Tiffany terus melayangkan tatapan sinis pada Irene yang saat ini sedang memimpin jalan menuju kasir.
'Berpikir Tiffany, buat dia menyesal karena telah berani menantangmu. Dia pikir dia itu siapa, gadis kampung yang bahkan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan denganku,' maki gadis itu dalam hati.
"Silakan, Nona. Apa kami sudah bisa melakukan transaksinya sekarang?" tanya petugas kasir yang memang telah kenal dengan Tiffany.
Hampir setiap minggu Tiffany merogoh kocek dalam-dalam demi bisa memuaskan hasratnya berburu gaun-gaun cantik di sana. Gaun hasil rancangan designer kondang dengan harga fantastis yang ia gunakan untuk menunjang penampilannya di berbagai kesempatan. Tiffany merupakan salah satu langganan tetap butik itu, sampai-sampai terkadang pihak butik menghubunginya secara pribadi untuk memberitahukan kedatangan barang baru.
"Ah, ya. Tentu saja. Kau bisa memulainya dari barang belanjaanku lebih dulu," sahut Tiffany.
"Baik, Nona."
Petugas kasir pun mulai cekatan menjalankan tugasnya. Tak lama setelahnya, wanita itu pun mengatakan nominal yang harus dibayarkan oleh Tiffany.
"Sebentar ya." Tiffany membuka tasnya.
Sepersekian detik, raut wajah cantiknya berubah panik saat tak ia temukan dompetnya di dalam sana.
"Ada apa," tegur Irene.
"Aku lupa menaruh dompetku. Astaga! Bagaimana ini bisa terjadi," katanya.
"Carilah dengan betul, jangan gugup begitu!"
"Tetap tidak ada, padahal seingatku aku sudah menaruhnya di sini."
Dengan terpaksa, Tiffany pun mulai menguras isi tasnya di atas meja kasir. Semua barang berhamburan di sana, tapi hasilnya nihil. Tidak ada satu pun benda yang mirip dompet, ada di sana.
"Kau ini bagaimana? Kau sendiri yang memintaku untuk menemanimu berbelanja, tapi kau sampai lupa tidak membawa dompet," seloroh Irene.
"Seingatku aku sudah menaruhnya ke dalam tas. Bagaimana ini?"
"Entahlah." Irene menggendikan bahunya.
"Bisa tidak, kau bayarkan dulu tagihanku? Aku janji akan langsung mentransfernya nanti," ucap Tiffany setengah berbisik.
Irene mengabaikan ucapan Tiffany dan malah menyuruh petugas kasir untuk melakukan transaksinya lebih dulu.
"Ren," panggil Tiffany sambil mengguncang lengan Irene.
Pura-pura tuli, Irene masih berdiri dengan tenangnya menunggu kasir selesai dengan tugasnya.
Perlahan, Irene membuka dompetnya, dan detik berikutnya apa yang ia lakukan berhasil membuat Tiffany mendelik sampai-sampai kedua bola matanya seperti hendak melompat keluar dari tempatnya.
Ya, Irene mengeluarkan sebuah kartu berwarna abu-abu. Bukan black card yang seperti biasa Zayn perlihatkan padanya, melainkan American Express Platinum. Tiffany yang sudah terbiasa hidup bergelimang harta sudah pasti tahu kartu macam apa yang saat ini sedang dalam genggaman Irene.
Kartu kredit yang terkenal dengan sebutan Amex Black Card atau Centurion Card ini merupakan jenis paling eksklusif yang dikeluarkan oleh American Express, salah satu bank terbesar di AS.
Setelah petugas kasir memintanya menekan tombol pin, transaksi pun berhasil dilakukan.
"Ren! Ayolah, aku akan mentransfernya padamu nanti," bujuk Tiffany.
"Mbak, sekalian punya Tiffany, ya," kata Irene.
Gadis itu memang tak menanggapi ucapannya, tapi Tiffany bersyukur karena Irene mau membayar tagihan belanjanya.
"Baik, Nona."
Begitu urusan p********n selesai, Irene pun bergegas mengajak Tiffany berkeliling pusat perbelanjaan tersebut.
"Kau menyelamatkanku dari rasa malu yang bisa saja membunuhku tadi," cicit Tiffany.
'Benar-benar gadis tidak tahu sopan santun. Dia meminta bantuanku tanpa mengucapkan kata tolong, lalu setelah aku tolong pun dia tidak mengucapkan terima kasih. Ck, aku tidak haus akan ucapan terima kasih, tapi tidakkah dia memiliki inisiatif pada orang yang telah menolongnya?'
"Syukurlah."
Akhirnya hanya kata itu saja yang sanggup Irene ucapkan.
"Eh, omong-omong kau mau belanja apa lagi?"
"Aku tidak mau belanja lagi, tapi aku punya ide bagus!" cetus Irene.
"Ide bagus apa?"
"Di mana biasanya kamu melakukan perawatan tubuh?"
"Jadi kau mau ke salon?"
"Ya, kalau bisa yang treatment-nya lengkap," jelas Irene.
"Tentu saja, ayo!"
Dengan bersemangat, Tiffany menggandeng tangan Irene menuju tempat yang biasa dia kunjungi untuk memanjakan diri.
"Tapi aku tidak membawa dompet," bisik Tiffany saat keduanya telah memasuki sebuah salon kecantikan khusus wanita.
"Kau bicara seakan aku ini bukan temanmu. Bukankah kau bilang kita ini teman? Lupakan masalah yang tidak penting. Ayo mulailah memilih treatment," Irene menyahut.
"Ah, kau memang temanku."
Girang, Tiffany langsung memeluk Irene. Namun, tak bertahan lama karena secepatnya mereka ingin segera merasakan pijatan lembut yang memanjakan.
Setelah berdiskusi sebentar, akhirnya kedua gadis itu memilih treatment from head to toe. Sebuah treatment dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Bukan tanpa alasan Irene melakukan itu. Dia memang sengaja ingin menunjukkan pada Tiffany kalau dirinya mampu menyenangkan hati Zayn, dengan cara yang berbeda. Cara yang ia pilih sesuai dengan kata hatinya. Ya, meskipun pada kenyataannya mereka berdua belum pernah sekalipun mencicipi manisnya surga dunia. Namun, setidaknya mereka dengan tulus berjanji untuk saling membuka hati dan menjalani peran masing-masing dengan baik.
***
Di kantor.
Albert membukakan pintu untuk Zayn masuk ke dalam ruang kerjanya. Mereka baru saja menghadiri rapat penting yang berjalan cukup menyita waktu karena adanya sedikit masalah.
"Al, minta OB untuk membuatkan jus jeruk. Entah cuaca hari ini yang memang panas atau suasana panas dalam ruang rapat tadi terbawa ke sini, aku merasa gerah sekali," ujar Zayn.
"Baik, Tuan. Mau sekalian saya mintakan makanan ringan juga?"
Zayn sempat melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Padahal baru dua jam yang lalu dia dan asistennya itu makan siang, tapi dia kembali merasa lapar.
"Boleh juga. Minta potongan buah segar, juga cheesecake."
"Baik, Tuan."
"Al," panggilnya lagi saat melihat Albert mulai mengambil gagang telepon.
"Ada lagi, Tuan?"
"Minta semuanya menjadi dua porsi, untukmu juga. Gara-gara memikirkan masalah tadi, kau pasti juga sudah mulai lapar sepertiku. Kau kan suka sekali memakan camilan jika sedang berpikir keras," ucap Zayn mengeja kebiasaan Albert yang kini menggantikan posisi Maxim.
Tak menyahut, pria itu hanya terkekeh dan mulai mengatakan pesanannya pada petugas OB, begitu sambungan telepon terhubung.
"Hm, apa kau sudah mendapatkan orang yang tepat yang akan dikirim ke Jerman? Kita tidak punya banyak waktu lagi Al, pastikan dia adalah orang yang bisa kita percaya untuk menangani masalah di sana," celoteh Zayn.
"Sudah, Tuan. Paling lama nanti sore, saya sudah menyerahkan satu dari dua nama kandidat yang maju."
"Kau sudah memastikan latar belakang orang itu kan? Jangan salah pilih! tegas Zayn. Lagi-lagi dia mengingatkan Albert untuk bekerja lebih hati-hati lagi.
Masalah yang timbul di salah satu perusahaan Zayn yang berada di Jerman cukup serius. Dia tidak bisa sembarangan mengirim orang yang tidak memiliki kompetensi dan kejujuran juga dedikasi yang tinggi pada perusahaan.
"Sesuai dengan perintah, Tuan," Albert menyahut.
Obrolan keduanya terhenti saat petugas OB masuk dengan membawa sebuah nampan di tangannya.
Tanpa membuang waktu, Zayn mulai menyuapkan sepotong buah segar ke dalam mulutnya. Sensasi dingin dari buah yang baru keluar dari lemari pendingin itu pun menjalar seketika. Tak mau ketinggalan, Albert pun melakukan hal yang sama. Keduanya makan dalam diam sampai tiba-tiba getaran ponsel dalam saku jas Albert membuatnya menghentikan aktifitasnya.
Albert segera menggeser layar ponselnya dan seketika matanya terbelalak. Pria itu bahkan hampir tersedak saking terkejutnya melihat sebuah notif masuk.
"Ada masalah?" tanya Zayn yang melihat perubahan drastis pada wajah asistennya.
"Tidak ada." Albert menggeleng. Ia meneguk jus jeruknya.
"Lantas kenapa wajahmu mendadak tegang begitu?"
"Ada notif masuk," beritahu Albert.
"Memang notif apa sampai wajahmu berubah tegang begitu ketika melihatnya.
"Hanya kaget, Tuan. Nona Irene menggunakan kartu kredit yang Anda berikan, untuk pertama kalinya."
Zayn memang memberikan kepercayaan penuh pada Albert untuk mengurusi semuanya. Termasuk soal kartu kredit Irene, jadi wajar jika Albert menjadi orang pertama yang mendapatkan notifikasi ketika Irene menggunakan kartu kredit pemberian Zayn. Semua kartu kredit yang Zayn berikan, termasuk pada Hera akan masuk melalui notifikasi ke dalam ponsel Albert. Pria itu juga yang bertanggung jawab untuk melaporkan keuangan pribadi keluarga Zayn.
"Oh ya? Baguslah. Aku kira dia tidak akan memakainya," kekeh Zayn.
"Dan sekali melakukan transaksi, Nona langsung menggeluarkan nominal yang tidak sedikit," sahut Albert.
"Memang berapa jumlah yang dia pakai?" Zayn begitu penasaran.
"Tiga ratus lima belas ...,"
"Dia pasti menggunakan uangnya untuk belanja bahan kue!" potong Zayn. Dia teringat kalau tadi pagi Irene meminta izin pergi ke supermarket untuk membeli bahan kue.
"Juta," sambung Albert.
Zayn menyemburkan jus jeruknya. Untunglah dia tidak tersedak saat Albert mengatakan kalau pengeluaran Irene sebanyak tiga ratus lima belas juta, dan bukannya tiga ratus lima belas ribu.
"Kau yakin?" tanya Zayn begitu mengelap mulutnya dengan tisu.
"Ini." Albert menyodorkan ponselnya.
Hal itu juga yang membuat Albert tidak percaya kalau ternyata Irene bisa menghabiskan uang sebanyak itu dalam sehari, bahkan mungkin lebih.
Zayn mengembalikan ponsel itu pada Albert.
"Apa yang dia beli dengan uang sebanyak itu, aku penasaran."
Bukan masalah uangnya, Zayn lebih penasaran dengan benda yang dibeli istrinya. Uang segitu tidak masalah bagi Zayn.
"Nona membeli sehelai dasi dari designer dasi ternama dunia, Stefano Ricci. Anda pasti tahu kalau dasi hasil karya tangannya tidaklah dijual murah."
'Perhatian juga ternyata dia,' Zayn memuji istrinya dalam hati.
"Selain itu?"
"Itu, Tuan ...," Albert menggantung ucapannya.
"Itu apa!" desak Zayn, "Cepat katakan!" serunya tak sabar.
"Beberapa pakaian dalam seksi dan juga sebuah lingerie."
Sorot mata Zayn berbinar kala mendengar kata lingerie, lalu detik berikutnya sebuah senyum terukir di bibirnya.
'Ternyata diam-diam kau nakal juga ya,'
"Sedang dimana dia sekarang?" tanya Zayn, masih dengan senyum yang terus terkembang.
"Sebentar saya lacak dulu, Tuan."
Jangan tanya bagaimana Albert bisa melakukannya. Zayn membentengi keluarganya dengan pertahanan yang ketat dan bukan hal yang sulit baginya mengetahui keberadaan Irene dalam waktu secepat mungkin.
"Nona sedang berada di salon kecantikan khusus wanita bersama Nona Tiffany, Tuan," terang Albert begitu selesai berkutat dengan benda pipih canggih miliknya.
"Tiffany?"
"Ya, Tuan."
"Begitu selesai, laporkan padaku. Treatment apa saja yang dia ambil, dan pergi kemana saja dia!" titah Zayn.
"Baik, Tuan."
"Sekarang habiskan makanannya karena kita masih banyak pekerjaan."
Senyum manis terus tercetak di bibir Zayn bersamaan dengan potongan cheesecake yang dia masukkan ke dalam mulutnya. Mendengarkan kegiatan Irene mempercantik diri demi Zayn, sungguh membuat hatinya berbunga-bunga.
Bersambung ....