bc

Asmaraloka

book_age18+
547
FOLLOW
3.4K
READ
possessive
reincarnation/transmigration
friends to lovers
kickass heroine
independent
king
drama
tragedy
twisted
medieval
like
intro-logo
Blurb

Kisah cinta dua masa yang harus terpisah oleh sejarah yang tak bisa diubah.

***

Dyah Pitaloka atau Loka tiba-tiba saja terlempar ke masa lalu saat berwisata ke situs Candi Trowulan. Loka harus menghadapi takdirnya saat mengetahui bahwa ia kini berubah menjadi primadona ayu dari kerajaan Sunda, Putri Dyah Pitaloka Citraresmi yang datang ke Majapahit untuk menikah dengan Prabu Hayam Wuruk, raja paling mahsyur di Majapahit.

Loka tahu tentang kisah mereka berdua, kisah cinta sang putri dan raja yang harus dipisahkan oleh kematian. Loka tidak boleh tinggal diam, dia harus segera mencari jalan kembali ke masa depan sebelum Loka terjerat oleh takdir mengenaskan milik sang putri. Namun, sialnya, Loka justru terjebak hubungan asmara dengan sang raja!

***

"Maafkan aku, Kakanda Prabu. Kita memang tidak pernah ditakdirkan untuk bersama." —Dyah Pitaloka.

"Adinda Loka, aku pasti akan mencari dan menemukanmu. Tidak peduli di masa apa pun, aku pasti akan membuatmu menjadi milikku lagi." —Hayam Wuruk.

***

Cover by: @RainyGraphic

Free Use to Commercial.

chap-preview
Free preview
Chapter 01 : Realita Kehidupan
“Maaf, maafkan aku, Diajeng. Aku adalah pengecut yang bahkan tidak bisa melindungi orang-orangku sendiri dari bahaya. Aku tidak bisa menyelamatkanmu.” Pria itu menitikan air mata. Dia yang dikenal sebagai pria tangguh yang mampu memerintah begitu banyak wilayah di bawah kepemimpinannya, merintih dan menitikan air mata di hadapan seorang wanita yang terbaring lemah dengan luka menganga lebar di dadanya. “Tidak apa-apa, Kangmas. Ini memang sudah jadi … takdirku.” “Kenapa takdir begitu kejam padamu dan padaku?” Tangannya mengusap wajah yang sudah mengisi setiap malam-malamnya yang dingin dan lengang itu dengan lembut dan penuh cinta, ia seperti tidak mau kehilangannya. Wanita itu mencoba untuk tersenyum, namun nyawanya sudah diujung tanduk. Ia mendadak tersengal, mencari oksigen yang mampu mengisi paru-parunya yang bolong akibat tikaman keris. “Kang … mas … aku … a … ku ….” Pria itu mendekap sang wanita di dalam pelukannya. “Diajeng, kumohon diamlah. Jangan bicara apapun lagi, anak buahku tengah mencari tabib paling mujarab untukmu. Jangan bicara dan simpan nyawamu untukku, kita sudah berjanji untuk terus bersama hingga tidak bisa berdiri kembali. Benar, ‘kan, Diajeng?” Tidak ada jawaban. Pria itu semakin mengeratkan dekapannya pada wanita yang kini sudah menjadi mayat tersebut. Ia mengelus rambutnya sambil tersenyum seperti orang gila. “Benar, kita akan selalu bersama hingga tua dan sampai kita sudah tidak bisa berdiri lagi. Aku adalah raja, jadi semua perkataanku pasti akan terjadi.” Sekali lagi hanya hening yang mengisi di antara mereka berdua. Di dalam gua yang sepi dan basah. Pria itu memejamkan matanya erat, rahangnya mulai bergemeletuk keras karena menahan tangis yang mungkin akan pecah sebentar lagi. Tangannya bergerak menggenggam jemari sang wanita yang mulai memucat tersebut, ia mencium punggung tangan dingin itu dengan penuh penghayatan, “Aku bersumpah padamu. Aku pasti akan menemukanmu dan membuatmu menjadi milikku lagi entah di masa apapun kau berada, Diajeng.” *** “Loka, kamu dipanggil sama pak Wadi, tuh. Katanya suruh langsung ke ruangannya aja.” Fania—salah satu asisten manajer yang paling senior tiba-tiba mendatangi meja milik Loka. Gadis itu tengah mendesah berulang kali gara-gara komputer lelet di depannya sama sekali tidak bisa terkoneksi ke jaringan internet, padahal ia harus segera mengunggah data nasabah asuransi sebelum tenggat pengisian. Loka menoleh, dia mengecap bibirnya sendiri sambil menautkan kedua alisnya seraya berpikir. “Pak Wadi? Mau bahas gaji kayaknya, hem. Makasih, Fan, buat infonya.” “Sama-sama. Cepetan gih, tau sendiri Pak Wadi kayak apa.” Loka mengangguk, ia akhirnya menyerah untuk memuat ulang jaringan komputernya dan beranjak pergi menuju ruangan Pak Wadi—direktur utama kantor asuransi kecil-kecilan yang terletak di pinggiran kota Semarang. Sebenarnya sudah sejak lama Loka ingin mengundurkan diri dari kantor apek dan panas itu, namun kondisinya saat ini tidak memungkinkannya untuk mencari pekerjaan lain mengingat ia yang merupakan anak perantauan dari desa kecil. Loka mengetuk pintu kayu yang berpapan nama Direktur Utama tersebut, ia menarik napas sejenak. “Saya izin masuk, Pak.” “Masuk saja, tidak dikunci.” Pintu kayu itu berderit pelan ketika dibuka, Loka masuk dengan perasaan yang sedikit gelisah. Pak Wadi hanya memanggil karyawannya ketika ada pengurangan gaji ataupun pemecatan sepihak. “Permisi, Pak. Fania bilang saya tadi dipanggil sama bapak. Ada masalah apa ya, pak? Setahu saya semua target pengumpulan data nasabah sudah beres dan tidak terkendala masalah apapun, saya tinggal mengunggahnya ke drive kantor.” Pria paruh baya dengan kepala setengah botaknya tersebut lalu mendongak, ia tengah memegang segepok uang. Wajahnya yang terlihat judes dan pelit itu sudah terkenal ke penjuru komplek kantor, bahkan ia sampai dijuluki pawang kikir karena saking seringnya memotong gaji karyawannya sendiri yang memang tidak seberapa, bahkan mendekati UMR juga tidak. “Gaji kamu bulan ini saya potong ya,” ucap Pak Wadi dengan entengnya. Loka menggigit bibirnya langsung, perasaannya sudah mengatakan bahwa tua bangka itu pasti akan memotong gajinya. “Pak, tapi kenapa? Saya gak buat salah sebulan ini. Jangan dipotong ya pak … plis, soalnya saya harus bayar kontrakan saya, pak.” “Gak ada pelas-pelisan. Di kantor ini kamu yang paling baru di antara semua karyawan, jadi kamu yang harus ngalah sama senior. Juga uang potongan gajimu gak bakal saya kemana-kemanain, buat dandan komputermu yang udah lelet banget itu. Jadi gak usah banyak protes,” terang Pak Wadi, meski boleh jujur Loka juga mendengar alasan yang sama saat gajinya dipotong dua bulan yang lalu dan komputernya masih sama leletnya seperti biasanya. Loka memang terhitung pegawai baru di sini, baru empat tahun bekerja. Seniornya yang lain sudah bekerja di sini selama kurang lebih sepuluh tahun, itu karena kontrak yang mencekik mereka. “Bagaimana kalau gaji saya dipotong bulan depan saja pak? Saya gak apa-apa kalua bulan depan, asal jangan bulan ini pak. Saya mohon sekali dengan belas kasihan bapak.” Disatukan kedua telapak tangan Loka, berharap pawang kikir di depannya itu masih memiliki hati nurani untuk memberinya keringanan. Karena jika Loka tidak membayar kontrakannya bulan ini, Bu Widya si kucing garong kompleks akan menendangnya keluar tanpa ragu-ragu. Pak Wadi langsung menatapnya tajam, “Potong atau pecat?” Loka menggigit bibirnya keras. Udahlah, sulit, sulit. Orang medit emang gabisa diapa-apain lagi. “Baik pak. Saya terima dipotong saja gajinya, tapi jangan kebany—” “Lah, kamu kok ngatur saya. Sudah sana pergi!” Loka terlonjak kaget saat perkataannya langsung dibalas dengan sewotan tajam Pak Wadi, dia mengangguk dan segera ngacir dari ruangan yang mirip dengan kamar hukuman itu lalu Kembali ke meja miliknya. Di sana, Loka langsung menghembuskan napas lelah sekaligus lega setelah lepas dari hewan liar pemakan gajinya tersebut. “Sabarkanlah, paringi sabar duh gusti ingkang maha agung.” “Loka, gimana? Dipotong lagi?” Mendengar suara feminim yang khas ala orang melayu itu membuat Loka menolehkan kepalanya dan menatap sang pemilik suara. Ayu Namanya, ia adalah rekan seperjuangan Loka sejak dia baru saja tiba di kantor ini. Loka mengerang rendah, dia mengangguk lemah. “Iya, Yu. Kayaknya aku bulan depan harus pindah kontrakan deh. Pastinya Bu Widya bakal langsung nendang bokongku dari kontrakannya. Kamu tahu sendiri kan aku udah nunggak tiga bulan gara-gara Pak Wadi yang baik hati dan dermawan itu.” Wajahnya nampak gelisah. Loka tidak menyalahkan takdir, ia hanya mempertanyakan kenapa takdir miliknya berjalan seperti ini. Selalu membuatnya frustasi, bahkan Loka lupa kapan ia terakhir kali tersenyum bahagia. Mungkin saat gajian, namun itu hanya bertahan selama satu hari saja karena uang gajinya langsung dibagi untuk membayar hutang di sana-sini. “Mau tinggal di kontrakanku, Lok? Kebetulan ada dua kamar, aku sama Mas Zuhdi bisa sekamar dulu sampai kamu nemu kontrakan yang baru.” Loka langsung menggeleng, ia tersenyum manis membalas penawaran tulus dari rekannya tersebut. “Makasih, Yu. Tapi aku gamau ngeperotin kamu sama Mas Zuhdi, lihat tuh, bentar lagi mau lahiran bukan.” Ayu menunduk mengikuti edar pandang Loka dan menatap perutnya yang memang tengah membuncit tersebut. Kehamilannya yang sudah memasuki trimester kedua membuat Ayu harus lebih berhati-hati terhadap kesehatannya dan tentunya harus mencari lebih banyak cuan untuk mendukung persalinannya nanti. “Tapi—” “Aku enggak apa-apa, Yu. Tenang aja, pasti ada jalan. Nanti coba kuusahakan buat minjem uang ke orang lain.” Ayu hendak bicara lagi dan mungkin akan bersikukuh untuk memaksa Loka tinggal bersamanya namun ponsel Loka tiba-tiba saja berdering. Itu panggilan dari ibunya. Loka menjauh dari meja miliknya dan mencari tempat agar bisa menelepon dengan tenang. Ia nampak menarik napasnya sejenak seolah mengumpulkan niat sebelum berani mengangkat telepon tersebut. Loka membuat sebuah senyuman palsu di wajahnya yang molek dan menekan tombol sambungkan. “Halo, buk?” [Nduk, kapan pulang?] Pertanyaan yang klise dan selalu berulang di setiap telepon yang Loka terima dari sang ibu. Loka menaikan senyumannya yang sempat memudar tadi dan menegaskan pita suaranya agar tidak bergetar saat menjawab pertanyaan wanita itu, karena Loka tahu bahwa ibunya bisa mengetahui kondisi Loka hanya dari suaranya yang bergetar sedikit saja. Memang, itu cukup mengerikan untuk diakui. “Maaf Ibuk, kayaknya Loka belum bisa pulang bulan ini. Nanti Loka bakal kirim uang ke desa, jangan lupa buat beliin Desi sama Mirna seragam baru ya Buk. Ibuk juga harus beli baju baru sekali-kali.” Kedua gadis yang disebutkan oleh Loka adalah adik-adiknya yang manis dan tengah duduk di bangku SMP serta SD. Ayahnya meninggal ketika Mirna baru menginjak tanah untuk yang pertama kalinya karena kecelakaan di tempat kerja membuat Loka harus memutus kuliahnya dan menjadi tulang punggung keluarga. [Yaudah, ndak apa-apa. Loka, kamu inget ndak sama si Jarwo, anaknya pak kepala des aitu lho? Yang suka nungguin kamu sampai sore di depan rumah sambil bawa mawar. Inget ndak?] Loka menepuk jidatnya seraya menjauhkan ponsel dari wajah. “Haduh, ini, ini. Ibuk mulai lagi.” Setelah mengeluh demikian, Loka menempelkan Kembali benda pipih itu di telinganya sambal mengangguk kecil. “Iya, Loka inget pake banget kok. Emangnya ada apa ya buk, sampai bawa-bawa Mas Jarwo?” Loka agak bergidik ngeri saat memanggilnya mas, namun ia terpaksa karena Jarwo lebih tua darinya dan seorang laki-laki, maka dari itu Loka harus menyebutnya dengan panggilan mas. Dirinya langsung terkenang masa-masa yang membuatnya tersiksa saat ia masih duduk di bangku SMA. Pada saat Loka pulang dan Jarwo yang notabenenya adalah anak pak kades sehingga ia tidak merasa perlu bersekolah, sudah menunggunya di halaman rumah sambil membawa sebuket bunga mawar yang sengaja ia beli di pasar kota menggunakan motor barunya. Jika hanya beberapa kali mungkin Loka masih maklum, tapi Jarwo sudah seperti penguntit yang mengikutinya kemanapun. Ia bahkan menempeli Loka ke SMA—tempat di mana Loka bisa bebas dan belajar. Jarwo diketahui hendak berencana untuk melamar Loka setelah ia lulus, namun insiden kematian ayah Loka membuat Loka harus mencari uang sendiri dan merantau ke tempat yang jauh. Ini mungkin satu-satunya alasan mengapa Loka bersyukur bisa pergi dari desanya. [Ibuk denger dari Mpok Mirna, itu lho yang punya warung mendoan di sebelah sawahnya pak Kades. Dia cerita sama Ibuk, katanya Jarwo mau dinikahkan sama Asih anaknya bu Endah gara-gara kepergok lagi nananinu di galengan sawah. Duh gusti, untung kamu ndak jadi sama dia ya nduk. Kalau sampai iya mau gimana entar hidupmu.] “Hush, jangan digosipin gitu Buk. Entar mas Jarwo kupingnya tambah lebar gimana, hahaha.” Loka tertawa renyah, itu kebahagiaan kecil untuknya saat mendengar pria yang sangat ingin ia hindari sudah terikat sumpah dengan wanita lain. Siap-siap saja jika Jarwo memintanya sebagai istri keduanya, akan habis biji zakar Jarwo ditendang oleh dengkul Loka yang tak kalah kerasnya dari watak Pak Wadi. [Terus kamu gimana nduk. Udah ada calon?] “Boro-boro calon, buk. Mikir besok makan pakai apa aja udah susah. Loka mau nikah nanti saja pas hidup Loka udah terjamin.” [Bukannya justru karena menikah hidupmu baru bisa terjamin? Ada suami yang mencarikan nafkah, kamu duduk di rumah sambil menyuapi anak-anakmu. Ibuk pengin cepet-cepet gendong cucu, nduk.] Loka melengos kesal, ia akan mengeluarkan jurus terbaiknya sekarang juga. “Aaah, aaah! Kok suaranya putus-putus ya Buk. Kayaknya sinyal Loka tiba-tiba ilang deh. Nanti Loka telepon lagi ya Buk. Dah!” Bunyi panggilan yang terputus langsung mengisi indera pendengaran Loka, ia baru saja memutuskan panggilan secara sepihak. Bukan tanpa maksud yang jelas, Loka melakukan ini secara sengaja karena ia tahu akan sepanjang apa ibunya berbicara mengenai pernikahan, suami, anak, cucu dan lain sebagainya. Loka merosot hingga berjongkok di atas lantai kantor. Dia menutup wajahnya yang terlihat frustasi, “Kalau aku udah punya calon juga langsung kubawa pulang kali, Buk. Masalahnya aku gapunya calon suamiii! Somebody please help me get my husband! Aaaargh!” Ting! Sebuah notifikasi masuk ke ponsel pintarnya, membuat Loka menyudahi rasa frustasinya dan menatap kembali layar benda pipih tersebut. Ada pemberitahuan dari i********: yang ia ikuti, Loka menyentuh notifikasi tersebut dan dalam sekejap layar ponselnya sudah berubah menjadi pamflet sendratari Kummaraja Jiwana, kisah cinta antara Putri Dyah Pitaloka dan Prabu Hayam Wuruk namun berakhir tragis. Loka memang mendalami dan menyukai hal-hal berbau sejarah terutama tentang kerajaan Nusantara. Ia sering melipur lara ketika pekerjaan yang tidak berkesudahan dengan membaca n****+ sejarah ataupun menonton pertunjukan drama sendratari seperti ini. Ayah Loka yang mengenalkan dunia kesenian tersebut dan itu masih melekat di dalam jiwanya sampai sekarang. Saat Loka menatap harga tiket masuk yang mencapai seratus dua puluh lima ribu, Loka langsung menutup ponselnya dan menggeleng kuat. “Pikirin perut dulu baru sendratarinya, Lok. Ayo kerja, kerja, kerja.” Ia kemudian berdiri, membersihkan rok span hitam yang kotor akibat debu dan berjalan kembali ke ruangannya. Loka masih ingat untuk mengunggah data nasabah asuransi ke drive kantor sebelum Pak Wadi memotong gajinya lagi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
218.9K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
202.2K
bc

My Secret Little Wife

read
115.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook