"Irene, aku pulang!" teriak Zayn begitu menginjakkan kakinya di balkon.
"Zayn," panggilnya, kaku. Dengan cepat dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya.
"Ada apa? Apa kau tidak suka melihatku pulang lebih awal?"
"Aku ...,"
"Ada apa? Kenapa wajahmu tegang begitu?"
"Ah, tidak ada apa-apa. Ayo sebaiknya kita masuk kamar! Kau mau mandi dulu atau makan dulu?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
"Mandi dulu saja, sudah sangat gerah."
Keduanya berjalan beriringan menuju kamar.
"Benar kau baik-baik saja? Aku lihat wajahmu tegang begitu," sekali lagi Zayn bertanya sebelum pria itu masuk ke kamar mandi.
"Sudah aku katakan aku baik-baik saja, jangan terlalu khawatir," pungkas Irene.
Selepas mengambil baju ganti suaminya, Irene duduk merenung di bibir ranjang. Diambilnya ponsel dalam kantong celananya.
'Kau mulai membohongiku Zayn. Albert mengatakan jika kau telah pulang sejak tiga jam yang lalu. Tidak akan membutuhkan waktu selama itu dari kantor sampai ke rumah, semacet apapun itu. Dan ini ... ini semakin menguatkan kebohonganmu.'
Berulang kali Irene menatap layar ponselnya, memandang potret suaminya sedang tertawa renyah dengan seorang gadis yang sangat Irene kenal.
'Aku tetap tidak boleh gegabah. Setidaknya aku harus tahu alasan apa yang membuatnya menemui Tiffany diam-diam.'
Ceklak.
Zayn keluar dengan sehelai handuk yang terlilit di pinggangnya. Rambutnya yang setengah basah meneteskan droplet-droplet, menambah kesan maskulin dalam diri pria itu. Perut rata yang terbagi menjadi enam kotak, d**a yang bidang, bahu yang kokoh juga punggung yang lebar. Akan sangat nyaman bersandar di sana.
"Sudah puas melihatnya?"
Zayn menjentikkan jarinya yang membuat cipratan air itu memercik di wajah Irene.
"Astaga, Zayn! Jangan jahil!" pekiknya.
"Salah sendiri. Aku sudah memanggilmu berulang kali, tapi kau diam saja, dan malah mengagumi keindahan tubuhku," ucap Zayn, hiperbola.
"Bicaramu ngawur. Cepat pakai bajumu, aku sudah sangat lapar. Jangan bilang kalau kau sudah makan di luar."
Zayn yang sedang memakai kaosnya pun sontak menghentikan aktivitasnya.
"Makan di mana? Aku bahkan melewatkan makan siangku," balas Zayn.
"Siapa yang tahu." menggendikan bahunya.
"Ya sudah ayo, aku juga sudah lapar."
"Handukmu Zayn. Apa tidak bisa kau menaruh handuk basah di tempatnya? Kalau kau menaruhnya di kasur, yang ada kasurnya bisa basah. Memangnya kau mau tidur di kasur bas ...,"
Cup.
"Aku sudah sangat lapar dan kau mengoceh di depanku, membuatku ingin memakanmu," ucapnya begitu tautan dua bibir itu terlepas.
Zayn pergi dari sana, meninggalkan Irene yang masih mematung di tempatnya. Akhir-akhir ini Zayn suka sekali menyerangnya secara mendadak seperti itu. Untunglah Irene telah kebal, kalau tidak, bisa dipastikan dia mati muda karena terkena serangan jantung.
Satu jam berlalu. Usai makan malam, seperti biasa, Zayn selalu menyempatkan diri untuk menghabiskan waktunya di balkon. Meskipun hanya lima menit, tapi dengan menghirup udara segar dan juga menatap pemandangan langit yang tergelar indah di atasnya. Cukup membuat Zayn rileks.
"Apa yang mau kau katakan?"
Seolah paham dengan kegelisahan istrinya.
"Tidak ada."
"Sungguh?" tanya Zayn meyakinkan.
"Hm."
Zayn mendekati tubuh Irene yang berdiri di pagar pembatas. Memeluknya dari belakang kemudian meletakkan dagunya di ceruk leher Irene.
"Apa masih terasa sakit?" tanyanya lembut.
"Apanya?"
"Kepalamu. Apalagi?"
"Sudah tidak lagi." menggeleng pelan yang mengakibatkan bibir Zayn bersarang di kulit lehernya yang mulus.
"Jangan seperti ini, Zayn." berusaha menjauhkan kepala Zayn dari lehernya.
"Seperti apa?" godanya, pura-pura tak tahu.
"Jangan terlalu dekat!"
"Memangnya kenapa? Kita ini kan suami istri," balas Zayn.
"Memang benar, tapi kau membuatku ... awas! Zayn." frustasi, Zayn tak juga kunjung melepaskan diri darinya.
Sementara Zayn, jangan tanya betapa bahagianya karena telah berhasil menggoda Irene. Pria itu diam saja saat gadis dalam pelukannya itu memberontak.
"Bulanmu sudah pergi kan?"
Tubuh Irene membeku ketika mendengar suami bertanya demikian. Sekarang apa yang harus dia lakukan? Sementara sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak memberikan Zayn hak sebagai seorang suami.
"Aku ...," ucapnya tersendat.
"Tidakkah kau ingin memberikan hakku malam ini?"
Dasar Zayn. Sudah tahu istrinya malu setengah mati tapi dia masih saja gencar menggodanya. Padahal tanpa mengucapkan itu pun Irene sudah tahu maksudnya.
"Zayn, ak ... aku ...," bingung harus menjawab apa, sementara Zayn masih bergelayut manja di bahunya.
"Tidak perlu gugup begitu. Aku akan menunggunya, tapi tidak janji kalau kau membuatku lama menunggu."
Jawaban itu membuat Irene lega. Sebenarnya dia tidak tega jika harus mengulur waktu, tapi rasanya Irene belum siap untuk saat ini. Setidaknya beri dia waktu untuk mempersiapkan diri lebih dulu.
***
"Ren ...," panggil Zayn saat melihat tumpukan baju yang disiapkan Irene di atas kasurnya.
"Irene," ulangnya ketika yang dipanggil tak kunjung menghadap.
'Kemana anak itu,' batinnya.
Zayn berniat mencari keberadaan istrinya, mungkin saja gadis itu ada di dapur. Baru saja Zayn membuka pintu, bersamaan dengan itu Irene muncul. Pria itu membeku di tempatnya. Ini untuk kesekian kalinya dia terpesona melihat kecantikan Irene.
Rambutnya yang diikat tinggi menyerupai ekor kuda, memperlihatkan leher jenjang dengan kulit seputih s**u. Jumpsuit tanpa lengan yang tingginya di atas lutut yang membalut tubuhnya juga terlihat begitu pas. Bentuk tubuhnya indah dengan tonjolan yang pas di setiap bagiannya. Tak kalah dari Tiffany yang seorang model, hanya saja tinggi badan Irene sedikit lebih pendek darinya.
Zayn gegas membuang muka. Untuk apa menikmati pemandangan indah yang belum sempat dia nikmati. Dari pada tersiksa, Zayn harus sudah memadamkan api gairah yang mulai terpercik, atau dia akan semakin sengsara nantinya.
"Kenapa berpaling muka dariku? Memangnya aku menyeramkan, atau kau benci melihatku!" tuding Irene.
'Dasar bodoh, siapa juga yang benci melihatmu. Aku hanya sedang berusaha untuk menahan diri. Ayolah, bekerjasama dengan baiklah denganku.'
"Tidak. Aku hanya ...,"
"Hanya apa?"
"Itu, tidak salah kau menyiapkan aku baju kerja?"
Pertanyaan yang bagus untuk mengalihkan pembicaraan, pikir Zayn.
"Kan ini baru hari Jum'at Zayn," kilahnya.
"Ini jadwal terakhir kamu kontrol kan?"
"Eh," Irene berpikir sejenak, "Ah, iya benar. Bagaimana aku bisa lupa."
"Ganti bajuku dengan yang lebih santai," pinta Zayn.
"Zayn, sebenarnya aku sudah sembuh. Jahitannya juga sudah kering karena aku teratur meminum obatku, tidak usah pergi ke rumah sakit juga tidak apa-apa," tolaknya, halus.
"Kau tidak dengar apa yang dikatakan Dokter Leo? Kau harus kembali lagi setelah dua hari, untuk memastikan lukamu telah sembuh sepenuhnya."
"Ya, tapi kan memang aku sudah sembuh sepenuhnya Zayn. Memang harus sembuh seperti apa lagi?"
"Sampai kau siap jika aku memakanmu."
'Astaga, dia selalu saja membahas soal itu.
"Sudah sana, cepat ambilkan bajuku. Menurut saja apa susahnya?"
Irene pergi dengan bibir yang terus mengerucut.
Selepas sarapan pagi, Zayn bergegas melajukan kereta besinya menuju rumah sakit. Tak banyak yang bisa Zayn lakukan selain tersenyum, pun ketika semua pemeriksaan berjalan lancar sebagaimana mestinya.
Keduanya keluar dari ruang periksa dan menuju bagian farmasi untuk mengambil obat.
"Seumur hidup aku ke rumah sakit, baru pernah prosesnya secepat ini," gumam Irene.
"Oh ya," Zayn tampak terkejut.
"Iya. Aku sering mengantar nenekku berobat di rumah sakit yang ada di kampung, dulu. Semuanya serba antre, pendaftarannya, lalu antre di poli, belum lagi menunggu obatnya yang bisa memakan waktu cukup lama," bebernya.
Zayn dengan seksama mendengarkan cerita Irene. Dia terlahir menjadi pewaris tahta kerajaan bisnis ayahnya. Zayn tidak pernah mengalami kesulitan apapun selama ini, terlebih di saat sekarang. Saat hidupnya sedang berada di puncak keemasan keriernya. Tinggal menjentikkan jari, apapun yang dia inginkan telah tersaji di hadapannya. Jadi, mana tahu dia derita rakyat kecil seperti yang pernah Irene alami dulu.
"Aku baru tahu," cetus Zayn, bingung harus menjawab apa.
"Sudah kuduga, itu sebabnya kau terlihat sangat kaget."
Zayn membuka pintu mobilnya, mempersilakan Irene masuk terlebih dulu. Tak lama setelahnya, Zayn membantu memasangkan sabuk pengaman yang menempel di tubuh Irene.
"Masih terlalu pagi untuk pulang," kata Zayn setelah melirik arloji mahal di pergelangan tangannya, "Kau mau kita pergi ke suatu tempat," imbuhnya.
"Tidak ada tempat yang sedang ingin aku kunjungi saat ini."
"Bagaimana kalau nonton di bioskop," tawar Zayn.
"Kan sudah pernah waktu itu, yang merak cent ... maksudku, waktu Tiffany ikut itu."
"Tetap saja berbeda, hanya kita berdua."
"Tidak mau!" tolak Irene.
"Hm, belanja mungkin?"
"Boleh."
"Baiklah kalau begitu. Izinkan hamba mengantar yang mulia ratu pergi berbelanja," ucap Zayn bergaya.
"Kau ini ada-ada saja, Zayn."
Gemas, Zayn mencubit pipi Irene. Akhirnya dia dapat melewatkan waktu berdua dengan istrinya tanpa ada gangguan. Ya, walaupun sekedar berbelanja bersama.
Setelah dua puluh menit mengemudi, mobil yang ditumpanginya Zayn pun telah tiba di pelataran sebuah pusat perbelanjaan megah di kotanya.
"Zayn, aku kira kita benar-benar pergi berdua, tapi nyatanya ...," melirik ke arah pria berpakaian hitam yang selalu menjaga jarak tak terlalu jauh dengannya.
Zayn menghembuskan nafas panjang, sejak awal dia tahu kalau Irene pasti akan terganggu dengan dua orang yang selalu menguntitnya kemanapun mereka pergi, tapi dia tidak mau ambil resiko. Di rumah saja yang terdapat penjagaan ketat, dia masih bisa kecolongan apalagi jika di luaran. Zayn tidak mau sampai sesuatu yang buruk menimpa istrinya.
"Anggap saja mereka tidak ada. Cukup nikmati waktu berdua bersamaku," ucap Zayn.
"Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Resiko punya suami hartawan ya begini," Irene mendumel.
Berjalan berdampingan dengan Zayn mendorong troli di depannya, sementara Irene berdiri di samping rak yang menjajakan berbagai macam barang.
"Aku pikir kita akan berburu baju, perhiasan, atau yang lainnya. Kalau hanya belanja kebutuhan pokok begini, apa gunanya aku membayar Bi Sasa dengan mahal," gerutu Zayn.
"Jadi kau menyesal?"
Zayn melelan ludahnya kelat. Irene telah berbalik dan menatapnya dengan tatapan membunuh.
"Ti, tidak ... siapa yang bilang begitu," elak Zayn.
"Tadi itu, ucapanmu seperti orang yang tidak ikhlas."
"Tapi aku ikhlas melakukannya, Sayang. Apapun itu asalkan dilakukan berdua denganmu, pasti akan sangat menyenangkan." memasang tampang yang dibuat seimut mungkin, berharap Irene tidak memperpanjang masalahnya.
"Kau tahu, berbelanja kebutuhan pokok seperti ini bersama pasangan adalah merupakan salah satu dari kegiatan kencan," cetus Irene.
Pernyataan Irene sukses membuat dahi Zayn mengernyitkan sempurna. Bagaimana bisa kegiatan seperti ini dibilang berkencan? Ada- ada saja.
"Seperti yang kau inginkan, ratuku."
Zayn kembali mendorong trolinya, mengekor kemanapun Irene pergi. Entah apa saja yang diambil istrinya, hingga memenuhi hampir separuh tinggi keranjang belanjaannya.
Berlanjut di bagian buah-buahan segar. Zayn mengambil sebuah semangka tanpa biji lalu mengetuknya, menempelkan pada daun telinganya.
"Apa yang sedang kau lakukan Zayn?" Irene yang terheran-heran melihat tindakan suaminya pun tak dapat lagi menyembunyikan rasa penasarannya.
"Memeriksa buah tentu saja," Zayn menyahut. Kali ini tangannya berpindah pada semangka lainnya.
"Bukan seperti itu caranya Zayn! Kalau kau mengetuk-ngetuk kulitnya seperti kau mengetuk daun pintu, mana bisa hal itu dijadikan sebagai acuan."
"Lalu seperti apa cara memilih semangka yang baik?"
"Nah, yang ini." menyodorkan sebutir semangka berukuran cukup besar, "Yang ini pasti isinya manis," sambungnya.
"Dari mana kau tahu? Kelihatannya kau sangat yakin." menerima buah tersebut dan mulai membandingkannya dengan semangka yang lain.
"Coba perhatikan! Warna kulit buahnya lebih gelap, garis hijau ini juga jaraknya lebar, tidak seperti yang kau pegang ini. Coba kau perhatikan dengan baik!"
"Iya, berbeda."
"Kau bisa beli dua-duanya dan membukanya nanti di rumah kalau tidak percaya. Kita lihat apakah pilihanku benar atau tidak."
"Deal."
Zayn memasukkan dua buah semangka itu ke dalam keranjang belanjaannya. Keduanya tertawa riang, terlihat sangat gembira. Hingga tiba-tiba seorang wanita tua mendekati mereka.
"Kalian pasangan yang sedang berkencan ya?" tegur wanita itu.
"Apa terlihat seperti itu, Nyonya?"
"Iya. Kalian mirip seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan."
"Padahal kami sudah menikah," kali ini, Zayn yang menyahut.
"Oh, ya. Kalian berdua sangat romantis jadi aku pikir kalian masih menjadi sepasang kekasih. Aku memperhatikan kalian sejak tadi, kau pasti sangat mencintaimu istrimu. Aku dapat melihatnya dari binar matamu," ujar wanita tua itu pada Zayn.
Yang di ajak bicara hanya diam sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Salah tingkah saat sesekali tatapannya bertubrukan dengan Irene yang juga sama tersipu, seperti dirinya.
Pengalaman pertama dan tak akan terlupakan bagi Zayn. Berkencan di sebuah pusat perbelanjaan.
Bersambung ....