasal dari zaman yang telah lalu dan berada di zaman modern serba canggih." Dia menaikkan sebelah bibir, mengartikan hidup yang miris. "Aku tidak menyangka akan jadi seperti ini."
River meletakkan kedua tangannya di atas meja, saling menggenggam tanpa melepaskan pandangan dari wanita yang membuat dirinya bertanya-tanya. "Katakan padaku, bagaimana kau bisa sampai ke sini?" Dia sudah tahu jawabannya dari Aura, akan tetapi dia membutuhkan sudut pandang Rana.
"Itu pertanyaan yang sama sekali tidak aku tahu jawabannya, bahkan aku juga mempertanyakan bagaimana aku bisa sampai ke tempat ini."
River tidak berbicara banyak, hanya mengamati ekspresi wajah lawan bicara. Dia tahu kalau ada hal yang belum wanita itu sadari.
Rana menggigit bibirnya, terus memikirkan awal dari kejadian dengan keras. "Seingatku kami bersembunyi dari kejaran mereka. Rana kesulitan karena kondisi kehamilannya. Posisi kami begitu terdesak dan apa yang aku lakukan saat itu adalah memukulnya dengan batu, tapi benda itu baik-baik saja meski sudah dipukul sekuat tenaga."
"Apa lagi yang kau ingat selain itu?"
Rana tampak ragu, masih ingat dengan perkataan kakak iparnya di mana dia harus menyembunyikan benda rahasia dengan aman. Apa jika dia mengatakannya pada River tidak akan masalah?
Rana tiba-tiba bangkit dari duduknya. "Sekarang sudah terlalu malam untuk berbincang. Lebih baik kita kembali beristirahat."
Tepat saat Rana berjalan pergi, tangannya ditahan. Di sana River tampak serius ekspresinya, sungguh berbeda dari sosok yang tadi. Walaupun begitu tidak membuat Rana menjadi takut.
"Mungkin kau tidak tahu, Rana. Aku bisa menjadi gila karena rasa penasaranku."
"Bagaimana jika kau bukanlah orang yang bisa dipercayai?"
"Dan bagaimana caranya untuk membuatmu bisa percaya?"
Rana menjauhkan tangan yang menggenggamnya. "Aku tidak tahu."
River berpikir sejenak dan berkata, "Bagaimana jika aku berjanji untuk membantumu kembali ke dunia asal?"
"Aku tidak yakin kalau kau dapat melakukannya."
"Sudah aku katakan bahwa itu adalah janji." River menyodorkan kepalan tangan.
Raut kebingungan membuat River berkata kembali, "Apa kau tidak tahu dengan ini? Orang-orang di dunia Stardust akan melakukannya begini jika berjanji." Dia menarik tangan Rana, membalikkannya, dan membuatnya mengepal. Hal yang sama juga dilakukannya dengan posisi kepalan tangan menelungkup, lalu meletakkannya di atas.
"Jika mereka sudah berjanji, maka tidak akan pernah diingkari. Itu adalah janji Stardust."
Rana mengamati tangan mereka begitu lama sebelum melirik pria yang tersenyum padanya, segera membuat dia memalingkan wajah. "Kalau begitu, aku akan memegang janjimu. Jika mengingkari, maka aku tidak akan pernah memaafkanmu seumur hidup di dunia mana pun aku berada."
River meletakkan tangan kosongnya yang lain di bawah, menyentuh tangan Rana. "Aku senang bahwa kau mempercayaiku."
Rana menarik tangannya dengan cepat. Mereka duduk kembali di tempat masing-masing. Di sana Rana menceritakan seluruh kronologi dengan lengkap, mulai dari kedatangan sang kakak ipar yang membawa benda aneh ke rumah mereka sampai dia bisa datang ke dunia aneh bernama Stardust.
River sendiri berusaha mencernanya dengan baik. Dia mendengarkan dengan saksama seolah tidak ingin ketinggalan informasi sedikit pun. Cukup lama mereka berada di sana hanya untuk mendalami kembali kesaksian Rana.