2. Swallow

1034 Words
Dia melangkahkan kakinya dan menuruni anak tangga perlahan lahan masih melihat ke atas. Entah apa yang ia harapkan dari semua ini. "Laura, bagaimana? Apa dia sudah bangun dan memakan sesuatu? Kau sudah lama masuk ke dalam," tanya seorang wanita paruh baya menghampiri Laura bersama satu anak gadis. Laura mengangguk. "Javier sudah makan, Aunty," kata Laura pelan. "Ya, memakanmu!" celetuk anak gadis di samping ibu Javier yang tak lain merupakan adik Javier. "Jaqueen!" pekik Ella tidak enak. "Haiz, Kak Vier baru saja sakit, mengapa kau sangat berlebihan sampai mendatangkan Designer sibuk ini, mommy!" dengus Jaqueen tak senang jika sang ibu terlalu memanjakan kakaknya. "Diam kau! Ini semua karena Camille!" sahut Ella. "Ya, Aunty. Javier terus memanggil Camille. Memang dia ada di mana?" tanya Laura kemudian. Jaqueen memutar bola matanya malas. "Paling paling w************n itu malu karena kedoknya sudah terbongkar. Dia hanya pura pura mencintai Kak Vier dan akan merenggut semua warisannya. Sudah kubilang, lebih baik warisan itu dibagi SEIMBANG!" decak Jaqueen tanpa penyaringan kata-kata yang baik. Laura tampak menggaruk sisi lehernya tidak enak mendengar sangkut paut mengenai harta kekayaan ini. "Jaqueen, mulutmu itu bisa diam atau tidak? Ada Laura! Kau sama sekali tidak tahu malu!" sahut Ella memelototi anak perempuannya itu. "Designer ini juga harus tahu bagaimana dirinya diperlakukan senonoh dengan anak kesayanganmu itu, Mom!" kata Jaqueen lagi yang pernah satu kali melihat Laura seenaknya masuk ke kamar Javier yang dirangkul mabuk oleh kakaknya. Waktu itu acara ulangtahun pernikahan kedua orangtuanya. Sementara anak anak mereka memiliki ruang khusus untuk merayakan pesta. Namun, Laura dan Javier memang selalu terbawa suasana. Jaqueen si pintar akan dengan mudah mencerna apa yang akan terjadi selanjutnya. Apalagi waktu itu, Camille tidak bisa hadir. "Astaga, Queen! Masuk ke kamarmu! Pantas saja kakakmu itu malas denganmu!" pekik Ella sangat tidak enak. Meski benar apa yang dikatakan anaknya, dia tidak bisa ikut campur percintaan anaknya. "Heng, mommy! Kunci emas Kak Vier ada di tanganku! Pertimbangkan untuk pembagian warisan Kak Vier, Justin, dan aku!" balas Jaqueen menantang ibunya dan masuk ke kamarnya. Gadis itu semakin berani berargumen tanpa mengetahui kondisi. "Ah, Laura! Maafkan aku, kau tahu bagaimana Jaqueen bukan?" ujar Ella terkekeh suram. "It's okay, Aunty. Baiklah kalau begitu, aku masih harus ke rumah Uncle Willy untuk mengurus sesuatu," sahut Laura harus segera pergi dari sini. "Laura, kudengar kau akan pergi," kata Ella lagi menahan lengan Laura. Laura mengangguk agak tak enak. "Laura, pertimbangkan lagi, jika Javier sudah tidak bisa menemukan Camille, aku ingin dia bersamamu saja. Aku tidak tahu jelas keluarga wanita itu. Lagipula, usia mereka terpaut sangat jauh," tutur Ella lagi. Laura tersenyum tipis. "Aunty, jangan memaksakan Javier lagi. Lakukan apa yang ia inginkan dan Camille pasti akan kembali atau diketemukan," ujar Laura mengelus punggung tangan wanita tua itu. "Laura, plis," "Aku pergi, Aunty." Kini Laura melepaskan pegangan tangan Ella pada tangannya. "Oke, fine! Justin yang akan mengantarmu. Dia sudah menunggumu di luar," sahut Ella mengalah. Entah bagaimana lagi dia harus bertindak. Laura menganggukan kepalanya dan memberikan pelukan singkat pada Ella sebelum pergi. Dia berjalan lelah keluar rumah besar itu. Banyak panggilan masuk yang menghiasi ponselnya di dalam tas, tapi dirinya malah tidak merasakan apa apa selain hatinya yang semakin membeku. Dia hanya ingin Javier. Hanya menginginkan pria itu. Namun, dia sadar tidak baik memaksakan cinta sepihak. "Wajahmu selalu lelah setelah keluar dari rumahku, seperti biasanya," kata Justin seraya menyapa Laura yang keluar dari rumah dengan menunduk. Laura benar benar tidak berselera. Dia harus segera menghentikan semua perasaannya ini. "Cepatlah, antar aku ke mansion Uncle Willy," sahut Laura langsung berjalan ke arah pintu mobil. "Laura, memang kau mau pergi ke mana? Welfrit menyukaimu, dia pasti menggodamu dan akan berusaha menggantikan posisi Javier," kata Justin juga mengarah ke arah pintu mobil pengemudi. Dia masih menunggu jawaban Laura di pinggir pintu. "Kau bisa ikut jika kau mau," tutur Laura membuka pintu mobil. "Hem, aku tidak bisa meninggalkan Jaqueen. Dia pasti akan semakin membencimu," keluh Justin yang sangat mencemaskan emosi Laura. "Jadi diamlah dan antar aku ke mansion Uncle Wil, atau aku bisa memanggil taxi," balas Laura tidak dapat membuka pintu mobil karena masih terkunci. Justin menarik napas dan menekan tombol kunci mobilnya. "Iya, iya, masuklah," kata Justin mengalah. Laura dan Justin pun masuk ke dalam mobil. Mereka menuju ke mansion Jovanca. Sepanjang perjalanan, Laura hanya melamun sambil melihat ke jalan. Ada hal yang ia lupakan tapi dia benar benar tidak fokus. Pikirannya masih membayangkan Javier. Apakah pria itu, yang begitu hangat di ranjang dan selalu memanjakannya benar benar tidak mempunyai perasaan sedikitpun padanya? Bagaimana dengan hatinya yang semakin lama malah semakin mendamba dan bukan hanya sekedar kata nafsu tapi benar benar sayang. Seperti b***k cinta yang selalu merindukan tetesan rindu dan serbuk belaian kasih. Laura menarik napas lagi. Kepalanya seketika pening dan dadanya sesak. Ia mencengkram dadanya dan mengusapnya. Mencoba sabar, mengetahui batasan yang memang seharusnya ia lakukan. Tugasnya hanya menjadi sahabat sekaligus pemuas nafsu Javier. Apa hal ini tidak sangat menyakitkan? Kakaknya pasti akan datang ke sini dan membuat perang dengan pria itu jika mengetahui keadaannya sekarang. Justin menyadari hal itu. Laura tampak pucat dan tidak bercahaya seperti biasanya. Justin pun menarik napas. Mengapa dirinya tidak lahir lebih dulu ketimbang kakaknya sehingga ia bisa memberikan cinta yang Laura butuhkan. "Maafkan kedua orangtuaku," ucap Justin seketika. Laura mencoba menoleh perlahan dan menatap pria yang sekilas mirip Javier itu. "Seharusnya Mom and Dad melahirkanku lebih dulu, dengan begitu aku bisa menjadi kekasihmu," tambah Justin sangat polos dan apa adanya. Dia memang menaruh hati pada Laura meski dia tahu dia tidak akan pantas bersanding dengan Laura. Laura sangat menyukai kakaknya. Justin dan Javier bagai langit dan bumi. Javier yang tampan dan multi talent sedangkan Justin hanya pandai menghafal dan sulit jika mempraktikannya. Dia membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk meningkatkan kepercayaan dirinya. Laura terkekeh. Anak kecil ini selalu bisa membuatnya merasa lucu. Justin pun kembali merasa tersaingi dengan kata kata bodohnya. "Lagi lagi kau meremehkanku!" gumam Justin frustasi. "Kau saja tidak mau mengikutiku! Lebih baik kau fokus jalankan mobil ini!" balas Laura yang seperti biasa. Meski ketus tapi seperti memberi harapan pada Justin. Justin menggaruk pelipisnya. Sampai kapan Laura mengabaikannya. Meski dirinya lebih pantas dikatakan adik perancang busana ini, tapi jiwanya tetap seorang lelaki. Laura masih menyunggingkan senyumnya dan kembali melihat luar jalan. ... TBC,
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD