10. Benih-benih cinta

1660 Words
Irene meletakkan setangkup roti tawar yang telah dioles selai kacang, di piring Zayn. Tak lupa, dia juga menyodorkan segelas s**u hangat. Sejak kejadian semalam, Irene memang masih mendiamkan suaminya. Namun, dia mengerjakan semua tugasnya dengan baik. "Hari ini aku free, kita bisa menghabiskan waktu dengan pergi jalan-jalan." Irene menggeleng pelan. "Aku di sini saja, pergilah kalau kau mau." Zayn menatap lekat Irene, sorot mata gadis itu begitu tajam seolah hendak mengulitinya. "Masih ada waktu sampai besok untuk kita menikmati liburan ini sebelum kita pulang," lanjut Zayn. "Aku sudah selesai," ucap Irene seraya membawa piring kotor dan menaruhnya di atas sink. Zayn menghela nafas panjang. Sedikit banyak dia sudah mulai memahami sifat istrinya. Ini akan dijadikan pengalaman agar lain kali Zayn lebih berhati-hati lagi ketika menyampaikan sesuatu pada Irene. Zayn sama sekali tidak takut jika Irene marah padanya, tapi dia sungguh tidak bisa jika Irene terus mendiamkannya seperti itu. Ini terasa sangat menyiksanya. Masih untung tadi Irene menjawab pertanyaannya meskipun jawabannya singkat. Irene memutar bola matanya malas saat dilihatnya Zayn masuk ke dalam kamar menyusulnya. Tak lama, karena fokus Irene kembali pada majalah fashion yang ada dalam genggamannya. Zayn duduk di sofa dekat ranjang. Pria itu terus menatap Irene. Cukup lama keduanya berada dalam kebisuan. Zayn ingin membujuk istrinya yang tengah merajuk, tapi dia bingung harus memulainya dari mana. Dia takut salah bicara, dan memicu amarah Irene kembali. Zayn sungguh payah. Dia memang tidak pandai mengenai urusan wanita. Selama ini dia menghabiskan waktunya dengan bekerja. Hanya ada dua wanita saja yang dekat dengannya selama ini. Ibunya dan juga Tiffany, teman masa kecil Zayn. Zayn dan Tiffany tumbuh bersama. Sejak kecil keduanya bersekolah di tempat yang sama sampai tingkat SMA, karena Zayn memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di jurusan bisnis sementara Tiffany melanjutkan pendidikan modellingnya. "Ren," panggil Zayn lembut. Yang dipanggil tak menyahut. Irene terus membuka lembaran majalahnya, gadis itu baru merespon setelah Zayn memanggilnya lagi. "Kau butuh sesuatu?" meskipun kesal, Irene tidak mungkin membiarkan Zayn begitu saja. "Ya," balas Zayn singkat. "Kopi?" tanya Irene. Dia beringsut turun dari ranjang begitu menutup majalahnya. "Bukan," sahut Zayn. "Camilan?" tebak Irene. Zayn kembali menggeleng. "Aku tidak berminat jika kau mau mengajakku bermain teka-teki," ujar Irene kesal. Gadis itu pun berlalu dari sana sampai langkahnya terhenti saat Zayn mencekal tangannya. "Maafkan aku," lirihnya. "Kau tidak melakukan kesalahan jadi untuk apa kau meminta maaf," cibir Irene. "Aku akui kalau aku salah. Lain kali aku akan lebih hati-hati lagi dalam menyampaikan sesuatu padamu. Aku hanya ...," "Kau sama sekali tidak salah. Kau suamiku, jadi kau berhak menegurku jika aku melakukan kesalahan. Aku akan berlatih menjadi wanita berkelas agar aku pantas mendampingimu." Irene melepaskan tangan Zayn yang menempel di tubuhnya. "Kau mau kemana," cegah Zayn saat melihat Irene meninggalkan kamar tersebut. "Aku hanya perlu sendiri." Setelahnya, Zayn terus menatap punggung Irene hingga gadis itu lenyap dari pandangannya. Zayn mengusap wajahnya kasar. *** Disinilah Irene sekarang. Duduk termenung di tepi kolam dengan mencelupkan kakinya di sana. Sesekali tangannya menepuk permukaan air hingga menimbulkan suara. Semilir angin membuat surai panjang berwarna kecoklatan milik Irene berkibar. Gadis itu meringis kecil manakala angin membelai bahu telanjangnya, terasa begitu dingin. Irene merasa betah berlama-lama berada di sana. Pemandangan indah bunga yang bermekaran, juga rerumputan hijau yang menghampar bak permadani sungguh memanjakan mata. Suasana hatinya yang sempat murung beberapa saat lalu, kini berubah membaik. "Jadi kau lebih suka menyendiri di sini daripada bersamaku di kamar?" Zayn melangkah pelan mendekati istrinya, kemudian duduk di samping Irene. "Jangan menghindariku, kau boleh marah tapi tolong jangan mendiamkan aku seperti ini," cicit Zayn. "Sudah kubilang aku tidak marah. Aku hanya sedang ingin sendiri." "Lalu sekarang bagaimana? Apa kamu masih ingin sendiri juga?" "Tidak lagi." Irene menaikkan kakinya, berniat pergi dari sana. "Lantas?" terkejut, Zayn pun melakukan hal yang sama. Dia bergegas menyusul istrinya yang mulai berjalan menjauh. "Kau bilang mau mengajakku jalan-jalan, memang kau mau aku keluar dengan berpakaian seperti ini?" Detik berikutnya, sebuah lengkungan tipis tercetak di sudut bibir Zayn. Dia yang semula berpikir jika Irene meninggalkannya karena masih marah, terlihat sangat bahagia begitu Irene menerima ajakannya. Selang dua puluh menit kemudian, mobil yang dikendarai Zayn pun melaju dengan kecepatan sedang menuju suatu tempat. Zayn mengenakan kaos putih yang dilapisi dengan kemeja berwarna biru langit yang tidak terpasang kancingnya, dipadukan dengan celana jeans pendek warna biru. Sementara Irene memakai kaos oblong putih yang diikat bawahnya, dilengkapi dengan hotpants jeans warna senada dengan celana suaminya. "Gunakan waktu liburan kita kali ini untuk lebih mengenal satu sama lain, Ren," gumam Zayn. "Ya," balas Irene singkat. "Bukankah kita sudah sepakat untuk saling membuka hati?" "Ya." "Mulai sekarang kau harus menuruti ucapanku karena aku hanya ingin yang terbaik untukmu." "Ya." Irene tak mengalihkan pandangannya dari balik jendela kaca. "Termasuk jika aku memintamu untuk masuk kelas khusus. Kelas merangkai bunga, misalnya," cetus Zayn. "Ya." "Apa kau mencintaiku?" "Ya," jawab Irene cepat, tapi kemudian dia teringat akan satu hal. "Aku tahu itu. Kau sudah pasti akan menjawab begitu. Tidak sulit bagimu untuk belajar mencintaiku." Zayn terkekeh karena telah berhasil menjebak Irene melalui pertanyaan beruntun. "Apa katamu? Itu tidak benar. Kau pasti sengaja kan menggiring pertanyaan seperti itu karena kau yakin aku akan menjawabnya dengan berkata 'iya', kau curang," sungut Irene. "Salah siapa dari tadi aku tanya, kau hanya menjawab iya-iya terus." gemas, Zayn mengacak rambut Irene hingga gadis itu memekik histeris. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, Zayn pun memarkir mobilnya di tempat yang telah disediakan. Irene menatap ke sekeliling begitu turun dari mobil. "Pantai?" tanyanya, memastikan. "Ya, kenapa? Kau tidak suka?" "Suka. Aku suka pantai," balas Irene. Gadis itu berjalan mengekor di belakang suaminya sambil menenteng kantong plastik berisi minuman dan makanan ringan yang tadi sempat di beli di minimarket. Mereka menghentikan langkahnya, mengamati sekeliling. Zayn meraih tangan istrinya, membimbingnya menuju bangku yang terletak tak jauh dari bibir pantai. Zayn meraih kantong plastik dari tangan Irene, mengambil botol minuman kemudian membuka tutupnya dan memberikan pada gadis itu. Irene menerima dengan senang hati dan meminumnya, sementara Zayn kembali meminta botol itu dan meminumnya hingga isi botol habis tak bersisa. Diam-diam Zayn terus mencuri pandang pada Irene. Rambut panjangnya yang berkibar tertiup angin, sesekali menutupi wajah cantiknya. Zayn sendiri tidak tahu kenapa Irene terlihat berbeda dimatanya, tidak seperti kebanyakan wanita lain yang seringkali dia jumpai. "Kau suka pantai?" "Sangat. Tapi sayangnya aku tidak bisa pergi ke sini setiap aku mau." "Sudah kuduga," lirih Irene yang masih bisa didengar Zayn. "Apanya?" "Melihat kesibukanmu selama ini, aku sudah menduganya kalau kau memang tidak memiliki waktu untuk liburan. Jangankan untuk liburan, jam tidurmu saja berkurang karena pekerjaan yang seolah tidak ada habisnya." Zayn tersenyum satir mendengar penuturan Irene. Semua yang dikatakan gadis itu memang benar. Jangankan untuk liburan, dapat tidur nyenyak dan berisitirahat di akhir pekan tanpa gangguan, sudah merupakan keberuntungan baginya. "Tapi sepertinya hal itu tidak akan berlaku mulai hari ini," cetus Zayn. "Kenapa?" "Karena aku sudah menikah. Aku jadi punya alasan jika sewaktu-waktu aku mendadak mengambil cuti." "Memang bisa begitu?" Irene menatap manik mata Zayn yang berwarna kebiruan. 'Tentu saja bisa, suamimu ini kan pemilik sekaligus CEO dari ZAX Group. Aku yakin kau akan histeris jika mengetahui berapa banyak perusahaan yang ada dibawah kekuasaanku,' batin Zayn. "Lupakan soal pekerjaan, kita kemari untuk bersenang-senang." Zayn meraih jemari Irene, mengajaknya bangkit dari sana dan berjalan pelan mendekati bibir pantai. Keduanya bermain air bersama. Mereka terlihat riang seperti anak kecil yang baru pernah singgah di pantai. Sesekali Irene melempari suaminya dengan air dari tangannya dan Zayn membalasnya. Mereka bermain perang air, membuat rumah pasir, dan terakhir bermain kejar-kejaran di atas hamparan pasir putih. Irene berusaha menghindar saat Zayn mencoba meraih tangannya. Ia terus berlari sampai tiba-tiba Zayn mempercepat larinya kemudian berhasil meraih tangannya. Reflek Irene menubruk d**a Zayn, mengakibatkan keduanya terjatuh bergulingan di atas pasir dengan posisi Zayn yang menindih tubuh Irene. Wajah mereka sangat dekat, Zayn menatap intens netra bening istrinya. Tangannya terulur untuk menyibakkan anak rambut yang menutupi separuh wajah Irene. Selang beberapa menit kemudian Zayn pun bangkit dari posisinya. Berada dalam jarak sedekat itu dengan Irene membuatnya merasakan gelenyar aneh. Ada gelombang yang bergejolak di dadanya. Zayn sendiri tidak tahu kenapa dia bereaksi seperti itu sementara dirinya sudah pernah melakukan hal lebih dari itu dengannya. Zayn berjalan pelan menuju bangku, tempat dimana dia menaruh tas dan juga kantong plastiknya. Setelah meneguk air dingin, Zayn berusaha mengatur ritme nafasnya yang sempat memburu. Irene memandangi Zayn dengan tatapan heran. Bisa-bisanya pria itu pergi begitu saja, membiarkannya tetap bergumul dengan butiran pasir. Irene mendengus kesal, dia mengusap pasir yang menempel di sekujur tubuhnya. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia juga merasakan sesuatu yang aneh ketika dia dan Zayn berada dengan jarak sangat dekat seperti tadi. "Hm, lebih baik kita bersihkan badan kita dulu, setelahnya lalu makan siang. Aku sudah lapar," ucap Zayn menutupi kecanggungannya. "Iya," Irene menyahut. Masih dalam kecanggungan yang tercipta, Irene membisu saat mengikuti langkah suaminya menuju kamar mandi yang berada tak jauh dari sana. Dua insan itu saling bungkam dengan pikiran yang sibuk mengembara. Sesampainya di sana, keduanya berpisah untuk masuk ke dalam kamar mandi yang memang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Irene menyerahkan sehelai handuk, seperangkat alat mandi lengkap beserta baju ganti untuk suaminya. Selang lima belas menit, Irene muncul dari balik pintu kamar mandi. Zayn tak mampu mengalihkan pandangannya begitu melihat penampilan Irene. Ya, Irene terlihat sangat menawan mengenakan floral dress selutut dengan tali spaghetti yang dipadukan dengan cardigan warna dark silver. Zayn tahu wajah itu sama sekali belum berpoles make up, tapi seperti biasa Irene selalu terlihat cantik. Ada lagi yang membuat perasaan Zayn berbunga-bunga. Sepertinya Irene sengaja menyiapkan baju keduanya dengan warna senada hingga mereka terlihat seperti pasangan yang sedang berkencan. Zayn kembali melajukan mobilnya membelah jalanan yang dipenuhi tanaman semangka dan melon yang tumbuh subur di sisi kanan dan kiri jalan. 'Semoga benih cinta tumbuh subur di hati kita sehingga kita bisa menjadi pasangan suami istri yang seutuhnya, layaknya pasangan suami istri pada umumnya,' Zayn membatin sambil terus mencuri pandang pada gadis yang saat ini duduk di sebelahnya. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD