"Kalian berangkat jam berapa, nanti?" tanya Vernon di sela-sela kegiatan melumat makanannya.
"Setelah sarapan kami akan segera berangkat, Kek." Zayn beralih menatap Ibunya.
"Ya, Mommy akan menjaga kakekmu dan memastikan dia meminum obatnya dengan teratur," ujar Hera, seolah tahu apa yang akan dikatakan anaknya.
"Mommy yang terbaik." Zayn meletakkan sendoknya lalu menggenggam tangan Hera.
"Kau sudah bekerja keras demi keluarga ini, sudah saatnya kau menikmati hasil jerih payahmu. Berbahagialah dan nikmati hidupmu bersama istrimu."
Suasana sendu tiba-tiba menyelimuti ruangan tersebut. Sejak dulu Zayn memang sangat dekat dengan ibunya. Bekerja keras untuk membangun perusahaan kecil yang semula diberikan ayahnya, menjadi perusahaan raksasa yang telah menggurita dan membelit hampir di segala bidang membuatnya menghabiskan waktu di kantor dan di luaran sana. Zayn sangat jarang menghabiskan waktu untuk keluarganya sekalipun mereka tinggal satu rumah. Zayn benar-benar menghabiskan masa mudanya dengan bekerja keras.
"Ya, kalian telah menjalani hidup dengan sangat keras selama ini. Sekarang sudah saatnya kita menikmati hidup, ditambah dengan datangnya Irene di tengah-tengah kita, kita bisa bernafas lega sekarang, Hera. Kita bisa menjalani hari tua kita dengan tenang karena sekarang sudah ada orang yang akan mengurus dan menjaga Zayn," sahut Vernon.
"Iya, Ayah."
"Semoga sepulangnya nanti dari luar kota, Kakek akan mendapat berita bagus." pria tua itu mengerling nakal pada cucu lelaki satu-satunya itu, membuat Zayn hampir tersedak.
"Apa yang Kakek bicarakan," sinis Zayn.
"Apa perlu aku memperjelas ucapanku, kalau aku menginginkan kehadiran bayi di rumah ini? Aku sudah sangat tua, aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan hidup. Jadi setidaknya sebelum aku pergi, aku ingin merasakan bagaimana rasanya menggendong seorang cicit."
"Cukup, Kek! Aku tidak suka Kakek berkata seperti itu. Kakek akan hidup lebih lama lagi dan Kakek akan memiliki banyak waktu untuk melihat tumbuh kembang anak-anakku kelak."
Irene dan Hera bungkam, keduanya saling bertatapan mendengar percakapan Zayn dan Vernon yang mendominasi.
"Buktikan ucapanmu, Jangan hanya bicara saja!" tegas Vernon.
"Memang Kakek pikir membuat bayi itu sama seperti membuat kue apa? Semuanya butuh proses, Kek." Zayn menyahut.
"Kalau kau tahu itu, kenapa tidak bulan madu ke luar negeri saja. Sebulan aku rasa cukup untuk ...,"
"Kakek yang benar saja!" potong Zayn. "Akan jadi apa perusahaan kalau aku tinggal selama itu? Ditinggal tiga hari saja aku dibuat kalang kabut, ada-ada saja." Zayn merajuk seraya mengerucutkan bibirnya bak anak kecil.
Vernon terbahak, pria itu beralih menatap cucu menantunya.
"Irene, dengan sangat terpaksa Kakek harus memberitahukan padamu. Kau harus lebih bersabar menghadapi cucuku, ya. Dia itu gila kerja jadi kau harus maklum jika dia mengesampingkan dirimu, nantinya."
"Iya, Kek." gadis itu mengangguk.
Irene sudah menduga hal seperti itu akan terjadi, mengingat dulu sewaktu ayahnya masih hidup, Maxim pun jarang sekali pulang. Jika seorang asisten saja memiliki kesibukan yang luar biasa padat melebihi tugas asisten pribadi pada umumnya, bagaimana dengan atasannya? Sudah dipastikan Zayn menghabiskan hidupnya dengan tumpukan kertas dan bertemu klien.
Wajar saja jika sampai menginjak usianya yang sekarang Zayn baru menikah, itupun karena wasiat Maxim. Seandainya tidak ada wasiat itu mungkin saja Zayn masih betah melajang, atau mungkin dia akan berakhir dengan menikah karena dijodohkan oleh Ibunya.
***
Lima belas menit berlalu setelah Zayn dan juga Irene meninggalkan kediaman keluarga besar Xavier. Kini mereka sedang menaiki salah satu dari dua buah pesawat pribadi yang dimiliki oleh Zayn.
Pesawat berjenis Gulfstream G550 yang dibanderol dengan harga US$ 61,5 juta atau setara Rp 888 miliar. Kapasitas Gulfstream bisa mencapai 19 orang. Mesin pesawat ini juga menggunakan Rolls-Royce BR700 sehinnga bisa melesat sampai 941 kilometer per jam.
Pesawat ini diproduksi oleh unit Gulfstream Aerospace milik General Dynamics di Savannah, Georgia, Amerika Serikat. Salah satu ciri untuk mengenal pesawat milik Zayn adalah terdapat logo perusahaannya yang bertuliskan ZAX, pada ekor pesawatnya.
Waktu berlalu tanpa terasa hingga Zayn merasakan sekujur tubuhnya panas. Rasa tidak nyaman menyergapnya hingga pria itu harus menghentikan aktifitasnya sejenak.
"Kenapa, Zayn?" tanya Irene begitu melihat gelagat suaminya.
"Badanku terasa gatal," sahut Zayn sambil terus menggaruk di beberapa titik anggota tubuhnya.
"Biar kulihat."
Irene memeriksa tangan suaminya, dan benar saja. Ada bercak kemerahan yang timbul di sana, bukan hanya itu saja, badan Zayn pun terasa panas.
"Zayn, kau sepertinya terkena alergi."
"Apa?" Zayn tersentak.
"Kau memiliki alergi terhadap suatu makanan?" tanya Irene.
"Ya, aku alergi udang tapi aku rasa aku tidak memakannya tadi."
Irene membekap mulutnya, dia teringat sesuatu.
"Astaga, Zayn. Kumohon maafkan aku!" pekik Irene panik.
"Kenapa kau mesti minta maaf?"
"Ak ... aku menaruh sedikit udang dan cumi yang aku cincang ke dalam nasi goreng yang kau makan tadi," terang Irene.
"Ah, pantas saja badanku terasa panas," keluh Zayn sembari terus menggaruk badannya.
"Ya Tuhan, Zayn. Bagaimana ini?"
Zayn merasa tubuhnya semakin panas, selain rasa gatal yang menderanya, kini pria itu semakin tersiksa karena dia juga kesulitan bernafas.
"Al," panggil Zayn.
Asistennya yang sejak tadi duduk di ruang terpisah pun mendekat dan pria itu segera mengetahui apa yang terjadi dengan Zayn.
"Tunggu sebentar, Tuan. Biar saya ambilkan kotak obat dulu."
"Cepatlah!" seru Irene.
Tak lama kemudian Albert telah kembali dengan tangan kosong.
"Bagaimana ini, Nyonya? Kita tidak membawa obat untuk Tuan Zayn, hanya ada obat-obatan lain di sana. Kita juga baru saja lepas landas jadi tidak memungkinkan untuk kita mendaratkan pesawat secara mendadak."
Mendengar pernyataan Albert membuat Irene semakin panik. Dilihatnya wajah Zayn yang sudah sangat pucat.
'Bagaimana ini ya Tuhan?'
Irene mulai tak bisa mengendalikan diri, air matanya terjun bebas. Dia sungguh ketakutan. Mulutnya terus merapalkan doa, berharap semoga sesuatu yang buruk tidak terjadi pada Zayn.
Di tengah kekalutannya, tiba-tiba Irene teringat akan Joy. Teman kuliahnya itu juga memiliki alergi yang sama seperti Zayn.
"Al, di mana aku bisa mendapatkan lemon?" tanyanya.
"Mari ikut saya, Nyonya."
Irene meninggalkan Zayn sendirian di sana mengingat di dalam pesawat pribadi itu memang hanya ada mereka ditambah satu pilot, asisten, beserta tiga orang kru.
"Kau pergi saja, tolong jaga Zayn!" titah Irene begitu mereka sampai di sebuah bilik mirip dapur.
"Baik," jawab Albert singkat.
Irene segera membuka lemari pendingin dan mengambil sebuah lemon. Tergesa, dia memotongnya, memerasnya kemudian mencampurkan dengan sedikit air hangat.
Begitu selesai dengan pekerjaannya, Irene kembali menghampiri Zayn. Irene meminta Albert memegang gelas berisi air perasan lemon tersebut sementara dirinya membimbing tubuh Zayn untuk bersandar padanya.
"Zayn, kau minum ini dulu ya."
Zayn yang memang sudah tak bertenaga sama sekali, pun hanya menuruti perintah Irene. Zayn meneguk minumannya sampai tandas, setelahnya pria itu kembali membaringkan tubuhnya dengan kepala di atas pangkuan Irene.
Irene dengan cekatan menyeka butiran keringat di pelipis Zayn. Pria itu tertidur pulas setelah menghabiskan segelas air perasan lemon hangat buatannya.
"Maafkan aku Zayn, karena kecerobohanku kau jadi menderita seperti ini."
Entah berapa kali bibir mungil itu terus menggumamkan kata maaf. Bulir bening itu terus melesat dari sudut mata Irene dan berakhir di pipi Zayn.
Menyadari kecemasan istrinya, Zayn pun membuka mata. Diraih jemari Irene dengan sedikit meremasnya.
"Hei, aku masih hidup. Kenapa kau menangis seolah sudah ditinggal mati olehku."
Irene terkesiap melihat Zayn bangun dari pangkuannya. Ia menyeka wajahnya, kasar.
"Kenapa kau masih saja menangis? Kau takut kehilangan aku atau bagaimana?" bukannya menenangkan, Zayn malah gencar memberondong Irene dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh.
"Tentu saja aku takut kehilanganmu."
Zayn yang tak menyangka jika Irene akan memeluknya pun kehilangan keseimbangan tubuhnya hingga punggungnya membentur badan kursi.
"Kau takut?" ulang Zayn.
Irene mengangguk. "Sangat takut, aku takut kehilanganmu. Aku sudah ditinggal pergi oleh orang-orang yang aku cintai dan aku tidak mau jika aku juga harus kehilangan dirimu. Sekarang hanya kaulah satu-satunya yang aku punya. Jangan sakit, jangan sampai terluka lagi karena aku tidak sanggup jika harus hidup tanpamu," isaknya.
"Maafkan aku telah membuatmu cemas." Zayn membelai lembut rambut istrinya.
"Jangan meminta maaf, ini semua salahku."
"Sudah! Berhentilah menangis. Aku baik-baik saja sekarang."
Irene mengendurkan pelukannya. Diperiksanya tubuh Zayn. Suhu tubuhnya sudah normal, bintik-bintik merah di kulitnya juga sudah mulai berkurang.
"Syukurlah."
Saking girangnya, Irene kembali merengkuh tubuh Zayn, kali ini bahkan lebih erat dari pelukan sebelumnya. Membuat Zayn terus tertawa.
Sementara di sisi lain, Albert yang sejak tadi memperhatikan interaksi keduanya lebih memilih pura-pura tuli dengan membaca majalah sambil menghadap jendela.
Bersambung ....