***
Di rumah Harold ada pelayan yang setiap pagi membuatkan sarapan. Seringkali Khadija membantu pelayan itu. Namun, khusus kali ini Khadija tidak membantu sebab ingin menemani suaminya yang baru saja tiba kemarin. Harold pun tak akan membiarkan istrinya bekerja di dapur.
"Buat apa sewa pelayan kalau kamu kerja." Begitu kata Harold menegur istrinya biasanya.
Harold masih di atas tempat tidur. Namun pandangan matanya melirik Khadija. Setiap detik, lelaki itu tak mau melewatkan waktu menatap istrinya.
"Mas Harold mau sholat juga?"
Khadija melempar pertanyaan sambil mengukir senyuman ke arah suaminya. Wanita itu baru selesai menunaikan sholat subuh. Wajahnya masih basah karena air wudhu. Aura kecantikan Khadija memancar ke seisi kamar. Dia-lah yang tercantik.
"Enggak. Kamu aja dulu. Kamu doakan Mas biar segera tobat. Untuk sekarang Mas mau kejar dunia dulu."
Harold membalas dengan candaan.
Sampai saat ini, Harold belum menunaikan sholat lima waktu secara rutin. Berkali-kali, Khadija mengingatkan maka berkali-kali pula Harold mencari alasan. Pria itu sangat pandai berbicara sehingga Khadija sebagai istri selalu mengalah.
"Sholat itu kewajiban, Mas." Khadija melepas mukenah berwarna merah jambu yang ia kenakan.
Lalu, ia melangkah mendekati suaminya yang sudah duduk di pinggiran ranjang. Satu kecupan berhasil diberikan oleh Harold kepada istrinya.
"Ah, jangan ceramahi Mas terus dong. Doakan saja Mas segera hijrah. Lagipula. Sekarang ini jadwal Mas tidak memungkinkan untuk sholat lima waktu."
Harold pernah mencoba melaksanakan sholat lima waktu secara rutin. Namun, jadwalnya menyanyi selalu membuat shalatnya bolong, tak pernah sempurna.
Pada akhirnya, Harold memilih berhenti melaksanakannya.
Pemahaman Harold tentang agama sangat minim. Kadang ia salah mengartikan sesuatu mengenai. Teman pergaulannya pun di dunia hiburan jarang sekali yang taat ibadah. Hanya istrinya yang selalu mengingatkan. Tetapi Harold selalu menganggap peringatan itu hanyalah angin lalu. Dia belum siap berhijrah.
"Kalau bukan aku yang ingatkan siapa lagi, Mas."
Khadija sangat ingin suaminya meluangkan waktu untuk beribadah. Kadang ia sedih, tetapi hal itu tak membuat dirinya ingkar terhadap suami.
Dring... Dring... Dring...
Ponsel Khadija berdering. Seseorang menelepon. Khadija mengangkatnya. "Azzam," katanya memberitahu sang suami, lalu jarinya menggeser tombol hijau di layar ponselnya.
Nama lelaki itu memang tidak asing di telinga Harold. Azzam adalah teman kerja istrinya di sebuah studio. Khadija bekerja sebagai admin di studio milik Azzam. Biasanya Harold akan bersikap biasa saja saat pria itu menghubungi istrinya. Akan tetapi kali ini rasanya berbeda. Ini jam 05:20, baginya tidak wajar lelaki jomblo menghubungi istri orang di jam begini.
"Wa'alaikumussalam, Mas Azzam."
"...."
"Oh. Iya, Mas. Saya kirim file-nya sekarang ya."
"...."
"Iya. Enggak apa-apa, Mas."
"...."
"Enggak kok. Mas Harold juga pasti memaklumi."
Harold menampilkan ekspresi datar. Dia tidak suka orang lain mengganggu kemesraan dirinya dan sang istri. Apalagi urusan pekerjaan. Jam sepagi ini seharusnya Azzam bersikap profesional bukannya menelepon Khadija pagi-pagi buta.
"Kenapa sih Mas? Kok muka kamu cemberut begitu?"
Khadija mengambil laptop di dalam lemari. Kemudian menyalakan komputer. Ada file berupa foto klien yang harus ia kirim ke Azzam. Katanya klien mereka sangat butuh. Azzam sempat minta maaf menelepon pagi-pagi. Klien mereka mendesak agar segera dikirim email sehingga mau tidak mau ia menghubungi Khadija.
"Aku mau kamu berhenti kerja, Sayang. Aku tidak mau kamu sibuk bekerja. Aku masih sanggup membiayai kebutuhan kamu dan anak-anak."
Ucapan Harold mendadak tegas. Khadija sempat mengangkat bahu mengenai apa yang membuat suaminya berlagak posesif seperti itu? Harold yang ia kenal adalah lelaki yang santai. Tidak pernah menuntut ini dan itu ke Khadija. Terlebih menghalangi karir istrinya.
"Enggak bisa gitu dong, Mas. Apa kata Mas Azzam kalau aku resign dadakan? Mas Harold cemburu ya?" Harold tidak membalas.
Tangan wanita itu masih sibuk membuka email. Dia melampirkan beberapa file yang akan dikirim ke email milik Azzam. "Lagipula Mas. Aku tak akan tahan di rumah tanpa kamu. Setidaknya aku punya waktu di luar jika kamu bekerja."
Harold juga tidak paham mengapa hatinya lebih plin-plan kali ini. Dia semakin mudah cemburu kalau istrinya dekat dengan cowok lain. Mungkin efek dari jarangnya mereka bertemu belakangan ini.
"Aku hanya tidak ingin kamu kelelahan. Aku sayang kamu Khadija!" Harold memilih tak mengungkapkan perasaan cemburunya.
Meskipun pria itu memberikan pendapatnya mengenai pekerjaan istrinya, Khadija pasti tetap pada pendiriannya. Dia butuh bekerja untuk melampiaskan perasaan jenuh tinggal di rumah.
Khadija nyaman bekerja dengan Azzam yang merupakan teman lamanya. Pria itu tak akan melakukan hal macam-macam kepada dirinya. Harold berusaha mengerti walaupun itu sangat sulit untuk ia lakukan.
***
Khadija memberitahu kakaknya soal syarat yang diajukan oleh Harold, yang mana Randy harus bersedia bekerja mencari nafkah untuk calon istrinya jika ingin pernikahannya dibiayai sang ipar. Harold bahkan bersedia mencarikan pekerjaan yang cocok.
Kalau perlu, ia hanya akan memberikan pekerjaan mudah kepada Randy, seperti admin media sosial atau semacam itu. Harold hanya ingin kakak iparnya bertanggung jawab dalam membangun sebuah rumah tangga.
"Aku tidak level bekerja begitu, Khadija!"
Dengan sombong dan tanpa beban Randy mengatakan itu. Bahkan saat ia bicara, matanya dengan tegas memperhatikan Harold yang duduk tak jauh darinya. Tatapan itu tanpa rasa malu.
"Terus maunya Bang Randy apa? Hanya itu syarat yang diberikan Mas Harold." Khadija mengalihkan perhatian ke suaminya.
"Suamimu 'kan kaya raya. Dia bintang terkenal, masa menikahkan ipar saja perlu hitung-hitungan. Anggap saja sedekah. Lebih baik sedekah kepada keluarga daripada orang lain." Randy menyindir Harold.
Jujur saja, kata-kata Randy seolah tak menghargai usaha Harold. Bagaimana bisa pria itu dengan gampangnya menolak penawaran Harold? Bahkan Harold sudah berupaya mencarikan kakak iparnya kerjaan.
"Mas Harold. Bagaimana? Bang Randy tidak setuju dengan syaratnya."
Harold menghela napas. Entah bagaimana cara menyampaikan uneg-uneg yang ia pendam.
"Maaf, Bang. Bukannya aku pelit. Kalau Bang Randy saja tak mau mencarikan nafkah kepada calon istri Bang Randy. Bagaimana denganku? Aku punya tanggungan sendiri. Aku tidak mungkin prioritaskan keuangan rumah tangga Bang Randy."
Harold berharap iparnya mengerti. Namun nyatanya Randy sama sekali tak mengindahkan jawaban iparnya. Pria itu berseru, "Halah! Bilang saja kamu enggak mau bantu biaya pernikahanku. Kamu ini ipar macam apa? Dulu waktu kau ingin dekati Khadija apakah aku pernah protes?"
Masalahnya, Harold bukan benalu dalam keluarga. Dia bertanggung jawab dan romantis. Wanita mana yang mau menolak pria semacam Harold? Tak ada. Saat itu, Harold sudah begitu matang. Dia mapan dan berpikir dewasa. Semua wanita menginginkannya.
Sementara kasus Randy berbeda. Kakak Khadija itu bergantung pada uang Harold. Semua barang mahal yang dimiliki pria itu datangnya dari Harold. Apa yang dibanggakan Randy sebenarnya? Harold benar-benar penasaran.
"Jadi, kamu beneran tidak mau membiayai pernikahanku?"
Prak....
Meja di ruang tengah digebrak keras oleh Randy, Khadija dan suaminya orang kaget. Harold merasa dirinya benar. Dia tidak terima dengan respon Randy yang berlebihan.
"Aku tetap pada pendirianku. Kalau Bang Randy tidak mau berubah maka aku pun tak akan mau membantu Bang Randy. Aku melakukan ini demi kebaikan Bang Randy."
Kemarahan Randy semakin memuncak. Dia bangkit berdiri. Meludah ke arah kirinya. Dia benar-benar meremehkan Harold. Niat baik iparnya dianggap sebuah olokan.
"Dengar baik-baik, Harold. Aku pun tak sudi menerima bantuanmu."
"Aku bukannya tak mau membantu, Bang. Aku mau asalkan Bang Randy penuhi syarat dariku."
"Sudahlah. Sekarang wujud aslimu sudah kau tunjukkan. Lihat saja, setelah ini. Hidupmu tak akan bahagia!"
Harold tidak membalas. Khadija berusaha menenangkan kakaknya. Tetapi Randy terlanjur marah. Hari itu juga, ia meninggalkan rumah Harold.
.
Instagram: Sastrabisu