Bab 7: Gigitan Nyamuk

1011 Words
Mereka harus beranjak ketika lengan seseorang membelah jarak, disusul kebangkitan tubuh lunglai yang sempat tidak sadarkan diri. Kini Rana dihadapkan dengan dua ekor nyamuk aneh yang keberadaannya tepat di depan mata. "Kalian sangat berisik sampai membangunkanku. Ya, Tuhan! Kepalaku sangat pusing. Kenapa aku bisa mendengar nyamuk berbicara?" "Kami tidak hanya bisa bicara. Kami juga bisa menggigit!" Rosa mendarat di kulit pipi itu, berusaha meluruskan moncongnya agar dapat ditancapkan dalam-dalam. "Rosa, kita sebaiknya tidak melakukan itu pada nenek moyang sendiri!" "Oh, ayolah! Wanita ini tidak terlihat seperti nyamuk. Kita tidak dapat mengatakan kalau dia adalah nenek moyang kita. Dia hanyalah nenek moyang River dan manusia lainnya yang berbentuk sama." George terdiam sejenak, mencerna kembali perkataan barusan. Dia seperti tersadar setelah sekian lama tertidur. Senyuman jahat perlahan muncul di wajah dan moncongnya bergerak maju. "Setelah aku pikirkan, ternyata kau benar, Rosa. Peduli apa dengan hukuman karena wanita ini akan mati sebelum seseorang dapat menemukannya." Rosa berhenti seketika, memandangi senyum jahat itu membuat dia bergidik. "A—aku pikir kita tidak perlu melakukannya." Tanpa pikir panjang, George menajamkan moncongnya dan bersiap terjun ke permukaan pipi. Tetapi Rana yang terganggu dengan nyamuk beterbanga segera melayangkan tangan untuk menampar diri. George sendiri berhasil menghindari berulang kali. Rana bangkit dari tanah, lalu berlari menghindari kawanan nyamuk yang semakin banyak. Tubuh yang lemah membuat dia terjatuh dan menjadi santapan para nyamuk. "Berhenti! Apa dia mati? Kita tidak bisa membiarkan River tahu tentang ini. Dia bisa membinasakan kita!" Rosa berseru dengan panik. George selesai mengisap darah. Dia mengelap bibirnya dan menunjukkan ekspresi kepuasan. Satu detik kemudian, dia terperanjat kaget. "Apa yang telah aku lakukan?! Karena dikuasi emosi membuatku terlalu membabi buta. Dia pasti mati, dia sudah pasti mati." "Tenanglah, teman-teman. Hanya sedikit darah, seharusnya wanita ini tidak mati." Di saat mereka semua memperhatikan manusia yang tergelatak tidak berdaya, bayangan hitam perlahan menggelapkan mereka. Satu persatu mulai menyadari keberadaan sosok lain, mereka terkejut melihat siapa yang ada di belakang. "River!" Seru kawanan nyamuk serempak. "Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya River, melirik wanita yang dikenalinya beberapa hari lalu tengah berbaring lemah. "I—ini tidak seperti apa yang kau bayangkan. Ka—kami hanya berusaha mencari nenek moyang kita dan tidak mengira akan menemukannya di sini. Benar, bukan, George?" "Ah, itu ...." "George pasti sangat terkejut melihat keadaan yang sangat buruk. Dia ketakutan, begitu pula dengan kami yang ragu apakah wanita ini masih hidup. Tidak ada yang tahu bagaimana cara untuk memastikannya, karena kami hanyalah nyamuk dan tidak diberikan kekuatan khusus untuk mengetahui hal itu." "Wanita ini masih hidup! Aku bisa merasakan udara menggelitiki kakiku di lubang ini." Semua mata tertuju pada satu nyamuk yang berbicara sambil duduk di atas hidung, mengayun-ayunkan kaki begitu santai seperti sedang melakukan perjalanan wisata. "Aku juga bisa mendengar dengkuran dari sini. Sepertinya dia tertidur." River melangkah di tanah yang menurun. Dia harus memutar arah ke kanan sebelum tiba di tempat kejadian perkara. Pemandangan di mana bercak-bercak merah terlihat jelas di kulit sudah bisa memastikan kalau pengakuan tadi adalah kebohongan, tetapi dia tidak ingin membahasnya sekarang. Maka dia memutuskan untuk mengangkat wanita itu dan membawanya pulang ke rumah. Kedatangan mereka disambut oleh Aura. Dia sangat panik setelah melihat adiknya sekaligus lega karena akhirnya Rana sudah ditemukan. Mengingat semenjak dirinya bangun dari kegelapan, penantiannya gelisah dalam menunggu. "Apa yang terjadi, River? Kenapa Rana menjadi seperti ini?" tanya Aura. "Dia baik-baik saja, tapi kita harus menunggunya memulihkan diri. Mungkin akan membutuhkan waktu berhari-hari." Gigitan nyamuk zaman ini sangat dahsyat. Tidak menjadi masalah jika hanya beberapa gigitan. Namun, kondisi Rana sangat jauh dari kata normal di mana terdapat banyak gigitan dari kawanan nyamuk. Oleh karena itu, pemulihannya membutuhkan waktu cukup lama. "Sekarang kita biarkan dia istirahat untuk sementara waktu." "Baiklah. Aku akan menjaganya selama itu," ucap Aura, duduk di samping adiknya dan memperbaiki tata letak selimut. Pandangan River teralih kala melihat benda yang masih berada dalam genggaman, sebegitu pentingnya sampai saat tertidur pun tetap tidak membiarkan lepas. Sudah pasti benda itu sangat penting dan memiliki rahasia besar. River harus mencari kesempatan untuk mengambil benda tersebut. Dia tidak bisa menunggu sampai wanita itu terbangun, lebih-lebih Rana tidak akan memberikan padanya dengan mudah. "River, bisakah kau keluar sebentar? Aku ingin mengganti pakaian adikku." River terjaga dari lamunan. "Oh, baiklah. Keluarlah saat makan malam tiba." Menghabiskan waktu di ruang penelitian, River berpikir panjang. Dia mengingat-ingat cerita yang didapatkan dari Aura mengenai bagaimana mereka bisa sampai ke dunia Stardust. Jika mereka datang di tahun 2022, berarti merupakan masa yang telah lalu. Sementara di masa sekarang yaitu tahun 2089 belum ada ilmuwan yang bisa menciptakan mesin waktu. Siapa dia orang hebat yang sudah menciptakan itu semua? River menggaruk kepala dengan frustrasi. Semakin dipikirkan, semakin tidak ditemukan jawabannya. Dia mengeluh dengan kesal. "Apa yang membuatmu terlihat buruk, River?" Potato baru saja masuk ke dalam ruangan, melihat raut wajah yang jelek membuat dia penasaran akan penyebabnya. Pemiliknya ini memang banyak mengeluh setiap kali memikirkan hal-hal yang menyangkut penelitian dan dia tidak ingin jika patah semangat menghantui kembali. "Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir." "Tapi aku sungguh penasaran. Tidak bisakah kau membaginya denganku? Potato adalah robot yang bisa diandalkan. Dia pandai menyimpan rahasia." River tersenyum. "Apa kau pernah berpikir untuk menjadi manusia?" "Kau sangat aneh dengan pertanyaanmu. Tapi aku akan tetap menjawabnya. Tidak peduli manusia atau bukan, aku hanya ingin menjadi Potato yang menemanimu." "Itu terdengar sangat manis. Dan aku tahu kalau kau sedang berbohong. Potato bukanlah robot yang suka mengatakan hal-hal yang menggelikan. Dari mana kau mempelajarinya? Apa lagi-lagi Pushi? Lebih baik kau tidak sering bergaul dengan kucing pemarah itu." "Bagaimana denganmu? Apa kau pernah berpikir untuk menjadi robot?" River terdiam. Itu adalah pertanyaan yang konyol untuk diberikan pada manusia. Namun, dia berpikir kalau ide Potato tidak buruk. Robot tidak memiliki emosional sehingga memiliki kehidupan yang stabil. Jika dia menjadi robot yang tanpa perasaan itu, sudah pasti kebenciannya terhadap dunia tidak ada. Seperti Potato yang selalu riang tanpa peduli perkataan orang-orang, dia akan melakukan hal serupa jika ada yang meremehkan dirinya, bukan? Hatinya tidak akan sakit lagi. River memiringkan kepala, lalu berkata, "Kau sangat aneh, Potato. Apa kau lupa bahwa aku juga adalah robot?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD