Aku Menyerah, Mas!

1184 Words
Tidak ada ketaatan kepada orang yang bermaksiat kepada Allah .... ❤❤❤ Ini terlalu menyesakkan. Wanita mana yang rela diduakan? Belum lagi jika caranya salah, dan mendzolimi wanita itu sendiri. Kalau dia tak mencintaiku dan mencintai wanita lain, yang bahkan mereka sudah punya anak, kenapa dia melamarku? Nggak, Mas! Mungkin kamu membutuhkan wanita kuat dan sholehah untuk bisa menerima keadaanmu yang sudah menyembunyikan wanita lain yang kamu hamili, tapi bukan aku orangnya. Aku menyerah jika ini menyangkut pengkhianatan. Aku memang masih kuat kamu tolak, kamu acuhkan dan menahan sikap dingin Mas Yusuf. Bahkan jika dia belum siap menerimaku sebagai istrinya, aku akan menunggu. Kutatap kaca tembus pandang yang menampakkan asrinya taman halaman luas rumah kami dengan pandangan berkabut karena air mata yang memenuhi pelupuk mata. Menatap rama-rama yang terbang bebas di antara bunga-bunga, rasanya aku ingin kabur saja sekarang. Bebas seperti mereka. Melepaskan semua rasa sakit, cemburu dan banyaknya prasangka yang akan membunuhku. Setelah pergi, aku yakin bisa move on. Lagi pula cintaku belum begitu dalam pada Mas Yusuf. Namun, kala ingat seruan syariat untuk para istri. Bagaimana larangan keluar rumah tanpa izin suami, apalagi kabur. Aku pun mengurungkan niat itu. Terlalu besar dosa yang kutanggung. Lagi pula bagaimana pula reaksi keluargaku, terutama Mama dan Papa? Bissmillah, aku bertahan karena Engkau ya Allah. Bahkan sayyidah Aisiyah bertahan di sisi Firaun, meski sang suami menyiksanya. Apalagi aku yang baru sekadar prasangka? Aku bahkan baru diuji satu hari. Yah, meski prasangka ini kuyakini 99% benar adanya, aku memilih bertahan untuk sementara waktu sampai kutemukan bukti nyata untuk berpisah dengan Mas Yusuf. Setidaknya, aku bisa memberinya pelajaran nanti. 'Karena sejak pikiranku tak bisa dikendakikan, aku jadi sangat benci padamu, Mas! Jika semua ini jelas kebenarannya, aku tak akan pernah memaafkanmu!' Kuraih bungkusan dari apotik itu lalu meremas dalam genggaman. Dengan gontai kulangkahkan kaki perlahan, mendaki satu demi satu anak tangga menuju lantai atas. Bukan hanya hatiku yang lelah tapi juga raga ini. Satu hari yang serasa seratus tahun. Sebelum masuk, lagi-lagi aku harus melihat bilik di lorong gelap itu. Aku muak melihatnya! Pikiranku selalu buruk setiap kali melihat atau sekadar memikirkan sesuatu yang ada di dalam sana. Tanpa sadar tanganku meremas dua benda di tangan lantaran emosi. Kalau saja aku memiliki kekuatan, pasti benda-benda ini akan hancur karena kemarahanku. Setelah menutup pintu, aku pun merebahkan diri dengan nyaman di atas ranjang king size kamar kami. Benda yang menjadi saksi bisu penolakan Mas Yusuf dan perginya dia dari kamar pengantin kami di malam pertama. Kugeser layar ponsel di tangan sambil tidur dengan posisi miring. Sambil sesekali mengelap air mata yang sudah membasahi pipi, kuketik pesan untuk Mbak Indah, agar membatalkan kedatangannya ke mari. Aku tak bisa menghadapinya sekarang. Karena sendiri adalah satu-satunya yang kuingini kini. [Maaf, Mbak. Aku batalin, ya. Soalnya aku lagi gak enak badan. Lagi pengen sendiri juga, nih.] Send .... Pesan telah terkirim, bahkan tak berapa lama centang dua berwarna biru. Tampak di layar atas di bawah nama Mbak Indah, sebuah kalimat 'Mbak Indah is typing ....' Wanita itu langsung membalas rupanya. [Kamu, gak papa, Na? Wah, kebetulan juga nih, Mas Zidan datang. Kamu jangan lupa istirahat, ya.] balasnya. Kuketik lagi pesan balasan. [Iya, Mbak. Makasih, jangan bilang-bilang yang lain aku sakit, ya. Aku cuma mau istirahat. Kalau kalian ke sini malah ganggu aku.] Akhirnya ponsel kumatikan, dengan tangis yang lebih deras. Aku sampai terisak membayangkan banyak hal dalam kepala. Dan harus terus berpura-pura tegar agar keluargaku tak curiga. Entah, apa jadinya nanti saat semua rahasia terkuak dan aku melaporkan pada Papa, aku jamin bisnis Mas Yusuf akan goncang. Papa itu meski tampak tenang berwibawa, dia tipe orang yang tak rela keluarganya disakiti. Pria itu akan melakukan apa saja, agar mereka yang menyakiti kami mendapat balasan setimpal atas kesalahannya. "Kamu mencari musuh yang salah, Mas!" ucapku di sela tangis dan suara serak. Kupukul ranjang dan bantal berkali-kali untuk meluapkan kekesalanku. Bahkan meraung-raung dengan menenggelamkan kepala ke bantal. Ya Rabb, hatiku belum pernah sesakit ini sebelumnya. Bayangan bagaimana saat kali pertama melihat Mas Yusuf membuat hatiku semakin sakit. Setiap kali senyumnya memenuhi pikiran, yang ada hanya nyeri. Belum lagi bayangan saat Mbak Indah dan Mama menggoda, kala lamaran datang dan hari pernikahan kami akhirnya ditentukan. Kebahagian itu palsu .... Semuanya palsu! __________ Mataku mengerjap kala mendengar kumandang azan. Dzuhurkah? Kupegangi kepala yang sedikit berat, dan wajah yang terasa kaku. Ini pasti karena efek menangis tadi. Setidaknya hati lebih lega sekarang setelah menangis sejadi-jadinya. Aku mendesah ... rupanya aku tertidur setelah kelelahan menangis. Padahal sebelumnya aku tak pernah tidur pagi-pagi begini, kecuali saat sakit. Tapi, kenapa tidurku lama sekali? Kuraih ponsel, tampak waktu menunjukkan pukul 12.30. Aku pun bangkit, berniat mengeyampingkan masalah yang menimpa dan melakukan kewajibanku sebagai seorang muslimah. Saat akan masuk kamar mandi, suara dari ketukan pintu membuatku menoleh. Siapa itu? Mas Yusuf? Dia kan kerja? Bibi? Ah, dia juga tak boleh naik ke lantai dua bukan? Aku mendesah sebentar, lalu berjalan ke sana. Tak peduli jika penampilanku sangat buruk setelah menangis tadi. Begitu kubuka pintu, Bibi sudah berdiri di depanku. "Bibi? Kok?" "Maaf, Non. Tadi Tuan bilang, saya suruh ngantar makan siang buat, Non," ucap wanita paruh baya itu. "Hem? Tuan?" Mataku melebar. Dia kan kerja. "Iya." "Loh apa Tuan pulang?" "Iya, Non. Apa Non tidak bertemu? Tadi Tuan naik ke lantai dua, setelah tanya mengenai kedatangan keluarga Non Hanna." "Hah? Udah lama Bi? Kok aku gak merasa sama sekali?" "Ya, lumayan, Non. Saya pikir tadi di atas lagi sibuk sama, Non. Maklum pengantin baru. Non sampai tampak lelah begitu." Wanita itu mengucap seakan menggodaku. Duh, pengantin baru apanya? Lagian kenapa aku bisa tidur selama itu? Ini namanya kecolongan. Dan dia sampai meminta Bibi mengantar makanan untukku. Apa artinya Mas Yusuf tahu aku sedang lari-larian dari bilik ke pos satpam lalu menangis di sofa ruang tamu? Ya, tak salah lagi. Dan lagi katanya dia lumayan lama, di atas apa dia juga sedang memberi makan orang dalam bilik itu. Ya, kalau dia manusia, setidaknya dia harus makan agar bisa bertahan hidup. "Apa Tuan terus pulang di siang hari, Bi?" tanyaku memastikan. "Em ...." Bibi yang sudah menaruh makanan dan kembali ke pintu, tampak berpikir. Belum lagi wanita itu menjawab, seseorang sudah berdiri di belakangnya. Mas Yusuf. Pria tampan itu tampak tenang. Tak ada sedikit pun ekspresi yang memperlihatkan bahwa dia pria jahat. Meski begitu, aku sudah terlanjur membencinya. Sangat membencinya. Bibi yang menyadari kehadiran suamiku itu langsung menarik tubuhnya. Sementara aku melengos. Menunjukkan bahwa aku tak senang melihatnya. "Bi, tolong tinggalkan kami." "Em, ya, Tuan." Wanita itu pun menjauh. Aku menghela. Dia pasti sudah tahu semua yang kulakukan sejak pagi. Sekalian saja kutunjukkan bahwa aku memang kesal padanya. "Ayo kita bicara, aku akan menceritakan semuanya," ucap lelaki itu. Sontak saja aku yang melihat ke arah lain menatapnya, hingga kudapati Mas Yusuf menatap tajam ke arahku. Dia sangat serius mengatakannya. Bahkan memakai aku dan padamu, bukan Mas atau Dik. Apa dia benar-benar akan menceritakan semuanya? Ini kesempatanku mencecar sampai habis semua yang ingin aku tahu! Bersambung 100 koment, 300 lope bab selanjutnya kilat dan gak dikunci. ?? Oya, buat redee setia Wafa, jan lupa cek inbox setiap Jumat. Siapa tau Kakak yang nerima koin gratisnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD