Kampus

1108 Words
"Iya!" Fikri menoleh ke arah Edwin. "Gue juga tahu diri, kok." Sesampainya di depan ruangan Carlina, Fikri mengambil alih buku-buku dari sahabat-sahabatnya. Dia masuk sendirian, tanpa ditemani yang lain. Sudah biasa bagi Fikri dipanggil sendirian ke ruangan Carlina. Alasan dosennya memanggil Fikri juga tidak jauh-jauh dari meminta bantuan, menghukum, atau hanya sekedar menasihati. Carlina sedang duduk di bangkunya dengan mata yang menatap tajam ke arah Fikri. Pria itu jadi kikuk untuk masuk lebih dalam. Akhirnya, Fikri hanya bisa berdiri di dekat pintu sambil menahan buku yang berat di tangannya. Wajahnya tersenyum, tetapi dia mulai ketakutan akan kata-kata pedas yang Carlina siap lontarkan. "Kamu mau sampai kapan di sana? Saya tahu buku-buku itu berat," kata Carlina dengan nada serius. "Sampai Ibu ngizinin untuk naruh buku ini," jawab Fikri yang mulai kesusahan menahan beratnya buku. "Taruh di atas meja sana!" Carlina menunjuk meja di pojokan ruangan. Setelah meletakkan buku, Fikri langsung bernapas lega. "Heran, kenapa gue mulu yang disuruh sama ini dosen, ya?" gumam Fikri. Dia langsung berjalan ke arah pintu, dia ingin pergi. Namun, Carlina bergumam kencang. "Kamu mau ke mana, Fikri?" "Keluar, Bu. Bukunya udah saya taruh, terus saya udah napas sebentar tadi gara-gara kecapekan. Jadi, saya mau keluar, Bu," jelas Fikri dengan suaranya yang berat. "Apa kamu ada kuliah setelah jam kuliah saya?" tanya Carlina yang meletakkan kedua tangannya di atas meja. "Kalau tidak ada, silakan duduk!" Carlina mempersilakan Fikri duduk di bangku hadapannya. Fikri berjalan dengan santai ke depan Carlina, lalu duduk di bangku yang tersedia. Dia menatap dosennya dengan senyuman. "Ada apa lagi, Bu?" Carlina meminum airnya terlebih dahulu, lalu dia memasang tampang tegasnya. "Apa kamu tidak sadar kalau tindakan kamu selama ini sudah keterlaluan? Saya ini seorang dosen, seorang pendidik kamu. Seharusnya kamu memperlihatkan sopan santun kamu kepada saya, bukannya malah menggoda saya di depan semua teman-teman kamu." Fikri tidak merasa bersalah, dia malah senang dinasihati oleh Carlina. Lihat saja, wajahnya tersenyum dengan tangan yang dia lipat di d**a. "Ya, Ibu tetep yang paling saya hormati, kok. Tenang aja, nggak ada yang lain selain Ibu di hati saya." "Fikri, saya serius!" tegas Carlina. "Saya lebih serius, Bu!" sahut Fikri. Carlina sebenarnya sudah bosan menasihati Fikri. Dia lebih suka menasihati anak kecil dari pada menasihati seorang Fikri. Sudah bosan dia berurusan dengan mahasiswa yang satu itu, padahal baru satu bulan mereka bertemu. Menasihati Fikri juga sudah bukan tugas Carlina, karena dia bukan dosen pembimbing akademiknya Fikri. Namun, setiap Fikri berbuat salah, Carlina selalu menegurnya. "Saya mau lihat cara kerja kamu mengerjakan kuis saya tadi. Bawa ke sini buku kamu!" kata Carlina. "Bukannya Ibu lagi ngomongin hubungan kita?" tanya Fikri dengan kedua alis yang dia angkat. "Hubungan kita? Sejak kapan kita punya hubungan? Hubungan kita nggak lebih dari mahasiswa dan dosen. Ingat itu, Fikri!" kata Carlina dengan nada yang meninggi. "Ngapain tinggi-tinggi suaranya, Bu? Khawatir kalau saya terus ngebuat hubungan kita hanya sebatas mahasiswa dan dosen aja, ya?" Fikri menaik-turunkan alisnya. "Atau Ibu beneran mau punya hubungan yang serius sama saya?" "Fikri, jangan lancang!" Carlina menunjuk wajah mahasiswanya. "Saya ini dosen, bukan teman kamu." Fikri menyentuh lengan Carlina. Sentuhan yang berubah menjadi genggaman. Dia menurunkan lengan dosennya ke meja. "Jangan nunjuk-nunjuk begitu, Bu. Saya jadi makin sayang." "Lepasin tangan saya!" Carlina menarik lengannya dari Fikri. "Jangan kurang ajar, saya dosen kamu!" "Bu, jangan marah-marah, dong! Kalau marah-marah seperti itu, Ibu jadi makin cantik. Nanti kalau saya makin sayang, emangnya Ibu mau tanggung jawab?" "Tanggung jawab gimana?" kata Carlina yang kebingungan. "Tanggung jawab jadi istri saya nanti, Bu. Jadi ibu dari anak-anak kita nanti. Ibu mau, kan?" sahut Fikri dengan santai. Carlina menghela napas kasar dan memijat pelipisnya. "Cepat ambil bukumu, Fikri!" "Eh-eh, iya, Bu!" Fikri langsung mengambil bukunya di tumpukan buku yang ia bawa tadi. Dia mencarinya satu per satu, karena bukunya ada di tengah-tengah tumpukan. "Aduh, mana tadi hasil nyontek si Fajar," gumam Fikri. Dia berjalan dengan wajah yang mulai tidak berekspresi. "Ini, Ibu Dosen cantik!" Carlina hanya menatap sinis mahasiswanya. Kemudian, dia mulai membuka lembar kuis yang tadi Fikri kerjakan. "Ambilkan punya Putra dan Edwin juga!" "Aduh, sial banget hari ini. Pasti gue yang dihukum sama dia, nih," batin Fikri berteriak. Dia mencoba untuk tersenyum. "Capek nyarinya, Bu. Tadi saya nyari buku itu aja lama banget, harus nyari satu-satu." "Cepat ambil dua buku itu, Fikri!" titah Carlina. Mau tidak mau, Fajar menuruti perintah dosennya. Sudah biasa ia diperlakukan seperti ini oleh Carlina. Dia juga sudah biasa dihukum oleh Carlina. "Dasar perempuan, maunya dimengerti melulu!" gumam Fikri, "Saya dengar perkataan kamu, Fikri!" tegur Carlina dengan suara yang kencang. Setelah menemukan bukunya, Fikri langsung memberikan pada Carlina. Dia sudah menduga apa yang akan terjadi, pasti dihukum lagi. "Jawabannya sama semua. Siapa yang mencontek siapa?" "Bukan nyontek, Bu. Itu namanya kerja sama. Ibu tahu, kalau bekerja sama itu akan memudahkan pekerjaan yang sulit," kata Fikri. "Itu benar kalau pekerjaan yang seharusnya dilakukan beramai-ramai. Ini kuis, pekerjaan yang seharusnya dilakukan secara individu! Jangan mengelak, kamu sudah salah masih saja bisa bercanda!" "Habisnya kalau ngeliat Ibu marah itu seru, cantiknya nambah!" sahut Fikri. "Apa lagi kalau marahnya sama saya, jadi makin gemesin." "Nggak ada orang marah tambah cantik!" bantah Carlina sedikit berbisik. "Ada, Ibu orangnya!" Carlina memang sedang emosi, tetapi dia tetap tidak bohong kalau dia sedang tersipu. Wajahnya memerah, dan itu terlihat jelas di kulit putihnya. "Apa lagi kalau lagi blushing, Bu." Carlina langsung mengerjapkan matanya. "Hari ini kamu saya hukum!" "Siap, Bu!" Fikri memberi hormat pada dosennya. "Tapi sebelum itu, mending Ibu jawab saya dengan jujur, deh! Ibu nggak nikah-nikah karena nungguin saya ngelamar, kan?" "Enak aja, emangnya kamu siapa saya?" sahut Carlina. "Calon suami Ibu, dong!" "Jangan bicara yang nggak jelas, Fikri!" kata Carlina. "Saya jelas, Bu. Saya cuma penasaran aja, Ibu cantik, pinter, tegas, baik, pokoknya udah mantep untuk jadi istri, kenapa belum nikah juga?" tanya Fikri penasaran. Carlina pergi mengambil sebuah buku kalkulus yang tadi ia bawa. Dia mengabaikan ucapan Fikri. "Jangan-jangan Ibu mandul, ya?" "Fikri, jangan lancang! Saya ini dosen kamu!" pekik Carlina dengan menatap mahasiswanya tajam. "Nggak apa-apa, Bu. Saya terima kekurangan Ibu. Ibu mau saya lamar kapan, Bu?' sahut Fikri. "Saya nggak akan nikah sama mahasiswa nakal seperti kamu. Saya juga nggak cinta sama kamu. Jadi, jangan pernah terlalu percaya diri kalau saya mau sama kamu. Hentikan semua kekonyolan kamu!" "Yah, si Ibu nantangin, nih? Hati-hati! Kalau udah jatuh cinta sama saya itu susah keluarnya, Bu! Semua pintu bercabang, ujung-ujungnya hati saya lagi," balas Fikri dengan wajah bahagia. Carlina menunjukkan halaman untuk Fikri kerjakan. "Mahasiswa kayak kamu bisa buat saya jatuh cinta? Nggak mungkin, kamu itu terlalu ingusan bagi saya." "Kalau bisa, apa yang akan Ibu kasih?" tantang Fikri. "Apa aja yang kamu minta, saya kasih! Tapi jangan harap itu mudah!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD