Bab 6: Anak-anak mengadu

1363 Words
*** "Kamu bawa mobil sendiri?" Raffi bertanya ketika melihat Mercedez Benz milik Harold terparkir di tempat parkir perusahaan manajemen artis. Biasanya Harold menumpang pada mobil yang telah disediakan oleh perusahaan manajemen tempatnya bernaung. "Iya. Habis antar anak-anak. Mau langsung pergi sekarang?" "Enggak. Kamu istirahat aja dulu, Harold. Jadwalnya kan masih siang-an. Sekalian nunggu sampai sore 'kan." Ada acara peringatan hari jadi salah satu perusahaan rokok sore ini. Harold menjadi salah satu bintang tamu. Siangnya Harold akan melakukan geladi sebelum sore itu melakukan perform di atas panggung. Itu sudah menjadi rutinitas Harold sebelum melakukan pekerjaan menyanyinya. "Iya, benar." Harold mengirimkan pesan kepada Khadija mengenai jadwalnya nanti. Keadaan Harold tidak memungkinkan untuk pulang ke rumah lagi. Jadi, ia hanya mengandalkan pesan teks sebagai media mengabari istrinya. Khadija memaklumi Harold. Dia sudah terbiasa dengan keadaan semacam itu. "Harold. Ini mobilmu ada lecet ya?" Raffi melihat-lihat mobil Harold, dan menyadari ada lecet di bagian depan. Mobil itu memiliki harga fantastis. Untuk memperbaikinya pun bukanlah biaya sedikit. Walaupun itu hanyalah lecet sedikit saja. "Iya. Tadi ada kecelakaan sedikit. Tenang saja, semuanya sudah beres." Harold tidak mau membahas soal fans yang meminta uang ganti rugi sebanyak seratus juta rupiah itu. Jika Raffi tahu, lelaki itu pasti akan memarahi Harold habis-habisan. Sebelumnya situasi yang Harold hadapi sangat genting. Dia tidak mau anak-anaknya terlambat sekolah. Jadi, ia tidak lagi memikirkan berapa uang yang ia pertaruhkan akibat permintaan penggemar abal-abal. "Kamu nabrak orang? Apa ditabrak?" Meskipun Harold sudah mengatakan masalahnya sudah beres, Raffi malah mewawancarai Harold. Sepertinya Raffi tidak akan berhenti bertanya sampai ia menemukan jawaban dari Harold. "Aku yang tabrak. Tapi enggak parah. Aku sudah bayar kompensasi. Tidak usah cemas. Masalahnya beres," ulang Harold kembali menenangkan Raffi. Belum menerangkan kejadian tadi secara detail saja, Raffi sudah seperti wartawan yang siap siaga mendapatkan berita yang ia inginkan. Bagaimana pun Harold menenangkannya, Raffi tampaknya tidak akan pernah tenang. Lihatlah, ia masih memberikan tatapan penuh tanya kepada Harold. Ada begitu banyak yang ia ketahui. "Kamu disuruh bayar berapa?" desak Raffi. "Bayarannya sesuai kerusakannya," jawab Harold. Raffi masih mengharapkan jawaban detail. Namun, Harold langsung berujar, "Sudahlah. Aku tidak mau berdebat pagi-pagi. Lebih baik urus mobilku. Nanti potong biayanya di bagian finance ya." Harold mendekat pada Raffi dan menepuk pundak pria itu. Bisa dibilang, dahulu Raffi dan Harold adalah teman baik semasa mereka kuliah. Jadi, mereka lumayan dekat. Bukan hanya sebagai partner kerja. Akan tetapi juga sebagai teman baik. "Apa ini efek obat tidur kemarin?" tanya Raffi menebak-nebak. Harold tertawa. Itu jelas bukan karena obat tidur. Kecelakaan tadi pagi terjadi bukan karena Harold sedang oleng. Waktu itu, Zander dan Zul bertengkar sehingga mengalihkan perhatian Harold. Memang, efek samping dari obat selalu ada. Hanya saja, yang terjadi pada Harold hari ini bukan karena masalah obat. "Jelas bukan karena obat. Astaga! Apa kamu pikir aku sudah kecanduan obat tidur? Aku sangat tahu cara mengendalikan obat itu. Jangan terlalu cemaskan aku. Lebih baik kamu cemaskan pemanasan global yang terjadi pada saat ini." "Pinguin bisa punah jika es di kutub utara terus mencair," ujar Harold. Raffi menggeleng. "Kenapa tiba-tiba bahas pinguin dan kutub utara? Kamu mabuk ya, Harold? Lagi oleng?" tuduh Raffi. "Mabuk gundulmu! Enggak ada orang mabuk di sini. Enggak ada orang oleng! Kamu kali!" Harold sampai menggelengkan kepalanya dengan candaan yang dilontarkan Raffi kepada dirinya. "Kirain." "Sudahlah. Capek aku ngomong sama kamu. Mau masuk dulu." Harold memutar bola matanya. Dia memilih masuk ke gedung perusahaan manajemen tempatnya bernaung. Ada ruangan istirahat di perusahaan itu. Harold masuk ke dalam sana, sekadar beristirahat. Ada jadwal siang ini, dan ia harus lebih banyak istirahat dari sekarang. Saat Harold masuk ke dalam gedung, Raffi sempat berseru kepada pria itu. Sayangnya, Harold memilih untuk tidak peduli. Istirahat jauh lebih baik dia lakukan dari pada meladeni semua ocehan Raffi terhadap dirinya. *** Khadija adalah ibu yang baik, dan akan selalu menjadi orang yang seperti itu. Dia akan mengorbankan apapun demi kebahagiaan anak-anaknya. Beruntungnya lingkungan sekitar Khadija benar-benar mendukungnya seratus persen sebagai seorang ibu. Azzam tidak pernah melarang mana kala Khadija izin menjemput anak-anaknya pulang sekolah. Azzam sangat pengertian kepadanya. Bahkan jika pria itu merasa Khadija membutuhkan waktu untuk berpikir maka ia akan memberikan Khadija absen sampai masalah Khadija terselesaikan. Azzam adalah definisi bos baik yang sesungguhnya. Pengertian dari Azzam pun dibalas dengan pekerjaan ulet dari Khadija. Tadi, Khadija sampai di studio milik Azzam pukul 08:00 pagi. Dia sempat mengurus beberapa orang yang datang ke studio itu untuk melakukan sesi pemotretan. Dia sudah menyusun antrian orang-orang yang datang. Studio Azzam memang ramai dikunjungi orang. Itu semua karena trik pemasaran bisnis studio itu yang sangat bagus. Azzam sangat paham betul bagaimana strategi mengembangkan sebuah bisnis. Pria itu memanfaatkan sosial media yang ada. Bahkan, tak jarang ia memasang iklan bersponsor di media sosial. Azzam memang sudah paham betul seperti apa dunia perbisnis-an. Bagaimana cara membuat branding, dan segala macam dunia bisnis. Selain itu, Azzam memiliki banyak komunitas yang mendukung pekerjaannya. "Mas Azzam. Aku harus jemput anak-anak. Aku izin dulu ya, Mas," kata Khadija sembari menyunggingkan sebuah senyuman hangat. "Oh. Iya." Azzam yang tadinya sibuk berbicara dengan karyawan lain, langsung mengalihkan perhatian ke Khadija. Rasanya kurang kalau pria itu tidak menatap langsung wajah cantik Khadija. Seakan-akan memandangi Khadija merupakan bagian terpenting dalam hidupnya. "Kamu hati-hati ya," ujar Azzam. Sama seperti Khadija sebelumnya. Azzam juga melempar senyuman hangat. Seolah menegaskan bahwa apapun yang Khadija lakukan maka Azzam akan selalu mendukungnya. Termasuk pilihan Khadija yang ingin selalu ada untuk anak-anaknya. "Iya, Mas." Usai berpamitan, Khadija langsung keluar dari studio milik Azzam. Dia mendekati mobil Toyota yang terparkir kemudian masuk ke dalam sana. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Khadija untuk sampai ke sekolah anak-anaknya. Baik Zander dan Zul belum keluar dari gedung sekolahnya. Memang Khadija sengaja datang ke sekolah itu sepuluh menit lebih awal. Wanita itu tidak mau putra-putranya menunggu lama. Zul dan Zander selalu mengeluh apabila ibunya terlambat satu menit saja. Khadija selalu menginginkan pelayanan terbaik untuk Zul dan Zander. "Bunda!" panggil Zul dengan suara cemprengnya. Anak itu terlihat begitu semangat melihat kedatangan ibunya. Khadija tidak meninggalkan tempatnya. Dia melebarkan tangannya agar Zul maupun Zander bisa masuk ke dalam dekapannya. "Langsung masuk ke dalam mobil ya. Bunda mau kasih coklat buat kalian berdua." Khadija sempat memeluk Zul dan Zander sebelum akhirnya dua anak itu masuk ke dalam mobil. Sesuai janjinya Khadija memberikan anak-anaknya hadiah coklat. Zul menyambut dengan girang. Sangat berbeda dengan Zander yang terkesan lebih dingin. "Bagaimana hari ini? Kalian pasti senang bisa diantar Daddy ke sekolah, 'kan?" Khadija yakin dua putranya pasti sangat bahagia diantar oleh ayahnya. Jarang sekali Harold mengantar Zul dan Zander berangkat ke sekolah. Tentu saja, Khadija berpikir kedua anaknya senang diantar oleh Harold. "Daddy tidak asik," celoteh Zul mengeluarkan isi hatinya. Anak itu bicara sambil membuka bungkus coklat. Mimik ceria yang sempat tercetak di wajahnya mendadak pudar begitu saja. Masih jelas diingatan Zul bagaimana ayahnya lebih sibuk mengurusi penggemarnya dari pada mengantar Zul dan Zander masuk ke dalam gedung sekolah mereka. Kejadian itu, membuat Zul merasa kesal dengan sang ayah. Kesal bercampur kecewa. Padahal momen pagi tadi semestinya menjadi momen membahagiakan antara ayah dan anak. Siapa yang menyangka kalau ujungnya tidak terlalu mengesankan? "Kenapa?" Khadija penasaran atas dasar apa anak-anaknya mengatakan itu. Pasalnya Khadija sudah membayangkan kalau Zul dan Zander semestinya merasakan kebahagiaan luar biasa. Bukannya mengeluh seperti sekarang ini. Biasanya momen bersama Harold selalu menjadi momen spesial bagi Zul dan Zander. Jarangnya mereka bertemu membuat situasi semacam itu akan menjadi begitu spesial. Tapi, mengapa sekarang berbeda? Khadija penasaran. Itulah sebabnya ia memilih bertanya kepada putranya secara langsung. Agar tidak ada kesalahpahaman uang terjadi. "Daddy tidak peduli terhadap kami. Daddy lebih memilih meladeni penggemarnya dari pada mengurus kami," keluh Zander menambahkan. Zul mengangkat kepalanya sebagai pertanda setuju. "Oh ya?" Khadija termenung. Dia mulai membayangkan untuk memberitahu Harold nantinya. Harold harus bisa memahami perasaan anak-anaknya. Itulah tujuan dari pernikahan yang sebenarnya. "Daddy lebih mengutamakan fansnya," ulang Zul. Anak itu berujar sambil menggigit coklat yang sudah ia buka. Wajahnya masih saja masam. Khadija sampai mencubit pipinya agar ia tersenyum. "Daddy selalu menjadikan kita yang terakhir," bisik Zander. Khadija menggeleng. Dia berusaha menjelaskan alasan suami sekaligus ayah dari anak-anaknya. Khadija mencoba membuat anaknya mengerti, meskipun saat ini anak-anak itu tampaknya tidak mau memahami keadaan ayah mereka lagi. Khadija menghela napas, lalu melajukan mobilnya. . Instagram: Sastrabisu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD